Olenka di cerpen ini menjadi sosok panutan sekaligus penentu laku tokoh utama.
Olenka di cerpen ini menjadi sosok panutan sekaligus penentu laku tokoh utama.

Subagio Versus Subagio

Subagio Sastrowardoyo (1924-1995) adalah seorang sastrawan serba bisa. Ia memiliki mata penyair dan kritikus. Ketika menggunakan mata penyairnya, ia telah menerbitkan beberapa buku puisi seperti Simphoni (1957), kemudian terbit kembali pada tahun 1986 menjadi Simfoni Dua, lalu Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Hari dan Hara (1982), dan puisi-puisi pilihan yang dimuat dalam Dan Kematian Makin Akrab (1995).  Ketika menggunakan mata kritikusnya, Subagio menerbitkan beberapa buku seperti Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989), dan Sastra Hindia Belanda dan Kita (1990).

Dalam menggunakan mata penyairnya lalu menulis puisi, Subagio lebih mengutamakan perasaan intuitif, seolah ia menulis puisi dengan tangan seorang ekspresionis, seperti yang dikatakannya dalam Mengapa Saya Menulis Sajak (1972), esai penutup buku Keroncong Motinggo yang sebelumnya disampaikan dalam forum penulis-penulis di Australia:

Ketika saya mendapat ilham kata-kata dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak. Kerapkali saja merasa seperti mabuk kata-kata, dan pedoman yang saya pakai dalam menguasai desakan aliran kata-kata itu adalah irama yang melekat padanya (…) saya tidak amat peduli adakah apa yang saya katakan di dalam sajak dapat dimengerti oleh pembaca ataupun dapat diterima oleh ukuran, aturan atau teori-teori sastra yang ada. Saya hanya percaya dan yakin akan kejernihan dan kesejatian bayangan batin saya dan menyatakannya dalam sajak …

Situasi itu mengantarkan Subagio dalam dua pola tematik menulis puisi. Saat keadaan jiwanya terlibat secara emosional pada suatu peristiwa, ia akan menerbitkan sajak-sajak yang dilandasi nafsu asmara dan kesadaran kesepian. Di situasi yang lain, saat keadaan jiwanya sedang tenang dan hening, ia menulis sajak-sajak yang bersemangat keagamaan dan kerohanian.

Sajak bagi Subagio tercipta pada saat-saat estetis atau saat-saat puitis yang sekilas-sekilas, yang pada saat itu juga berkilat bayangan-bayangan batin. Bayangan batin yang menangkap pertalian-pertalian dari yang asasi dengan tugastugas serta makna-maknanya yang pokok,  yang  tertangkap secara intuitif, dan oleh karena itu imagery atau gatra, baginya, adalah unsur inti dari bangunan sajak yang menjelma dalam batin.

Melalui mata penyairnya itu, kita menangkap suatu tatapan penting, yaitu bahwa Subagio menitikberatkan gatra sebagai unsur inti dari sajak sebagai sesuatu yang terjelma dari bayangan batin. Dengan demikian, secara tidak langsung gatra menjadi pengantar bagi penyair untuk menulis puisi dan menjadi objek tatapan bagi kritikus dalam mengkritik puisi. Mata kritikus Subagio yang berfungsi di saat ia:

… tidak mempunyai sesuatu ilham dan jiwaku tergolek kosong dan kering seperti tanah gurun. Pada waktu demikian saya seakan-akan telah keluar dari malam pemikiran puitis dan berdiri di siang bolong dan menyaksikan diri sendiri dan dunia, sekeliling saya secara obyektif dan kritis. Inilah saat-saat yang terbaik bagi saya untuk menulis esai dan kritik tentang sastra.

Pernyataan yang ia tuliskan dalam pidato “Mengapa Saya Menulis Sajak”itu mengantarkan kita pada paragraf pembuka buku Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Bagi Subagio:

Penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan dengan sepenuhnya di dalam sajak. Karena itu ia ingin tak putus-putus menulis sajak. Karyakarya yang terserak di dalam majalah atau kumpulan sajak merupakan persaksian pengalaman-pengalamannya, terutama pengalaman batinnya, yang mengacu pribadinya.

