Tak Ada Cahaya di Timur

Tak Ada Cahaya di Timur

Ketika mengangkat sebuah kardus berisi buku-buku di gudang, Alessandro tanpa sengaja menjatuhkan sebuah buku yang tampak berbeda dari buku-buku yang lain. Sampul buku itu cokelat tua dan bertuliskan aksara putih yang tampak akrab bagi Alessandro walaupun ia tak bisa membunyikannya. Ia meletakkan kardus dan memungut buku itu. Ketika dibuka, pada halaman-halamannya yang kuning kecokelatan tertera aksara yang sama anehnya dengan di sampul. Hanya, Alessandro tetap merasa akrab dengan aksara-aksara itu tanpa ia tahu sebabnya.

Ilustrasi: Haiku Suluh Wangsa.

“Ibu, aku menemukan buku yang aneh di gudang!” seru Alessandro dari gudang sembari membawa buku itu menuju dapur.

Ibunya mengalihkan pandangan dari spaghetti yang sedang direbus di panci, lalu memperhatikan ketika jari telunjuk Alessandro menyusuri aksara-aksara aneh itu.

“Ini bukan aksara latin. Aksara aneh ini lebih mirip aksara Turki kuno yang identik dengan Dinasti Ottoman,” Alessandro menerangkan.

“Coba sini Ibu lihat, Nak.”

Ibu memegang buku itu dan membuka-buka halaman. Sesekali ia berhenti cukup lama di sebuah halaman, mengurutkan jarinya pada beberapa aksara, dan berkomat-kamit, lalu menggeleng-geleng. Kemudian Ibu menyerahkan kembali buku itu kepada Alessandro.

“Ibu juga tidak tahu buku apa ini, Nak,” kata Ibu. “Tapi, Ibu ingat, kakekmu pernah berpesan mengenai sebuah kitab yang kata kakekmu berisi rahasia kebenaran dunia. Ibu tak ingat lagi apa isi pesannya, hanya ingat tentang kitab itu. Mungkin buku ini adalah kitab itu.”

Alessandro mencoba mengingat sosok kakeknya yang bernama Giovanni. Tak banyak yang bisa ia ingat karena kakeknya meninggal saat Alessandro masih kecil. Ia hanya sayup-sayup ingat seraut wajah laki-laki tua berjanggut putih dengan mata yang tampak selalu menerawang.

Alessandro sendiri adalah mahasiswa di Venezia University yang selalu kritis terhadap sejarah. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik cerita-cerita tentang kemegahan barat dan kegagalan timur yang beredar luas di kalangan akademisi dan masyarakat umum. Ia merasa ada sesuatu yang lebih gelap dan belum terungkap.

Di abad dua puluh satu, peradaban dunia berpusat di Barat dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi. Dunia timur tidak memiliki banyak pilihan. Dunia timur tidak lebih dari reruntuhan peradaban masa lalu yang selalu diromantisasi bahwa nenek moyang mereka dahulu berhasil menciptakan peradaban termaju dan menjadi rujukan bagi seluruh dunia.

Selama bertahun-tahun, Alessandro membaca naskah-naskah ilmiah yang menyebut timur sebagai sumber cahaya, tempat lahirnya matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Para filsuf besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina merupakan cendekiawan yang menciptakan kemajuan peradaban timur.

Alessandro meragukan apakah dahulu cahaya ilmu pengetahuan itu benar-benar bersinar di Timur. Ia saat ini sedang berfokus pada satu dinasti Islam terakhir, yaitu Ottoman, yang memiliki sejarah konflik berkepanjangan dengan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa. Ia merasa bahwa Ottoman runtuh karena memang tidak pernah mencapai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi. Puncak itu dicapai oleh Barat. Karena itulah Ottoman tidak pernah menciptakan struktur ekonomi dan politik yang kuat serta persenjataan yang digdaya. Barat dengan keunggulan dan kelihaiannya dengan mudah merongrong Ottoman hingga menjadi pesakitan di Eropa.

