Soal Cerita

Soal Cerita

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang dikemudikan oleh Nadiem Anwar Makarim, B.A.,M.B.A., pada 2024 akan meluncurkan Program Sastra Masuk Kurikulum. Melalui program itu, sedianya buku-buku sastra dari berbagai periode dihimpun, direkomendasikan, dan diimplementasikan pada Kurikulum Merdeka untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas serta nalar kritis murid. Guru-guru bahasa Indonesia, para sastrawan, dan sejumlah akademisi sastra dilibatkan dalam proyek gigantik ini. Salah satunya ialah Prof. Faruk.

Prof. Faruk bersemangat menyiapkan Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Tugasnya adalah menyusun soal cerita untuk kelas 12 SMA/sederajat. Ia seperti kembali memainkan dolanan lawas yang telah lama tidak disentuhnya. Walaupun begitu, harus diakui, usianya yang sudah kepala enam plus-plus membuat Guru Besar Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada itu kepayahan membongkar diktat-diktat usang yang sudah campur baur dengan berkas-berkas kertas kerja dan makalah-makalah seminar yang kecokelatan dan berdebu di kardus yang teronggok pada sudut perpustakaan pribadinya. Ingatannya mengenai berkas arsip dokumentasi yang mendukung pengerjaan proyek ini tidak sekuat tatapan-tatapannya melihat hilangnya pesona dunia. Dari berkas-berkas lampau yang ditemukan kembali, Prof. Faruk coba susun soal cerita yang bermutu tinggi mengenai sejarah tokoh kita dari periode ke periode.

Di hadapan komputernya yang menyala redup, ia habiskan berpuntung-puntung rokok Sampoerna Mild kegemarannya. Lembar-lembar arsip dan buku-buku lapuk berdebu membuatnya batuk-batuk tak kunjung usai. Setelah sekian waktu bengong, ia tulis-hapus soal demi soal sambil sesekali membuka halaman Facebook dan membuat status-status tentang situasi politik dewasa ini.

Pilihan Ganda

1. Tidak ada yang tahu pasti tentang mula-mula keberadaan tokoh kita. Semula buram, bahkan cenderung gelap. Kemungkinan-kemungkinan dan anggapan-anggapan yang sesungguhnya hanya klaim pun terjadi. Padahal, hal itu dilakukan oleh orang-orang yang ada jauh setelah keberadaan tokoh kita.

Konon, tokoh kita ada sejak akhir abad ke-19, sejak 1870-an, pada masa Hindia Belanda. Tokoh kita dilahirkan oleh NN. Tokoh kita belumlah yang kemudian dikenal di Negara Bangsa yang baru diproklamasikan pada 1945, dan bukanlah yang berbagai macam itu, melainkan dari Melayu.

Tokoh kita mula-mula dikenal jenaka, penuh humor, dan kerap beranekdot. Tokoh kita tumbuh di tengah gurau perbincangan. Tokoh kita akrab di telinga sebab namanya disebut-sebut dalam tuturan sejarah, folklor, hikayat, dan legenda. Pakaiannya pun khas bangsawan-bangsawan Eropa, Arab, Cina, dan India.

Siapa sesungguhnya tokoh kita yang dimaksud?

  1. Sastra
  2. Syair
  3. Cerita
  4. Bahasa

2. Lazimnya, tokoh kita mulai dikenal sejak 1920-an. Akan tetapi, ternyata itu adalah tokoh kita yang lain, yang lahir tujuh puluh tahun setelah tokoh kita yang semula. Tokoh kita yang lain itu diperkenalkan dan dipatenkan oleh sejarah. Sebab, tokoh kita yang lain tinggal dan dibesarkan di sebuah balai. Tokoh kita yang lain konon katanya juga jenaka, kerap berperan sebagai teman doedoek dan kawan bergeloet sekaligus. Bapaknya bernama Tuan Muhammad Kasim Dalimunte atau lebih karib dengan sebutan M. Kasim dan Tuan Soeman Hasiboean atau lebih dikenal dengan nama Soeman Hs.

Jika tokoh kita yang lain dianggap sebagai titian penghubung antara dongengan dengan tokoh kita berikutnya, manakah yang tidak pernah dilakukan oleh tokoh kita yang lain itu?

  1. Bertengkar Berbisik
  2. Bual di Kedai Kopi
  3. Bercinta di Luar Kebun Binatang
  4. Salah Sangka

3. Sebentang jalan lain dengan “corat-coret di bawah tanah” dan mural moral romantis idealisme dan realisme yang diwarnai epos kepahlawanan di dinding. Tokoh kita berikutnya disebut-sebut sebagai anak kandung pelopor sebuah angkatan. Tetapi, hal itu nyaris tidak pernah dibicarakan lebih lanjut.