Subagio berusaha mengkritik itu dan membaca apa yang mungkin dapat terbaca dari “kata-kata sajak”. Namun, usaha pembacaan estetis itu tidak cukup bagi Subagio. Ia merasa perlu melihat konteks sosial dari puisi dan penyairnya. Ruang kritik yang berada di luar “kata-kata sajak”, yaitu dengan cara menelaah sikap penyair terhadap kerja sastranya, sebab pada akhirnya pergulatannya dengan bentuk budaya yang dipilihnya itu yang akan menentukan apakah hasilnya sanggup meyakinkan kita akan kesejatian dan kelengkapan tanggapan diri itu. Caracara kritik estetis dan sosial itu untuk menentukan apakah puisi yang dituliskan oleh penyair cukup bernilai untuk dikaji dan dibicarakan.

Maka, setelah membaca pernyataan-pernyataan Subagio tentang cara dan sikapnya menulis puisi dan kritik, timbul pertanyaan dalam benak saya: Apakah ia benarbenar menyaksikan diri sendiri dan dunia secara objektif dan kritis? Bukankah konsep “penyair” yang dituliskannya dalam pengantar buku kritik sastranya itu tak lain adalah cerminan dirinya sebagai penyair? Lebih utama, apakah cara kritik Subagio yang ditujukan kepada para penyair itu tidak diterapkannya sewaktu itu menulis puisi?

Saya akan menyusuri Subagio dengan menggunakan kedua matanya, sebagai penyair dan kritikus, untuk melihat apakah kedua tatapan itu menimbulkan kontradiksi atau keselarasan, apakah tatapannya itu benar jernih atau hanya sinisme yang sentimentil. Saya akan mengambil dua contoh kasus dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak (1980) yakni pada bagian “Orientasi Budaya Chairil Anwar” dan “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca”, yang bagi saya jelas terasa sisi kontradiksinya dibanding saat Subagio menulis “Manusia Terasing di balik Simbolisme Sitor” dan “Hati Sabar Toto Sudarto Bachtiar”.

Pada paragraf pembuka Orientasi Budaya Chairil Anwar, Subagio langsung memberikan sebuah pernyataan bahwa apa yang dikritiknya dari puisi-puisi Chairil Anwar bukanlah suatu kecaman karena ia kurang ada keberanian (…) untuk mengutik-utik kedudukan tokoh sastra yang kenamaan itu. Setelahnya, Subagio menjelaskan secara kompleks mengenai posisi Chairil dan lingkungan sosial yang pada saat itu melingkupinya. Ada hubungan sebab-akibat yang mendorong Chairil menentukan pilihan artistiknya atau, dalam bahasa Subagio, “orientasi” pada budaya Barat.

Entah mengapa Subagio mesti memulai kritiknya terhadap puisi-puisi Chairil dengan lebih dahulu melihat konteks sosial penyairnya, lalu menempatkan kritik estetis puisi Chairil pada bagian akhir. Hal itu dilakukannya setelah mencapai suatu pernyataan pasti: bahwa Chairil Anwar memilih orientasi budaya Barat dan ingin menjadi manusia berbudaya Eropa. Pilihan Subagio itu seolah menyempitkan pembaca untuk menelisik lebih jauh maksud dari “budaya yang keeropaan” dalam puisi-puisi Chairil.

Ternyata, bagi Subagio, gatra “mengembara serupa Ahasveros” dalam puisi “Tak Sepadan”, gatra “thermopylae” dalam puisi “Malam”, juga gatra “Itu tubuh / mengucur darah / mengucur darah / rubuh / patah /  mendampar tanya: aku salah?” dalam puisi “Isa”-nya Chairil, membuat Chairil telah mendasarkan pemakaian gatranya pada pola berpikir yang sudah tersedia di Barat, tetapi yang tidak terangkum di dalam alam cita dan pikiran Indonesia  (…) Dengan pemakaian gatra demikian, Chairil telah memilih sebagai publik pembacanya masyarakat Budaya Eropah. Ia tidak setia kepada dunia anganangan masyarakat sekelilingnya, sedang ia masih berhutang bahasa yang dipergunakannya.