Namun, Alessandro tak kuasa melawan kebenaran akademis yang lebih mutlak dari kebenaran kitab suci. Ia hanya menyimpan dugaannya itu dalam pikirannya.

“Baiklah, Bu, akan kusimpan buku ini di kamarku saja,” kata Alessandro.

“Iya, Anakku,” kata Ibu, “simpanlah. Ibu juga harus mengolah spaghetti ini agar kita tidak kelaparan nanti malam.”

***

Malam itu, dalam tidurnya, Alessandro merasa mendengar suara sayup-sayup memanggil namanya.

“Alessandro, Alessandro, kemarilah, Nak, kamu akan mengetahui kebenaran tentang apa yang selama ini membuatmu gelisah.”

Alessandro terjaga dan mendengarkan dengan saksama suara itu.

“Apakah aku bermimpi? Aku merasa seperti ada suara orang tua yang memanggil-manggil namaku. Ah, mungkin aku berhalusinasi atau hanya mimpi,” batin Alessandro, lalu beranjak tidur kembali.

Tak berselang lama suara itu kembali terdengar.

“Alessandro, Alessandro, kemarilah, Nak, kamu akan mengetahui kebenaran tentang apa yang selama ini membuatmu gelisah.”

Alessandro kembali terjaga. Ia membuka matanya lebar-lebar dan menajamkan telinganya. Ia melihat cahaya hijau bersinar terang dari dalam laci tempat ia menyimpan kitab kuno. Suara itu kembali terdengar, masih dengan kata-kata yang sama.

Alessandro bangkit, lalu perlahan mendekati laci. Ketika ia membuka laci itu, portal dimensi muncul tiba-tiba dan menariknya masuk ke dimensi lain.

Alessandro pingsan ketika melintasi portal dimensi itu. Ketika tersadar, ia telah berada di tengah hutan belantara dan keadaan telah berubah. Waktu yang tadinya malam berubah menjadi siang. Ia mendengar suara air yang mengalir, seperti ada sebuah sungai besar dari arah selatan. Ia memutuskan untuk berjalan menyusuri hutan belantara yang asing itu. Ternyata suara air yang didengarnya tadi bukanlah sebuah sungai besar, melainkan deburan ombak di sebuah selat yang terletak di antara dua daratan.

“Mungkinkah ini Selat Bosporus yang legendaris itu?” gumam Alessandro. “Bukankah itu Hagia Sophia?”

Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa memang apa yang di hadapannya saat ini adalah Istanbul, ibukota Dinasti Ottoman. Tapi, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.

“Benar, kitab kuno peninggalan kakek! Pasti kitab itu yang menyebabkan aku bisa sampai ke sini.”

Ia melihat smartwatch yang ada di tangan kirinya untuk memastikan apakah ia benar-benar berada di Abad Pertengahan. Dan betapa terkejutnya ia. Waktu menunjukkan tanggal 29 Mei 1521 M, yang berarti bahwa ia memang benar-benar kembali ke masa lalu. Mau tak mau, Alessandro percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia telah kembali ke masa Ottoman, tepat saat peradaban itu berada di puncak kejayaannya. Ia melihat bangunan-bangunan megah berdiri kokoh. Satu hal yang pasti, ia merasa bahwa ia harus mengetahui kebenaran apa yang tertera di dalam kitab itu. Saat berjalan di sekitar Hagia Sophia, Alessandro bertemu seorang lelaki tua berjanggut panjang yang tampak bijaksana. Lelaki tua itu, yang mengenakan jubah putih dan menatap Alessandro, seolah mengetahui bahwa pemuda itu bukan bagian dari waktu ini.

Ilustrasi: Haiku Suluh Wangsa.

“Kamu berasal dari masa depan, bukan?” tanya lelaki tua itu dengan bahasa yang tidak pernah Alessandro dengar sebelumnya, tapi anehnya Alessandro memahami apa maksud perkataan lelaki tua itu.

“Anda siapa, Kek? Bagaimana Anda tahu bahwa saya dari masa depan?” tanya Alessandro.

