Menu

Suku Sastra Membaca Buku Student Hidjo. 1919

 

Hidjo, seorang anak priyayi kecil sekaligus saudagar pada masa pemerintahan kolonial Belanda melanjutkan study di Belanda menjadi _ingeniuer_ atas perintah ayahnya. Pada masa pemerintahan kolonial status saudagar dipandang lebih rendah daripada pegawai negeri Belanda. Ayah Hidjo, Raden Potronojo ingin menunjukkan bahwa semua orang sama saja. Di Belanda Hidjo merasa luar biasa karena dapat menyuruh-nyuruh orang Belanda. Semakin lama Hidjo di Belanda, ia semakin kehilangan “Jawanya” karena perbedaan kultur.

 

Novel ini pada masanya dikategorikan sebagai “bacaan liar” oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tokoh Hidjo misal, seorang kutu buku yg jarang bersenang-senang dan tidak main perempuan, hingga mengejar _study_ ke Belanda. Pemerintah kolonial menginginkan pribumi yang cerdas namun tidak yang terlalu cerdas, karena bisa menjadi duri di pemerintahan. Penolakan keluarga Hidjo terhadap ideologi Belanda juga menjadi kunci bahwa pribumi kala itu dianggap seperti buruh dan rendah derajatnya. Novel yg dibalut roman dan berakhir bahagia menyamarkan analisis Marco atas situasi sosial-politik-budaya Hindia Belanda. Akan tetapi kepemerintahan lebih jeli daripada pengarang hingga akhirnya karya ini dibredel.

 

Marco Kartodikromo lahir dari keluarga priyayi rendahan di Cepu, kurang lebih tahun 1890. Akses pendidikan yang diterimanya membuka kesadaran Marco atas penindasan Belanda. Tulisan-tulisanya yang kritis membuatnya dipenjara. Sekeluarnya dari penjara ia pergi ke Belanda dan sepulangnya ia menulis artikel “Sama Rata Sama Rasa” dan karenanya ia kembali dipenjarakan. Hingga akhir hayatnya Marco tetap anti-Belanda.

 

Sumber: SERATUS BUKU SASTRA INDONESIA YANG PATUT DIBACA SEBELUM DIKUBURKAN. An. Ismanto.

 

 

Tuliskan komentar