Ia tiba di sebuah tempat yang tampak seperti negeri ajaib tepat pukul empat sore pada Sabtu, 16 November 2024. Langit masih sewarna kertas buram dan daun-daun masih mengguyurkan sisa hujan yang tak seberapa. Dingin menguasai setiap sudut Liema Kitchen and Venue, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta itu.
Dari sela-sela semak basah, ia bisa melihat Alifia Khansa Adilla dikerumuni sahabat-sahabat yang serupa peri-peri kecil. Khansa adalah penyair yang masih berstatus pelajar putih abu-abu. Sore itu, Khansa akan meluncurkan buku puisi pertama, Mendekap Sembab. Jelas, ini akan menjadi sebuah perayaan yang riang.
Ia sempat merasa salah tempat dan waktu karena datang dengan mengenakan busana serba hitam.
Seorang perempuan paruh baya menangkupkan kedua tangan dan berkata dengan nada hangat, “Terima kasih sudah menghadiri peluncuran buku putriku!”
Ini pasti Bu Evi Idawati yang terkenal itu, batinnya. Ia ingat, Khansa adalah anak didik Bu Evi di Sekolah Puisi Yogyakarta. Tentulah sang guru hadir untuk mendukung anak didiknya. Hanya, ia ragu apakah itu memang Bu Evi karena tampak begitu berbeda dari foto-foto di media sosial. Jangan-jangan foto-foto itu adalah unggahan lama!
Orang yang dikiranya sebagai Bu Evi itu merapikan segala persiapan yang tercecer, merekahkan senyum di setiap sudut, dan, terutama, melancarkan jalan yang akan ditempuh sang penyair muda untuk naik panggung.
Acara peluncuran buku itu dibarengkan dengan pameran seni rupa karya Khansa. Dalam sesi diskusi buku, seorang pengulas memuji kepiawaian Khansa dalam menangkap detail dengan mata yang masih remaja. Beberapa sahabat karib merayakan puisi-puisi sang penyair muda dengan musik, lukisan, dan deklamasi. Di antaranya, Ayesha Sophie dan Afifah Asabrin.
Sambil membuka-buka Mendekap Sembab, ia teringat pada masa ketika ia, di dalam kepalanya sendiri, menghelat peluncuran puisi-puisinya sendiri, jauh pada masa remajanya dulu. Ia yang menulis puisi-puisi itu dan hanya ia sendiri yang membaca dan merayakannya.
Lalu tiba-tiba ia curiga. Matanya nanar menatap judul buku itu. Ada yang salah, batinnya. Cepat-cepat ia buka aplikasi KBBI di ponsel. Benar: “sembab” seharusnya “sembap”. Namun, hanya ia simpan sendiri kecurigaannya itu. Biarlah menjadi bahan diskusi di lain waktu.
Azan magrib berkumandang. Ia berpamitan karena ada keperluan lain.
“Aku pamit dulu, ya! Bu Evi masih salat?” tanyanya kepada Khansa setelah diskusi selesai.
Khansa mengernyitkan kening. “Bu Evi? Bu Evi belum datang.”
“Lah?”
“Itu ibuku,” kata Khansa.
Di sepanjang jalan pulang, ia merasa ingin berkenalan dengan ibunda Khansa. Ia sendiri tak pernah kenal ibu yang merayakan puisi. Ibu yang dikenalnya hanya merayakan angka-angka.
Lama kemudian, seorang rekan di Suku Sastra memberitahunya lewat Whatsapp bahwa Bu Evi dan Maharani Khan Jade sedang dalam perjalanan ke Liema Kitchen and Venue.