Kaum linguistik struktural seperti Ferdinand de Saussure bersikukuh pada prinsip “pengasingan” atau “alienasi” campur tangan manusia terhadap sistem, kaidah, atau aturan bahasa demi kepentingan sains (objektivitisme ilmu). Sistem bahasa itu melembaga dan menjadi semacam kurikulum wajib (pengajaran bahasa salah satunya). Sistem (yang berkuasa) bahasa itu ditempatkan pada fungsinya yang paling dasar yaitu: komunikasi.

Sistem ini juga menjadi semacam kesadaran kolektif, atau gudang pengetahuan—yang mana kebutuhan akan “dunia” ditampung di sana. Artinya, dunia dapat dipahami melalui kesadaran bersama-sama, dan “harus” atas dasar kolektivitas. Jika seseorang ingin memahami dunia, maka ia harus masuk ke dalam kesadaran kolektif, atau gudang pengetahuan kumpulan manusia lainnya yang berserikat dalam “kesepakatan”. Kesadaran manusia ditentukan oleh kesepakatan kesadaran kumpulan manusia lainnya, begitu kira-kira. Salah satu buktinya adalah bentuk-bentuk ensiklopedia atau kamus.

Halnya berbeda, Jacques Lacan justru berargumen bahwa manusia kehilangan “diri”-nya ketika masuk dalam kesadaran kolektif, atau gudang pengetahuan itu—lalu tidak bisa ke mana-mana (terjebak). Bagi Lacan, mengasingkan manusia dari bahasa adalah kesalahan besar. Sebab, setelah bahasa itu ada, begitu juga pengetahuan mengenai dunia, manusia “belum selesai”. Hal itu baru tahap bercermin, mengenali apa yang diimajinasikan orang-orang mengenai dunia, dan belum mengenai “dunianya”, “dirinya” sendiri. Oleh karena itu, manusia perlu keluar dari sistem yang memisahkan manusia dengan bahasa itu, dan menjadikan bahasa tidak terpisahkan dari dirinya.

Upaya tersebut, menurut Lacan didorong oleh hasrat (desire). Inilah barangkali salah satu alasan sastra itu lahir—sebuah teks yang menggunakan bahasa tanpa sistemnya secara utuh (bahkan antirealis, atau absurd). Seorang sastrawan bahkan pernah berseloroh, “Mana ada karya sastra yang patuh pada ejaan dan sistem bahasa [formal/baku], coba bawa ke sini, saya pengen lihat!”. Dalam terminologi Lacan, hal itu bisa dimengerti karena pengarang barangkali tidak ingin terjebak dalam kesadaran umum, atau aturan-aturan sistemik mengenai bahasa. Pengarang justru sibuk mengolah bahasa, memilih diksi yang “pas” untuk dirinya—yang “pas” mewakili hasratnya.

 

Topik Terkini Ada, Maka Warganet Ada

Namun, bagaimana jika “manusia” yang dimaksud adalah manusia yang hidup sebagai netizen atau warganet? Jika disepakati, kodrat keberadaan warganet adalah kolektivitas plural yang cenderung tidak suka diatur (bukan bebas—aturan ada tetapi kesadaran warganet melampauinya). Oleh karena itu, identitas warganet adalah identitas ganda/jamak. Kesadaran warganet juga bukan kesadaran kolektif yang terukur dan terstruktur, tetapi kesadaran plural—baik yang terukur dan terstruktur bercampur dengan kebalikannya (yang tidak terstruktur bahkan ngawur). Kadang-kadang dua hal itu saling bertukar tempat, yang terstruktur dianggap ngawur, sedangkan yang ngawur terlihat seolah terstruktur.

Terminologi Saussure dan Lacan di atas bisa jadi “kabur”. Warganet barangkali tetap memiliki kesadaran kolektif, tetapi kesadaran kolektif itu sangat mungkin terbentuk bukan atas kaidah melainkan budaya populer (pop culture) seiring timbul tenggelamnya topik terkini (trending topic). Oleh karena bahasa tidak berdasar pada kaidah melainkan budaya populer, maka upaya “kembali” ke jati diri sebagai upaya hasrat menutupi kekurangannya menjadi ambigu. Seseorang bercermin pada cermin “ganda” bahkan “jamak” yang menampilkan hal ganda/jamak pula mengenai dunianya. Alih-alih berupaya kembali ke diri yang sebenarnya, ia harus memecahkan persoalan di antara yang ganda/jamak itu. Dalam kondisi itu, diri bisa jadi tidak ambil pusing dan membiarkan dirinya terjebak pada iming-iming pluralitas yang mengaburkan “hasrat” dirinya.

Baik Saussure atau Lacan mungkin akan berpikir ulang mengenai kodrat bahasa (atau kodrat sastra) dalam dunia warganet. Topik terkini menjadi kata kunci warganet. Terserah yang terkini itu mengenai apa, orang-orang mengkreasikan teks atas topik itu. Jika “topik terkini” yang dimaksud adalah konteks, maka hal itu bisa menjadi salah satu indikasi keberadaan warganet. Asumsinya: topik terkini ada, maka warganet ada.

Topik terkini tersebut tidak menuntut kaidah. Sudut pandang apapun, dengan tendensi apapun—diterima begitu saja. Kaidah dengan demikian kehilangan sekat, atau kalaupun sekat itu dipertahankan sangat mudah ditembus dan dibobol. Misalnya, adat berkirim surat elektronik seperti e-mail atau pos-el seorang mahasiswa dengan dosennya dicampur dengan adat ngobrol (chatting) layaknya dalam aplikasi whatsapp. Sangat mungkin pengantar surat resmi (dalam kotak pos-el) disisipi tiruan bunyi tertawa (obrolan) semacam: wkwkwk … dalam kalimatnya. Dalam kasus sastra, warganet sering mengkreasikan meme sastra dengan mengutip bagian karya sastra (puisi, cerpen, novel) kemudian diplesetkan (sengaja dibuat menyimpang) untuk tujuan humor. Warganet cenderung tidak peduli apakah karya aslinya demikian apa tidak, yang penting nyambung dengan topik terkini.

Warganet cenderung tidak tertarik pada kesadaran kolektif yang terstruktur seperti sistem bahasa (yang berkuasa cukup lama). Warganet juga tidak terlalu peduli keutuhan atau autentisitas sebuah karya sastra selain hanya bagian-bagiannya yang diperlukan untuk kepentingannya sendiri. Warganet punya caranya sendiri: yang plural, berubah kapan saja, sesukanya, tergantung topik terkininya apa. Sekali lagi: topik terkini (trending topic) ada, maka warganet ada.

 

*) Esai ini pernah dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 22 Oktober 2017.

**) Joko Santoso. Dosen Sastra Indonesia di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Lahir pada 7 Mei 1984, di Gunung Kidul, Yogyakarta. Dengan nama pena Joko Gesang Santoso, Puisi, cerpen, dan esainya pernah dimuat di beberapa media massa.

Tuliskan komentar