Subagio bahkan membandingkan penggunaan gatra yang dipakai oleh Chairil dengan Toto Sudarto Bachtiar. Bagi Subagio, gatra Toto yang berulang seperti “keguraman malam”, “ladang-ladang yang sepi”, dan “rumah-rumah runtuh” membentuk suatu sistim yang memungkinkan kesimpulan maknanya bagi siapa pun juga, sekalipun membayangkan pengalaman batin yang pribadi. Dengan kata lain, Subagio seolah berucap bahwa gatra Toto lebih terasa dalam “alam cita dan pikiran Indonesia”, dan tidak asing seperti gatranya Chairil:

Gatra-gatra Chairil di atas tidak timbul dari suatu sistim ataupun bersandar pada suatu dasar pola, sehingga tetap asing maknanya, karena berpangkal pada pengalaman sejarah serta kehidupan budaya yang asing bagi pembaca Indonesia.

Pilihan Subagio dalam menganalisis konteks sosial penyairnya terlebih dahulu itu, menciptakan suatu kontradiksi yang nyata. Subagio percaya pada gatra sebagai unsur inti dari bangunan sajak yang juga terjelma dari bayangan batin penyairnya, tetapi Subagio lesap untuk menelisik gatra-gatra lain dari dalam bangunan sajak itu.

Seperti dalam puisi “Tak Sepadan”, Subagio hanya berfokus pada gatra “mengembara serupa Ahasveros”, dan melupakan gatra yang lain “Dikutuk-sumpahi Eros”. Ia tidak menjelaskan lebih jauh mengenai gatra ini. Siapa Eros? Mengapa ia mengutuk-sumpahi si “aku-liris”? Mengapa pula Subagio melepaskan analisisnya pada irama yang melekat dalam puisi itu, padahal, baginya, irama adalah pedoman yang digunakannya untuk menguasai desakan aliran kata-kata? 

Kesalahan Subagio untuk selalu menautkan apa yang estetis di dalam puisi dengan konteks sosial puisinya mengakibatkan Subagio memiliki pandangan yang buram. Keburaman yang membuat ia hanya dapat melihat Ahasveros sebagai tokoh cerita di luar puisi Chairil, keburaman yang membuat gatra di dalam puisi “Isa” menjadi sama sekali tidak memberi arti apa-apa jika kita tidak mempunyai sangkutan pikiran tentang kisah penebusan dosa Nabi Isa itu.

Maka, dengan nalar kritik yang demikian, kita juga bisa beranggapan bahwa puisi “Salju”-nya Subagio dengan gatra “Asal mula adalah salju” tidak sesuai dengan alam cita dan pikiran Indonesia karena kita tidak pernah merasakan salju. Gatra awal itu sudah memaksa kita memasuki bayangan batin Subagio yang sangat personal, yang sangat asing, apalagi jika kita membayangkan gatra sesudahnya: “sebelum tercipta Waktu”, dan “Angin kutub memanjang selalu”. Apakah kita pernah merasakan angin kutub itu di tengah iklim tropis Khatulistiwa ini?

Saya baru saja mencontohkan apa yang Subagio lakukan dalam membaca puisi-puisi Chairil Anwar yang selalu dikaitkan dengan konteks sosial terlebih dahulu. Atau, barangkali Subagio ingin berbicara dengan cara lain, yaitu bahwa dalam menautkan tokoh di dalam puisi, Chairil Anwar harus mencontoh dirinya yang piawai menarasikan tokoh-tokoh itu dan membuat semacam “drama sajak”.

