Ilustrasi cerpen Alifia Khansa Adilla oleh Desy Andriani.
Kredit: Desy Andriyani

Simpang Empat Perbaikan

Siang membakar dan raut wajah para pengendara masam.

Lampu merah masih lama.

Aku meninggalkan jam kerja.

“Koran! Koran!” lengkingannya terdengar dari depan. Penjual koran itu menyisir tiap roda dua maupun empat, sesekali diam agak lama di depan kaca, lalu lanjut jalan setelah mendapatkan penolakan lewat isyarat tangan.

Binar mataku akhirnya mendapat perhatian. Penjual koran ikut berbinar saat aku melambaikan tangan.

“Koran, Mbak?”

Ia senang bukan kepalang saat aku mengangguk.

“Ada berita apa hari ini, Pak?” tanyaku sambil menyiapkan selembar dua ribuan.

“Pilkada.”

“Selain itu, Pak,” cepat aku memotong.

“Hari ini, ada aparat yang berani melayangkan pukulan pada rakyat, pengangguran terus menumpuk, sampah turut menggunung, suara yang lantang diabaikan, suara kecil tak diberi ruang, perwakilan kita sewenang-wenang, keadilan ….“

“Bapak sedang mendongeng?” aku segera menghentikan omong kosongnya.

Aku memberikan dua lembar dua ribuan, lalu menarik sembarang lembar koran dari apitan lengannya. Penjual koran berterima kasih, melenggang pergi, dan lanjut menawarkan koran.

LIGA SPANYOL: Gol Debut Dani Bawa Barca ke Puncak

Bukan topik berita kesukaanku, tapi terdengar lebih masuk akal dibanding apa yang tadi dikatakan penjual koran. Kulipat koran itu berkali-kali sampai bisa masuk dalam tas bahu, lalu fokusku kembali terpusat pada detik lampu merah yang masih betah.

Ia memperhatikan aku dari belakang.

Motor di sebelahku sudah mengambil ancang-ancang. Kendaraan yang lain juga sudah menyalakan lampu sein, sedangkan aku masih belum tahu harus ambil kanan atau kiri.

TIN! TIN! TIIN!

Lampu hijau baru nyala sedetik —klakson sudah berisik.

Aku tertegun sesaat sebelum akhirnya memutar gas. Aku mengambil jalan tengah, tetap lurus dan tidak berbelok arah. Kulewati trotoar yang lagi-lagi dibongkar dan perbaikan, membuat ruas jalan sedikit lebih menyempit, yang tadinya sudah macet semakin rumit.

Wajah-wajah pengendara hari itu kulihat sama. Sama-sama masam dan kusut. Meski bersembunyi di balik helm dan kaca film mobil yang gelap, aku bisa menerka apa yang kira-kira keluar dari mulut mereka.

Mungkin: “Pohon baru ditanam kok ditebang lagi.”

Atau mungkin bertanya pada teman yang dibonceng di belakang: “Mau ada pelebaran jalan atau apa ya ini?”

Mungkin juga: “Aduh, harusnya gak lewat jalan ini tadi.”

Tapi, itu hanya kemungkinan yang kubuat-buat. Bisa saja mereka malah antusias tentang apa lagi yang tengah pemerintah garap untuk jalan ini. Ya, mungkin aku salah.

Butuh sekitar lima menit hingga aku berhasil melewati jalan yang padat itu. Aku masih mengambil jalan lurus. Mungkin sampai beberapa meter ke depan? Atau mungkin kilo? Entah, aku benar-benar tanpa tujuan.

Lampu merah lagi.

Bertemu perempatan lagi. Aku menghela napas lagi. Ini kali ada rasa yang sedikit janggal, seperti sekat antara sisi diriku yang ingin terus jalan, dan sisi diriku yang berpikir untuk berhenti sebentar. Maksudku, setelah lampu sudah berubah menjadi hijau. Aku menatap angka hitung mundur pada lampu. Tersisa empat puluh detik lagi. Lagi atau masih? Entahlah.

Pandangku menyorot sekeliling. Pengendara di sebelah kananku tampak sepantaran. Ia mengenakan kemeja semiformal yang elegan dengan lanyard melingkari lehernya. Aku mengangguk-angguk. Mudah ditebak, ia jelas pekerja. Lalu, pandanganku bergeser pada pengendara di sebelah kiriku. Seorang anak muda dengan seragam putih abu-abu dengan tas bahu. Wah, apa anak SMA sekarang sudah tak lagi menggendong tas ransel yang besar? Yang ini pun mudah ditebak, jelas ia seorang pelajar.

Aku masih nyaman memperhatikan sekeliling.

PROMO TERBESAR TAHUN INI. HUNIAN MEWAH HARGA

TERJANGKAU. SPACE DISEWAKAN HUBUNGI: BIMBEL CPNS.