“Aku adalah filsuf terakhir yang hidup di masa ini. Orang akrab memanggilku dengan nama Ebru Yildirim dan aku tahu bahwa waktu sering kali tidak berjalan lurus. Kitab yang Kamu bawa itu adalah kunci untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi dalam sejarah.”

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kitab kuno itu berada di dalam tas Alessandro. Pemuda itu lalu mengeluarkan kitab kuno tanpa ragu dan menunjukkannya kepada Ebru Yildirim. Katanya, “Apa maksud kitab ini? Mengapa kakek saya menyimpannya dan mengapa saya bisa kembali ke masa ini?”

Ebru Yildirim mengamati kitab itu dengan saksama, lalu membuka beberapa halaman. Katanya, “Ini bukan hanya kitab biasa. Ini adalah kebenaran filsafat yang hilang selama berabad-abad. Para pemikir besar timur maupun barat pernah menulis di sini, berdiskusi tentang hakikat kebenaran dan realitas.

Namun, ketika kekuasaan Ottoman merosot, pengetahuan ini disembunyikan karena terlalu berbahaya untuk diketahui oleh mereka yang hanya mengejar kekuasaan.”

“Terlalu berbahaya? Bagaimana bisa filsafat menjadi berbahaya?”

Ebru Yildirim tersenyum tipis. Ia  berkata, “Kebenaran filsafat yang ada dalam kitab ini melampaui batas-batas ruang dan waktu. Para filsuf menyadari bahwa realitas adalah ilusi dan ilusi adalah realitas. Mereka menemukan fakta luar biasa di balik filsafat. Jika mampu menyelaraskan antara logika dan intuisinya dengan sempurna, dengan mudah manusia dapat menembus batas-batas ruang dan waktu, bahkan bisa memanipulasinya. Jika sampai rahasia filsafat ini jatuh ke tangan manusia yang tamak dan serakah akan kekuasaan, keseimbangan dunia akan rusak.”

“Apakah itu alasan mengapa Ottoman runtuh? Bukan karena perang, melainkan karena kebenaran filsafat yang berusaha disembunyikan?”

Ebru Yildirim mengangguk. Katanya, “Benar. Para pemikir saat itu takut akan kebenaran filsafat yang luar biasa ini. Mereka berusaha menyembunyikannya dan membiarkan dinasti Ottoman perlahan-lahan runtuh. Hal ini dianggap lebih baik daripada harus menghadapi konsekuensi kebenaran filsafat yang lebih besar di masa depan.”

Alessandro merasa kepalanya berdenyut. Ia mengingat narasi sejarah yang selama ini dipelajari, dan kini semuanya tampak tidak berarti. Ia ditampar oleh kebenaran filsafat yang tak pernah terbayangkan olehnya.

“Jika memang kebenaran filsafat dapat merusak keseimbangan dunia, mengapa kitab ini dituliskan?”

Ebru Yildirim menatapnya dalam-dalam. Katanya, “Kitab ini dituliskan oleh para filsuf dahulu dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dunia. Mereka adalah orang-orang yang mampu menyelaraskan logika dan intuisinya dengan sempurna sehingga mereka dapat mengetahui bahwa nantinya, di masa depan, akan lahir seseorang yang memiliki hati suci dan pikiran yang jernih. Dialah yang akan menjaga kebenaran filsafat ini.”

“Siapakah seseorang yang memiliki hati suci dan pikiran yang jernih itu? Jangan katakan bahwa orang itu adalah aku!”

Ebru Yildirim tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. Katanya, “Benar sekali, orang itu adalah kamu, Alessandro. Kakekmu Giovanni adalah orang terpilih sebelum kamu yang menjaga kebenaran filsafat dalam kitab ini.”

“Apa yang harus saya lakukan? Saya bukan seorang filsuf. Saya hanya seorang mahasiswa sejarah. Bagaimana cara saya menjaga kebenaran filsafat ini?.”