Semisal, seperti dalam puisi “Lorelei”, Subagio cukup piawai mempermainkan intertekstualitas mitologi menjadi gaya ucap yang segar, alih-alih hanya menyebut nama tokoh atau peristiwa seperti yang dilakukan Chairil. Namun, di titik ini, lagi-lagi kita juga bisa bertanya, apakah puisi yang berangkat dari legenda Jerman itu sesuai dengan kondisi alam cita dan pikiran Indonesia? Apakah dengan menulis puisi itu, Subagio juga berorientasi pada budaya barat yang keeropaan?

Di titik ini, Subagio melawan kata-katanya sendiri bahwa gatra sebagai unsur inti bangunan sajak tidak pernah ia bisa tangkap seutuhnya. Seolah hanya sampai pada pintu sajak dari rumah batin pribadi penyair, Subagio tidak pernah masuk dan berusaha untuk mengenali rumah batin itu.

Kefatalan yang lain dari cara kritik Subagio ini adalah ia memecah hingga mengambil seperlunya gatra-gatra yang dirasanya cukup untuk mendukung pernyataannya itu. Bagi Subagio, rupa gatra serta struktur jiwa Chairil yang melakukan pelarian “ke luar negeri” melalui angan-angan Chairil berada di tengah-tengah kebudayaan Barat di Eropah [sic] itu tergambarkan melalui pengulangan gatra puisi seperti: luka menganga, darah, nanah, sungsum, tulang-belulang, cacar, sipilis, dan lepra di dalam sajak-sajak Chairil, seperti “Aku”, “Kupu Malam dan Biniku”, “Selamat Tinggal”, “1943”, “Kabar dari Laut”, “Merdeka”, “Isa”, dan “Kepada Pemintapeminta”, “Aku Berkisar antara Mereka”.

Kita bisa melihat bagaimana Subagio hanya mengambil sedikit gatra-gatra yang baginya mewakili bayangan batin Chairil dari keseluruhan gatra yang ada pada puisi-puisi di atas. Cara kritik yang parsial dan fatal. Lebih jauh, bagi Subagio, melalui angan-angan itu, Chairil juga mempergunakan sarana serta gaya pengucapan diri yang telah ada di sana (Barat). Subagio bahkan membandingkan pengalaman empiris yang dialami Sitor Situmorang karena pernah tinggal di Eropa, berbeda dengan Chairil yang tidak pernah menginjakkan kakinya di benua itu dan karena itu mengenalnya hanya dalam abstraksi, karena itu pula penderitaan batin Chairil lebih parah. Ia bergulat dengan masalah-masalah yang tidak mengenai dirinya secara kongkrit (…) Pergulatan batin yang dilakukan di dalam alam abstrak itu meninggalkan bekas pada wajah kejiwaannya yang memperoleh ciri-ciri yang nihilistis dan destruktif.

Sinisme itu Subagio tutup dengan mencoba melihat sisi yang lain dari sajak Chairil, tetapi perjuangannya yang tidak mengenal kalah, yang diiringi oleh kesadaran akan pencariannya yang sia-sia akan nilai-nilai justru memberikan kesan yang menarik pada sajak-sajaknya. Dari sajak-sajaknya orang selalu bisa menangkap suara pribadinya yang kejantanan dan bayangan dirinya sebagai pahlawan gelap di dalam kesamaran suasana romantik.

Usaha Subagio untuk memberikan kesan lain atas pembacaannya pada puisi-puisi Chairil juga teramat fatal. Subagio lebih jauh menjelaskan sifat kepahlawanan serta sikap kejantanan merupakan ciri-ciri pribadi yang menarik buat zaman yang sulit itu. “Pribadi yang kuat” yang terpancar dari sajak-sajak Chairil lantas menjadi ukuran serta cita-cita bagi hasil sastra yang baik.