Aku menghindarkan pandang dari huruf-huruf kapital yang berseliweran, bertumpuk-tumpuk, banner demi banner, judul demi judul. Aku membaca satu per satu apa saja yang lewat di hadapanku. Aku membetulkan kaca spionku dan mengamati pengemudi di belakang satu per satu. Satu orang mencuri perhatianku. Belum sempat aku menengok, klakson sudah mendahului.

Empat puluh detik berlalu begitu cepat dan lampu sudah berganti menjadi hijau. Sekelilingku beranjak. Mereka belok ke kanan atau kiri. Ada juga yang lurus. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berbekal tujuan. Aku pun tetap jalan meski tak bertujuan.

Aku melihat kendaraan-kendaraan itu melesat cepat, seperti diburu dan dikejar waktu. Bahkan mereka saling menyalip seakan lupa bahwa laka lebih bahaya dibanding telat kerja. Atau sepertinya posisiku yang paling berbahaya: tetap lurus tanpa tahu mau ke arah mana.

Terhitung kurang lebih lima kilometer aku menyusuri jalan. Kulewati berbagai toko, rumah, dan gang kecil di sisi jalan. Lalu, tanpa kusadari, beberapa meter lagi di hadapanku adalah lampu merah. Lagi.

Khas dengan kendaraan yang memelankan lajunya, rem yang dikuatkan, kaki yang diturunkan untuk menahan, hand rem yang dinaikkan. Begitulah kendaraan dikendalikan menjelang lampu merah.

Aku menghela napas lagi. Aku benar-benar tak menyiapkan diri untuk hal seperti ini. Simpang tiga. Benar, tidak ada opsi untuk tetap jalan lurus ini kali. Hanya kanan dan kiri.

“Koran! Koran!”

Lengkingannya terdengar dari depan. Penjual koran itu menyisir tiap roda dua maupun empat, sesekali diam agak lama di depan kaca, lalu lanjut jalan setelah mendapatkan penolakan lewat isyarat tangan.

Aku tertegun. Kuperhatikan langkah penjual koran yang makin dekat.

“Koran, Mbak?”

Aku masih diam, namun tanganku spontan mencari recehan.

“Ada berita apa hari ini, Pak?”

“Tersangka pembunuhan ….….“

“Apa ini hari yang berbeda, Pak?”

Aku memperhatikan penjual koran lamat-lamat. Ia benar-benar sama dengan penjual koran di lampu merah pertama.

“Hari ini, pemerintah membuat terobosan baru untuk atasi kemiskinan hingga pengangguran. Atau Mbaknya mau baca berita apa? Saya carikan.”

“Jadi, benar, Pak? Ini sudah hari yang berbeda?”

Aku benar-benar kewalahan. Hal ini sama sekali tak bisa kucerna.

“Maksudnya bagaimana ya, Mbak? Melamun, to, Mbake.” Penjual koran mengernyit.

Penjual koran mempersilakan aku memilih sendiri lembar mana yang kumau. Dan jariku terhenti pada judul berikut.

STRES Dapat Diatasi Dengan Afirmasi Positif Setiap Pagi

Aku menyerahkan uang bersamaan dengan saat lembar koran kuterima dari penjual. Penjual koran berterima kasih, melenggang pergi, dan lanjut menawarkan koran.

Masih dengan diam seribu kata, aku memasukkan lembar koran ke dalam tas. Lampu merah masih ada sekitar tiga puluh detik lagi dihitung mundur dari sekarang.

Banyak hal yang perlu diperbaiki. Tak perlu jauh-jauh, cukup edarkan pandangmu ke sekeliling, mulai dari kanan boleh, kiri pun tak masalah. Mungkin seperti aku yang kini memandang kaca spion, speedometer motorku, sarung tangan yang kukenakan, atau bahkan tasku yang jadi penuh karena koran.

Dari kaca spion, kulihat seorang laki-laki–sekilas tampak sepantaran denganku. Wajahnya jelas terlihat. Benar, ialah yang sempat mencuri perhatianku di lampu merah sebelumnya. Sebentar, seharusnya ada dua lembar koran di tasku sekarang. Namun, nihil. Bahkan lembar koran terakhir yang baru saja kumasukkan hilang.

Aku menengok indikator bensin pada layar. Lebih condong ke huruf E dibanding F. Untuk pertama kalinya, di perempatan itu, aku menyalakan lampu sein, menunggu lampu hijau dengan berdebar, bersiap ambil jalan ke sisi kanan. Untuk permulaannya, aku memutuskan tujuan. Mari kita isi bensin dulu, dan pikirkan.

TING! TING!

Bukan, bukan klakson. Suara itu berasal dari ponselku yang kuletakkan di laci dasbor.

Kamu di mana? Dicari bos, tolong kerjasamanya, teman-teman yang lain bisa ikut kena marah.

“Koran! Koran!”

Ini kali aku berusaha sama seperti pengendara kebanyakan: tak menghiraukan.