Jika ada orang yang berjasa besar atas lahirnya tokoh kita berikutnya, orang itu adalah…

  1. H.B. Jassin
  2. Idrus
  3. Sutan Takdir Alisjahbana
  4. Anas Ma’ruf

Uraian

4. Dari Klaten, berbekal kecerdasan hasil didikan Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Sugiarti Siswadi mendengungkan hal-hal yang belum mendapat perhatian di dunia literasi, yaitu sastra anak dan pemberdayaan perempuan. Pada masa itu semangat yang berkobar adalah revolusi lapangan dan jalan-jalan, tetapi Sugiarti Siswadi memilih menyalakan api di tungku dapur. Baginya, literasi anak dan pemberdayaan perempuan berkaitan erat dengan masa yang sangat menentukan bagi pembibitan ide, moral, dan kecenderungan masa depan anak-anak. Percaya sepenuhnya pada terowongan-terowongan rahasia persis di bawah jalan raya, Sugiarti Siswadi dan Lekra semula tidak berhadap-hadapan dengan kesulitan berarti. Ia disebut-sebut sebagai sosok yang tangguh dan berani oleh Hersri Setiawan. Namanya muncul bersama tokoh kita di surat kabar-surat kabar revolusioner.

Tetapi, Sugiarti Siswadi tetaplah Sugiarti Siswadi yang tangguh dan berani. Ia terpilih menjadi anggota pusat Lekra cum wakil ketua Lestra yakni komisi sastra Lekra. Bahkan, Sugiarti Siswadi pernah tergabung pada Front Nasional dan menjadi perumus materi kursus politik bagi para kader organisasi massa yang muncul pada era Demokrasi Terpimpin setelah dekret presiden 5 Juli 1959.

Sugiarti Siswadi dan tokoh kita tampil terang-terangan menyampaikan apa saja yang selayaknya disampaikan kepada khalayak. Namun, ideologi dan aktivitasnya, yang juga sama disampaikan oleh tokoh kita, kemudian pada orde yang lain dianggap sebagai mara bahaya. Nama Sugiarti Siswadi dibenamkan. Tokoh kita dianggap sebagai sosok yang terlarang. Haram disentuh dan dibicarakan!

Beruntung, peranan Sugiarti Siswadi dan keberadaan tokoh kita yang tercerai-berai berhasil ditemukan dan dikumpulkan oleh seorang pemuda tekun dan  pegiat literasi, Fairuzul Mumtaz, menjadi buku Karya-Karya Lengkap Sugiarti Siswadi pada 2016.

Baca buku Karya-Karya Lengkap Sugiarti Siswadi, lalu sebut judul dan uraikan bagaimana tokoh kita memberi perhatian lebih pada perempuan dan perkembangan sastra anak!

5. Sastra Indonesia heboh! Seseorang bernama Kipandjikusmin dianggap telah melakukan penistaan agama lewat tokoh kita yang menggambarkan situasi “Langit Makin Mendung” yang disiarkan di majalah Sastra Th. VI No.8, Agustus 1968. Umat Islam bereaksi.

Tetapi, sosok Kipandjikusmin menjadi misteri. Ia tidak pernah muncul di muka publik. Dalam heboh itu, kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan pelbagai penghinaan. H.B. Jassin selaku redaktur dianggap keliru dan mesti bertanggung jawab atas kemunculan tokoh kita. Majalah Sastra pun diberedel!

Selang dua tahun kemudian, yakni 1970, kepada majalah Ekspres pimpinan Goenawan Mohamad, Kipandjikusmin muncul dengan segenap pengakuannya. Yang pertama, ia mengatakan bahwa sebenarnya tak ada niat darinya menjadikan dirinya misterius. Setelah melihat H.B. Jassin mati-matian membelanya di meja hijau, ia merasa bahwa hal itu tak pantas dilakukan untuk dirinya. Ia sempat bersedia tampil, tetapi hal itu pada akhirnya tidak pernah terjadi.

Kemudian terungkap, siapa sosok di balik Kipandjikusmin. Nama aslinya adalah Soedartono. Tokoh kita yang bikin gaduh itu sebenarnya adalah representasi kejengkelan Soedartono terhadap situasi Indonesia pada masa Nasakom.

Pada tahun yang sama, tulisan-tulisan H.B. Jassin mengenai hal ihwal polemik tokoh kita itu terbit dalam buku Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab. Menurut Anda, perlukah terjadi polemik antara kebebasan mencipta dan kesucian agama sehingga tercatat dalam sejarah sastra Indonesia sebagai kontroversi? Berikan alasannya!