Seolah Subagio hendak berkata bahwa karena situasi dan semangat zaman pada saat itu puisi-puisi Chairil merupakan hal yang wajar. Subagio selalu memandang konteks sosial, alih-alih usaha Chairil untuk mengatasi zaman penjajahan yang sulit itu melalui pencariannya dalam memberikan sumbangsih Chairil pada bahasa dan sastra Indonesia. Pemakluman itu Subagio lihat sebagai:

… dalam hal ini Chairil bukan saja menjadi murid Takdir Alisjahbana yang baik di dalam memuja Barat. Ia pun terbawa oleh arus perhatian yang kuat di tengah kegoncangan hidup pada zaman itu untuk kembali mencapai nilai estetik yang dikenal orang melewati bacaan bahasa Belanda, yaitu sebelum mengalami seni propaganda Jepang serta kekeringan cita sastra di zaman revolusi. Dan timbullah keganjilan. Di tengah hangatnya perlawanan terhadap dominasi politik Belanda, Chairil menggali kembali khasanah sastra Belanda yang dibiarkannya memengaruhi dirinya dengan sikap dan pandangan keeropahannya. Hasilnya adalah seorang Chairil yang memiliki jiwa yang khas Barat yang bersajak dalam bahasa Indonesia. Bolehkah dari sini kita berkesimpulan, mengapa begitu banyak pengulas sastra Barat merasa terasyik oleh sajak-sajak Chairil sejak semula? Mereka menemukan wajah sendiri pada ketegangan serta kegugupan pribadi penyair yang “kuat” itu.

Sebaliknya saya yakin, bahwa bagi pembaca Indonesia yang tidak mempunyai prasangka budaya Barat, sajak-sajak Chairil membayangkan pribadi yang tetap asing, sekalipun tetap menarik karena daya angan serta kemajuannya dalam menciptakan gaya persajakan baru di dalam kesusatraan Indonesia.

Chairil tidak setia kepada ke-Indo-an budaya manusia Indonesia modern…

Meski berkali-kali menautkan konteks sosial dari pilihan estetikanya Chairil, Subagio ternyata luput bahwa Chairil bukan hanya sebagai anak zaman yang memiliki semangat individu karena situasi pada saat itu, tetapi juga semangat individu Chairil yang tertuang dalam puisi-puisinya juga semacam konfrontasi atas patron-patron estetika sebelum Chairil, pada Pujangga Baru semisal. Keindividuan itulah yang menarik dari Chairil. Di saat para penyair Pujangga Baru terlalu halus gaya ucap dan pilihan tematiknya, padahal situasi zaman genting dan mencekam, Chairil hadir dengan dobrakandobrakan gatranya, yang tak naif menggunakan gatra kata dan bangunan sajak yang sangat berbeda dengan estetika sebelum Chairil. Di tangan Chairil Anwar, kita memasuki babak baru dalam bahasa dan sastra Indonesia pada saat itu.

Chairil bukan tidak setia kepada ke-Indo-an budaya manusia Indonesia modern seperti yang diucapkan Subagio, tetapi ia muak dengan gaya ucap puisi era sebelumnya. Bukan berarti Chairil menolak dan membuangnya begitu saja. Chairil justru lebih visioner, seperti pandangannya akan sajak Amir Hamzah(dalam Hoppla dari buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45), bahwa gaya ucap Amir “destruktif untuk bahasa lama, tapi sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru”.

Chairil Anwar memperluas atau meradikalkan apa yang ia temukan pada Amir Hamzah, Marsman, hingga John Cornford.

Barangkali itulah mengapa para pengulas sastra Barat pada saat itu asyik mengulas Chairil: karena ia tidak bersetia pada gaya ucap yang lama; bukan karena kemiripan dan kesamaan tematik seperti yang tersedia di Barat, tetapi Chairil meruntuhkan batas-batas teritori wilayah dalam imajinasi kita dan memburamkan kesan Barat dan Timur menggunakan gatra-gatranya itu. Chairil adalah “pencuri” ulung bahasa, dan sebagai seorang pencuri, ia berhak mengambil apa yang menurutnya penting untuk diambil.

