Foto: Pramo Dana.
Foto: Pramo Dana.

Sorak-Sorai bagi Parasit dan Kampung Bantaran

Sorak-sorai pendukung timnas membalur malam pada Senin, 9 Desember 2024 di Karangawaru. Namun, Warung Sastra justru khusyuk membincangkan kekalahan yang tertulis dalam Parasit dan Cerita-Cerita Lain dari Kampung Bantaran kumpulan cerpen karya Aris Rahman Putra.

Yudhi Herwibowo, penulis Toko Buku Abadi, yang mengulas buku itu, mengawali ulasannya dengan, “Ini bukan sekadar cerita.”

Buku itu berisi delapan cerpen berupa fragmen kehidupan sebuah kampung bernama Kampung Bantaran Kenangan, yang diinspirasi oleh sebuah kampung yang nyata di Surabaya. Fragmen-fragmen ini, menurut Yudhi, terhubung satu sama lain seperti simpul tali yang memeluk kenyataan pahit.

“Ini adalah sirkus anak-anak kampung yang mencuri gembok kuningan, menjadi pemulung, atau membantu ayah mereka menyopir angkot,” kata Yudhi.

Namun, Yudhi tak puas hanya mengagumi. Ia juga bertanya: “Kenapa kampung itu diberi nama Bantaran Kenangan? Apakah ada unsur realitas di dalamnya? Dan mengapa penggusuran menjadi epilog yang terlalu mudah ditebak?”

Pertanyaan-pertanyaan ini mengambang di udara seperti benang layangan yang putus, berbahaya tetapi tak tersentuh.

Moderator Selvi Agnesia, yang tampaknya menyadari bahwa dunia butuh jawaban lebih dari sekadar teori sastra, menyerahkan mikrofon kepada Aris. Sang penulis, seperti tokoh fiksi yang menghibur sekaligus misterius, mengetuk kepala mkirofon tiga kali sembari berbisik, “Bismilahirahmahnirohim….” 

Sontak, tawa audiens meledak.

“Iya, saya terinspirasi dari Parasite-nya Bong Joon Ho,” kata Aris dengan nada santai. “Pendekatan ahli neraka, kalau saya boleh bilang, karena selalu menceritakan kekalahan.”

Kampung di Surabaya yang menjadi panggung cerpennya, menurut Aris, adalah tempat masa kecilnya. Kampung itu bertetangga dengan perumahan elit bernama Galaxy Permai.

“Dulu, saya  sering main ke sana karena jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi, ya begitu, selalu diusir satpam.”

Kampung itu adalah museum pribadi kenangan Aris, tempat ia menyimpan potongan masa lalu seperti serpihan kaca.

“Saya menulis ini sebagai fragmen karena begitulah ingatan bekerja,” katanya. “Semua tokoh di cerita ini adalah saya. Saya menitipkan suara masa kecil saya di sana. Jika kampung itu benar-benar diratakan dengan tanah, apa dampaknya bagi diri saya sekarang?”

Ketika Yudhi menyinggung tokoh anak dalam cerpen Aris yang terlalu kritis, Aris hanya tertawa kecil.

“Ya, emang saya setengil itu pas kecil,” timpal Aris, seperti seorang anak nakal yang tahu betul dirinya tak tertandingi.

Sementara itu, dari seberang Warung Sastra, sorak-sorai gol menggema. Kontras yang tak terhindarkan: kemenangan terus berdendang di luar, sementara di dalam, kekalahan direka ulang dalam kata-kata.

Salah seorang audiens, terbakar sorai kemenangan di seberang, bertanya di luar konteks, yaitu tentang rivalitas Bonek versus Arema. Pertanyaan itu membawa Aris kembali ke memori masa kecilnya.

“Melakukan kekerasan atas nama rivalitas antarsuporter merupakan kebanggaan pemuda di kampung saya,” kata Aris. “Itu merupakan bagian dari keseharian saya semasa kecil. Orang bunuh diri di rel kereta juga hal yang biasa bagi warga kampung saya. Jadi, buat apa saya ceritakan ke orang-orang?”

Hingga suatu ketika Aris menceritakan hal-hal biasa itu kepada orang-orang di Jakarta Selatan, tempatnya berdomisili sekarang. Ia kemudian menyadari: “Kupikir hidupku baik-baik saja. Ah, ternyata hidupku segelap itu!”

Namun, keprihatinan audiens tidak singgah lama karena Aris tampaknya senang bergurau.

“Pertanyaanku menarik,” kata seorang audiens.

“Jawabanku lebih menarik,” balas Aris.

“Judul cerpenmu Parasit. Apakah dalam cerpen-cerpen ini ada agen yang melihat tokoh-tokohnya sebagai parasit? Atau jangan-jangan agen itu adalah Mas Aris sendiri, yang sekarang tinggal di Jakarta Selatan?”

Mendadak Aris bangkit dan melesat ke toilet. 

“Grogi,” katanya singkat.

Namun, agaknya tragedi kecil terjadi. Selama Aris di toilet, ternyata clip-on mic-nya masih menyala …..***

Foto: Pramo Dana.