6. Karyamin tersenyum, lalu mendekatkan mukanya dan berbisik kepada Alina yang sedang terpukau melihat sepotong senja, “Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?”

“Dilarang mencintai bunga-bunga!” jawab Alina tegas. Senyum Karyamin kembali memancar. Seperti bulan, kuning keemasan. Bukan… bukan… ungu, ya ungu. Percayalah, ungu. Senyum yang mengingatkan pada Rintrik. Senyum yang datangnya sangat misterius

.…

Demikianlah tokoh kita datang dengan rahasia dan teka-tekinya. Pertanyaannya, jika tokoh kita memiliki hubungan dengan tokoh lain, peluang pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh yang lain lagi berapa besar dan akan menjadi seperti apa alur perjalanan tokoh kita?

Benar-Salah

7. Sebagai media besar, Kompas berpotensi menjadi kiblat mutu dan orientasi tokoh kita di Indonesia. Bahkan, sejak 1992 Kompas memiliki tradisi memilih tokoh kita terbaik. Namun, barangkali tokoh kita yang terpilih bertahun-tahun itu tidak pernah memuaskan keinginan banyak orang. Maka, sejumlah sastrawan dan pengamat sastra yang bermukim di Yogyakarta, yang terdiri dari Agus Noor, Bambang Agung, Joko Pinurbo, Raudal Tanjung Banua, dan Saut Situmorang menetapkan lima belas Tokoh Kita Pilihan Kompas 2004 versi Yogyakarta. Kelima belas tokoh kita itu dinilai mampu meninggalkan kesan yang kuat sehingga tidak terlupakan begitu saja. Satu tokoh kita dipilih menjadi yang terbaik. Tokoh kita itu ialah “Cakra Punarbhawa”-nya Wayan Sunarta. Tentu saja hasilnya berbeda dengan Tokoh Kita Pilihan Kompas 2004 versi Jakarta yang sudah dibukukan, yakni “Sepi pun Menari di Tepi Hari”.

Seperti tahun sebelumnya, sejumlah sastrawan dan pengamat sastra di Yogyakarta yang terdiri dari Bambang Agung, Gunawan Maryanto, Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, dan Saut Situmorang kembali mengadakan kegiatan Tokoh Kita Pilihan Kompas 2005 versi Yogyakarta. Namun, ada perbedaan, yakni tidak ada “tokoh kita terbaik”, tetapi yang ada adalah “tokoh kita baik dan benar” dan “tokoh kita lemah dan lunglai”. Hasilnya, ada lima tokoh kita baik dan benar, juga sepuluh tokoh kita lemah dan lunglai. Tampaknya lebih mudah menentukan tokoh kita lemah dan lunglai ketimbang tokoh kita baik dan benar. Para sastrawan dan pengamat sastra di Yogyakarta itu pun terheran-heran, bagaimana bisa hal itu terjadi di media sebesar Kompas?

Ada kebenaran dan kesalahan di sini. Manakah yang benar: tokoh Kita Pilihan Kompas versi Jakarta ataukah Tokoh Kita Pilihan Kompas versi Yogyakarta?

Langit di timur memerah, ayam berkokok, suara kendaraan di jalanan menderu-deru. Hal itu membuat Prof. Faruk panik. Ia benar-benar merasa kepayahan menyusun soal-soal cerita itu. Hari sudah pagi, padahal ia masih harus membuat setidaknya tiga soal lagi supaya genap sepuluh. Di atas meja kerjanya, Prof. Faruk terlelap. Tidurnya tampak letih. Dengkur napasnya terdengar ngos-ngosan.

Sudah begitu, ketika ia terbangun dan mencoba meneruskan membuat soal kedelapan dengan mata yang masih pedih, ia mendapat email dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bahwa konsep Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra berubah. Panduan yang sedianya berisi daftar buku-buku sastra yang direkomendasikan untuk diimplementasikan itu kabarnya akan meniadakan himpunan soal-soal latihan yang salah satunya disusun oleh Prof. Faruk tersebut.

Faktanya, panduan itu bukan saja meniadakan soal cerita, melainkan juga meminimalisasi keterlibatan para sastrawan, guru, dan akademisi sastra sebab pada akhirnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyerahkan penuh isi panduan itu kepada Artificial Intelligence.

Entah masalah entah berkah, baru dapat tujuh soal, kalau-kalau pekerjaan Prof. Faruk ini dibatalkan sepihak rasanya tidak rugi-rugi amat.***