Jika, pada Chairil, Subagio mengkritik konteks sosialnya terlebih dahulu, menjabarkan secara kompleks dan ambigu posisi Chairil sebagai anak zaman yang berorientasi pada kebudayaan Barat, lain halnya ketika Subagio mengkritik Rendra. Bagi Subagio, terasa ada kerancuan antara RendraLorca, bahwa ketika kita membaca “Ballada Orang-orang Tercinta”, orang akan repot menerka siapa yang berbicara, Rendra atau Lorca.

Subagio, seperti yang dituliskannya dalam Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca, membaca buku sajak Ballada Orangorang Tercinta karya Rendra itu dengan terpesona, tetapi kemudian ia merasa setelah sekian tahun lewat sejak tahun 1957, menjadi sulitlah untuk mengingat lagi apa sebenarnya yang menjadi nilainya (Ballada Orang-orang Tercinta) itu. Kesulitan yang disebabkan oleh perbedaan umur dan jalan pengalaman, yakni unsur-unsur subyektif di dalam pernilaian yang kerapkali tidak dapat kita hindarkan.

Impresi Subagio yang mula-mula terpesona, dan kemudian mengabur pada buku sajak itu,  rupanya ia coba generalisasi dengan faktor keterbacaan umur pembaca yang lain, yang entah dari mana argumen ini tiba-tiba hadir: bagi pembaca yang usianya sudah melewati empat puluh tahun, sajak-sajak Rendra di dalam kumpulannya pertama ini berkesan sebagai penggambaran alam kayal yang meliputi pikiran pemuda yang baru meningkat dewasa. Pokok perhatiannya menyangkut soal-soal remeh tetapi yang masih dirasa gawat oleh orang yang berumur sekitar dua puluh tahun (…) inilah alam kayal Rendra yang dituang ke dalam bentuk balada, sajak berkisah yang memenuhi kesenangan penyairnya akan dramatik, akan kehebatan peristiwa yang mengandung konflik.

Rendra bersepakat dengan Teeuw, yang mengagumi sajak-sajak ini, tidak merasa tertarik kepada cerita pendek Rendra, karena dianggap terlalu kekanak-kanakan. Tetapi dalam menghadapi tema serta perkembangannya di dalam baladabalada ini, maka sukar juga saya menghindarkan anggapan yang sama, ‘they are sometimes all too simple, childish almost.’ Meski demikian, bagi Subagio, dengan penulisan balada ini sejarah kesusateraan Indonesia harus berterimakasih kepada Rendra. Baru dengan munculnya Rendra, genre ini, dalam arti jenis karya sastra dikenal oleh masyarakat sastra kita. Nama dan bentuk jenis karya ini bukanlah asli Indonesia. Di berbagai negeri di· Eropah balada dikenal di dalam· berbagai corak tetapi pada umumnya dapatlah ditandai dengan ciri sajak berkisah yang pendek dan sederhana yang diucapkan dengan suasana perasaan lirik.

Oleh karena itu, bagi Subagio, balada-balada Rendra memang tidak memberi kesempatan kepada pembaca untuk berhenti berpikir dan merenung di dalam saat-saat hening. Yang penting ditangkap adalah kesan-kesan permukaan dari adegan-adegan menggemparkan di dalam peristiwa perkosaan perempuan, adu otot, pembunuhan keji dan pamer kejantanan. Melodrama dengan penekanan pada perbuatan-perbuatan lahir serta pencarian efek emosi yang dilebih-lebihkan di dalam sajak-sajak ini pada pembacaan pertama tidaklah terasa, karena pembaca cenderung terhanyut dalam retorik yang ramai gemuruh itu dan terpesona oleh kemanisan citra (imagery) sajak. Terutama karena penonjolan kejadian lahir dan gaya pelukisannya itu balada-balada Rendra sangat cocok untuk acara deklamasi yang banyak dilakukan pada pertengahan tahun lima puluhan. Deklamasi, apalagi dalam bentuk perlombaan masal, tidak membutuhkan perenungan makna sajak.