Namun, tetap kuperhatikan tukang koran yang semakin jauh dan samar. Ia menyeberang jalan tanpa tengok kiri kanan.

Suaraku tercekat begitu saja saat aku berteriak memanggilnya. Aku mencoba lagi. Suaraku habis diredam hampa.

Ia memperhatikan aku dari belakang. Ia tampak seperti bayang-bayang yang hidup di antara pengendara lain yang meredup. Aku melihatnya sekilas dari spion. Aku urung menoleh karena entah dari mana cahaya menerobos tiba-tiba. Cahaya putih terang benderang, bukan lagi menyilaukan. Hampir membuatku buta jika tak segera kusipitkan mata. Aku menengok sekeliling. Semua diam, membuat tanda tanya semakin ramai berkerumun dalam pikiranku. Tapi, Ia masih di belakangku dan memperhatikanku.

Cahaya itu perlahan meredup setelah aku berkedip berkali-kali. Warna putih semakin jelas dan berbentuk, Ia menjelma menjadi setelan yang tak asing rupanya. Jas putih bersih penuh sumpah dan pengorbanan. Pun orang yang mengenakannya. Ia tampak familier bagiku. Beberapa detik aku menebak-nebak dalam pikiran. Untuk apa ia hadir di tengah jalan dengan pakaian seperti itu?

Tunggu, sejak kapan pertigaan yang sedari tadi kupandang ini menjadi perempatan lagi?

Suara di sekitar kembali terdengar. Deru mesin kendaraan beradu dentingan palu dan besi. Ingar bingar mengisi dari segala sudut. Aku kewalahan memahami.

Kudapati lampu merah simpang empat Pingit kembali perbaikan. Ini adalah perempatan pertama tadi. Tak ada yang berubah dari posisi lampu jalan, baliho, juga toko-toko yang membuatku semakin yakin bahwa perempatan ini sama persis dengan yang pertama.

TIN! TIN! TIN!

Lampu sudah hijau. Aku sudah telanjur mengambil sisi kanan dan menyalakan sein. Tapi, semua terjadi begitu tiba-tiba dan aku belum sempat mencerna. Menyadari ini masih di perempatan pertama, aku melajukan motorku segera. Lurus, tanpa sadar bahwa aku tengah melanggar tata tertib berkendara.

Woo, cah gendeng.”

Mbak, kok ngawur sein kanan malah lurus.

Riting, Mbak!

Suara-suara itu terdengar kesal dan geram. Aku menggigit bibir dengan tubuh bergetar. Hari-hariku selalu begini. Duniaku seram untuk dilalui. Aku merapalkan kalimat-kalimat acak, berharap lampu merah cepat terlihat dari jarak pandangku, berharap tukang koran hadir dan menawarkan jualannya lagi.

Sebelum akhirnya aku menyadari. Ia berada tepat di belakangku. Ini kali aku merasakannya tanpa perlu melihat kaca spion. Kami terpaut jarak kurang dari satu meter. Aku menepi, memancing Ia dan, benar saja, Ia mengikuti.

“Masnya ngikutin saya ya dari tadi?”

Lelaki itu diam, membuka helmnya perlahan, dan mengibas-ibaskan rambutnya yang berantakan. Lalu, bukannya mengelak, ia mengangguk.

“Kamu gak apa-apa? Kenapa tadi tiba-tiba ambil lurus?”

“Dari kapan, ya? Tujuannya apa?” aku sedikit meninggikan nada bicara.

“Dari lampu merah pertama, sampai kita kembali lagi ke lampu merah yang sama,” jawabnya, tenang tanpa terusik bising jalan dan kendaraan. “Saya memperhatikan kamu dan semua hal yang kamu perhatikan sejak awal. Saya mendengarkan penuh percakapanmu dengan penjual koran. Saya menyaksikan keraguanmu setiap lampu merah berubah menjadi hijau. Kalau tujuannya, saya sedang tidak punya tujuan.”

“Koranmu juga jatuh tadi.”

Ia menyerahkan dua lembar koran persis seperti yang tadi kubeli.

Banyak hal yang perlu diperbaiki. Tak perlu jauh-jauh, cukup edarkan pandangmu ke sekeliling. Mural di tembok di tepi jalanan sudah berapa kali dilukis ulang. Kata-kata jenaka dan nyeleneh tak pernah gagal membuatku terkekeh. Aku tak berkedip, terus mengedarkan pandang. Aku kembali ke motor dan berusaha tak peduli dengan Ia di sisi kiri.

SYSTEM YANG BAIK HANYALAH SOUND SYSTEM. MEMANG

BAIK JADI ORANG PENTING, TAPI LEBIH PENTING JADI ORANG

BAIK. MATI LISTRIK, NYALAKAN API PERLAWANAN. KITA BISA BERHENTI TAPI BUMI TETAP BEROTASI.

Lampu merah berikutnya masih lama. Aku pun masih meninggalkan jam kerja.***