Ebru Yildirim kemudian berkata, “Yang harus kamu lakukan adalah mengikuti apa kata hatimu, Alessandro.”

Filsuf terakhir Ottoman itu menatap Alessandro dengan tatapan dalam, seolah membaca lebih dari sekadar pemikiran luarnya. Katanya, “Kebenaran filsafat bukan sesuatu yang bisa dipelajari sepenuhnya melalui buku. Filsafat adalah pengalaman yang hidup, yang hadir di setiap keputusan dan setiap momen. Kamu akan tahu apa yang harus dilakukan pada waktunya.”

Alessandro merenungkan kata-kata sang filsuf terakhir Ottoman. Hatinya berkecamuk antara keraguan dan rasa tanggung jawab yang tiba-tiba terasa begitu berat. Ia berkata, “Tapi, bagaimana jika saya gagal? Bagaimana jika saya tidak mampu menyelaraskan logika dan intuisi saya seperti yang mereka lakukan?”

Ebru Yildirim tersenyum lembut. Ia berkata, “Kegagalan hanya ada dalam pikiran yang terbelenggu oleh ketakutan. Ingatlah, Alessandro, kebenaran filsafat ini bukan tentang kekuatan, melainkan tentang keseimbangan. Dunia selalu mencari harmoni, dan jika kamu tetap tulus, kebenaran akan selalu berada di sisimu.”

Saat mereka berbincang, langit Istanbul yang cerah tiba-tiba berubah. Awan gelap menggulung dengan cepat, dan angin mulai berembus kencang. Ebru Yildirim mengerutkan kening, tampak khawatir. “Waktu kita hampir habis,” kata lelaki tua itu.

“Tunggu, apa yang terjadi?” Alessandro bertanya panik. “Apakah saya harus kembali ke masa saya sendiri?”

Ebru Yildirim tidak menjawab. Ia hanya berkata, “Kitab itu tidak pernah dimaksudkan untuk dibaca seluruhnya. Ada sesuatu yang tidak boleh dibuka, bahkan oleh mereka yang memiliki hati suci dan pikiran jernih sekalipun.”

Tiba-tiba, embusan angin semakin kuat dan gemuruh terdengar dari langit. Alessandro, dalam kekalutan, tanpa sadar membuka halaman terakhir kitab itu. Secercah cahaya hijau terang muncul, dan seketika ia merasa tubuhnya ditarik kembali oleh kekuatan yang tak terlihat.

“Apa yang terjadi?” Alessandro berteriak, tetapi suaranya tenggelam dalam badai cahaya.

Saat tersadar, Alessandro berada di kamar tidurnya lagi, dengan kitab kuno di tangannya. Napasnya terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Semua tampak seperti mimpi aneh hingga ia melihat waktu di smartwatch-nya. Sekarang menunjukkan tanggal 30 Mei 2024, sehari setelah dia terakhir memeriksa waktu. “Apakah aku benar-benar kembali ke masa Ottoman?” gumamnya.

Namun, ada sesuatu yang ganjil. Kitab itu, yang tadinya penuh dengan aksara-aksara misterius, kini kosong. Halamannya kuning kecokelatan, seolah-olah tidak pernah ada tulisan di dalamnya.

Di tengah kebingungannya, Alessandro mendengar suara lembut Ebru Yildirim di dalam kepalanya: “Kebenaran filsafat ada dalam hatimu, Alessandro. Kitab itu sekarang kosong karena jawabannya bukan di sana, melainkan di dalam dirimu.”

Kejadian yang tak terduga datang saat Alessandro menyadari sesuatu yang lebih mengerikan: waktu di smartwatchnya menunjukkan detik-detik yang bergerak mundur. Semakin ia memperhatikannya, semakin cepat ia melihat waktu berbalik.

Alessandro tersentak.

“Tidak! Apakah aku terjebak dalam waktu yang berbalik?”

Suara Ebru Yildirim terngiang lagi di telinganya: “Hanya kebenaran yang bisa membebaskanmu, Alessandro. Ingatlah, realitas adalah ilusi.”***