Kita bisa melihat bagaimana Subagio menjadi penjaga gawang mutu kesusastraan Indonesia, dalam hal ini puisi. Jika, pada Chairil, Subagio tidak melihat kemungkinan lain dan terburu-buru mencapnya sebagai kebarat-baratan, pada Rendra, Subagio cukup menyanjungnya karena telah memperkenalkan bentuk balada, bentuk yang bukan asli Indonesia. Lagi-lagi, Subagio menunjukkan posisinya sebagai penjaga gawang “mutu” kesusastraan Indonesia. Kita tentu bertanya-tanya, seperti apakah bentuk dan tema puisi yang asli Indonesia itu? Bagaimanakah menggambarkan puisi yang sesuai alam cita pikir Indonesia? Subagio seolah menjadi yang paling nasionalistis di sini. Apakah puisi-puisi Subagio mencerminkan ke-Indonesia-an itu? Belum tentu.

Ternyata sanjungan di awal itu bagai ancang-ancang Subagio untuk melakukan jab dan hook kepada Rendra karena baginya jenis karya sastra ini memenuhi selera hidup Rendra yang tertarik kepada dunia kasatmata serta sesuai dengan bakatnya yang besar di dalam permainan drama. Dramatik kejadian yang berlaku di permukaan hidup di dalam baladabaladanya merupakan segi kekuatan Rendra, karena dengan selera serta bakat itu penyair ini telah berhasil menaikkan kemampuannya mengarang setinggi mungkin. Cerita kejadian lahir yang sederhana tanpa mengandung penglihatan hidup yang dalam sudah cukup memberi nilai kepada jenis karya balada ini … tetapi di dalam hal ini kita boleh menuntut lebih banyak lagi daripada kisah pengalaman lahir belaka, terutama kalau kita sudah mendekati usia setengah abad dan dengan demikian mengharapkan dimensi yang lebih dalam lagi daripada kegemparan peristiwa lahir dan penonjolan kehebatan diri di dalam kerja puisi sebagai kesibukan budaya. Kita bisa bertanya: nilai-nilai spiritual apa yang kita peroleh dari bacaan balada-balada ini? Adakah puisi hanya diperuntukkan pembaca-pembaca berjiwa setengah dewasa berumur di sekitar dua puluh tahun saja, dan hanya boleh dinikmati oleh mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini yang timbul pada waktu kita menghadapi balada-balada Rendra dan hendak melihat arti dan nilainya bagi kehidupan budaya yang luas.

Melalui tuntutan itu, kita bisa melihat bagaimana Subagio juga menunjukkan kerancuan. Apa hubungannya menulis puisi dengan kedewasaan umur seorang penyair? Apakah makin matang umur si penyair, makin matang pula puisinya? Bagaimana ukuran mentah dan matang dalam berkarya ini? Apakah puisi-puisi Subagio ketika ia menuliskannya dalam mendekati usia setengah abad itu lebih “dewasa” dari baladabalada Rendra?

Coba kita tengok puisi Subagio yang cukup terkenal itu, “Manusia Pertama di Angkasa Luar”, yang dimuat dalam buku puisinya Daerah Perbatasan (1970). Secara matematis, usia Subagio saat menulis puisi ini juga mendekati setengah abad. Dalam puisi ini, Subagio masih meneruskan penulisan “drama sajak”-nya melalui semacam alusi; aku di dalam puisi itu membayangkan dirinya sebagai seorang astronaut yang melankolis: Beritakan kepada dunia / Bahwa aku telah sampai pada tepi / Darimana aku tak mungkin lagi kembali. Alih-alih totalitas sebagai suatu bentuk profesionalitas menjelajahi kemungkinan-kemungkinan di angkasa luar, rupanya, manusia pertama itu tetap rindu akan bumi, bumi yang membuat ia hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah / Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. / Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu. / Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota / Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat / Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari. Jika yang dimaksud Subagio kedewasaan penyair dalam menulis puisi adalah mengingat kembali hal-hal nostalgik sewaktu kecil, kita perlu menjeda dulu apakah sajak ini juga mengandung unsur kecengengan seperti kritiknya pada balada Rendra?

Sebagai “drama sajak”, Subagio meminjam tokoh astronaut dalam puisi ini yang bisa kita katakan cengeng dan melankolis. Bagaimana tidak? Ia adalah manusia pertama di angkasa luar, harapan banyak orang untuk menjelajahi antariksa, tetapi yang ada di pikirannya adalah Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap / Sekelumit dari pesawatku, seleret dari / Perlawatanku di langit tak berberita, / Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu / Kutinggalkan kemarin dulu? / Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita / Sebab semua telah terbang bersama kereta / ruang jagat tak berhuni. Tetapi / ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi / daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji / yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi / yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi. Bisa kita lihat kelabilan tokoh astronaut dalam puisi ini yang tidak percaya pada sains, pada sistem ilmiah yang membuat ia terlontar dari bumi yang dikasihinya. Mengapa pula terlontar? Apakah si astronaut dalam misi ke luar angkasa itu dalam keadaan tidak mempunyai kuasa apa-apa?

Beginilah jadinya jika penyair meminjam sudut pandang astronaut untuk menulis puisi: penuh kerancuan pribadi, daya ungkap yang lemah dan ambigu. Si penyair yang berpurapura menjadi astronaut itu rupanya menganggap perjalanan ini adalah one way ticket, penjelajahan luar angkasa yang tak ilmiah, juga tak puitis.Perjalanan yang Tetapi aku telah sampai pada tepi / Darimana aku tak mungkin lagi kembali, perjalanan yang membuat ia kembali rindu ibunya, Bunda, / Jangan membiarkan aku sendiri. Subagio tampaknya juga hanya menangkap dunia kasatmata yang permukaan saja. Kalau pun ia menautkan perasaan di sana, repetisi kesedihan itu tak menunjukkan sisi kedewasaan juga. Kita juga bisa lemparkan pertanyaan Subagio kepada Rendra, nilai-nilai spiritual apa yang kita peroleh dari bacaan ini? Ibarat lukisan, goresan puisi Subagio itu tampak ragu-ragu, bukan keraguan puitik yang mengajak kita memahami nilai kehidupan; bahwa sesuatu yang dekat setelah kita teramat jauh berdasarkan jarak ternyata mempunyai makna juga. Namun, keraguan yang membuat kita bertanya: bagaimana logika astronaut menjadi kekanak-kanakan seperti ini?

Kritik saya itu untuk mengingatkan kita agar jangan sampai usaha kita untuk mencari “sosok pribadi dalam sajak” harus menempuh hal-hal yang amat personal (seperti usia dan kedewasaan penyair), yang bisa saja sering kali lesap, karena puisi bukanlah menangkap momen kestatisan hidup seseorang, bahwa semakin tua si penyair, semakin bijak dan filosofis kata-katanya, semisal. Tetapi, melalui puisi, kita dapat mendinamiskan atau “menghidupkan” kembali si periang kecil dalam diri penyair yang dewasa itu, sebagai suatu hal yang teramat boleh dan wajar.

Saya sepenuhnya bersetuju dengan kritik Subagio pada cara-cara Rendra “menyadur” Lorca, terlebih cara Subagio menghadirkan bahasa Spanyol dan terjemahan dalam bahasa Inggris untuk melihat gatra-gatra dalam baladanya Rendra. Di titik ini, saya kira, kita bisa berterima kasih kepada Subagio, karena ia telah membuka cakrawala pengetahuan dan perbincangan yang lebih luas lagi. Meski, tentu, kita masih terus bertanya mengapa Subagio “mengkritik” para penyair dengan ukuran “nasionalisme” itu: jiwa patriotik yang sebenarnya juga tidak terlalu menonjol dalam puisi-puisi Subagio.***