Barangkali demikian rindu, menghadirkan kenangan melalui bayangan
Membaca kisah Mendung dan Udan memberiku rasa rindu pada kesederhanaan hidup yang penuh makna. Pun mengingatkanku pada kerumitan untuk menemukan kesederhanaan itu sendiri. Mungkin tepat juga bahwa ada pernyataan, simple is another complication.
Kerumitan membawa kesedihan. Kesedihan membawa diri pada perenungan tentang makna diri, hidup, dan kehidupan. Dan makna membawa diri pada tujuan hidup yang diinginkan. Seringkali, tujuan hidup yang diinginkan cukuplah sederhana. Hanya saja, ambisi sering membuat hidup itu sendiri rumit.
Mendung Tanpo Udan, sebuah novel yang ditulis oleh Fairuzul Mumtaz adalah sebuah kisah cinta yang sederhana namun rumit, rumit namun sederhana. Kisah yang berdasarkan lagu-lagu gubahan Kukuh Prasetya ini membawaku kembali bertanya tentang makna hidup yang sesungguhnya, makna cinta yang sejujurnya, dan impian hidup (sederhana) yang mungkin saja terdengar naif di jaman modern ini. Walaupun, tak jarring ketika aku berbicara dengan beberapa teman, mereka pun menginginkan hidup sederhana. Karena sederhana adalah kemewahan batin, begitu kata mereka.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/resensi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Resensi Suku Sastra[/button]  
Mendung dan Udan tak ubahnya siang dan malam. Berbeda tetapi saling melengkapi. Bersatu dalam perbedaan demi sebuah rasa, cinta. Walaupun pada akhirnya ‘keseharusan image’ membuat cinta menjadi rumit dan berbuah perpisahann.
Tetapi, waktu dan jarak memberi ‘ruang’ pada rasa dan logika untuk bertanya tentang hidup, diri, cinta, dan impian. Berpisah membuat diri merindukan pertemuan. Jarak memberi diri momen untuk memaknai Kembali arti diri dan rasa. Serumit itulah kisah cinta mereka. Kerumitan yang membawa mereka pada doa-doa dan harapan. Kerumitan yang membuat mereka berlari pada perubahan dan memberi makna baru yang begitu jujur dan tulus.
Mendung dan Udan, menurutku adalah kerinduan pada kesederhanaan rasa yang (mungkin) sering terlupa karena terlalu seringnya (aku) melihat kehidupan secara artificial.
Membaca novel Mendung Tanpo Udan dengan iringan suara merdu Kukuh sudah sangat cukup membawa anganku pada nuansa ‘santai’ nya kota Jogja dan ‘sibuknya’ kota Jakarta. Bahkan, tanpa soto ayam dan nasi kucing kesukaan pun, kisah ini membuatku semakin rindu pada Jogja, ketulusan persahabatan, hangatnya pelukan ibu, dan cinta yang ter/dilupakan.
Mendung dan Udan itu rumit, tetapi hidup itu sederhana, rindu itu ada, dan cinta itu nyata.

By Krismarliyanti

Anak kedelapan dari sembilan bersaudara yang lahir pada tanggal 7 Maret 1981 di Rangkasbitung, Banten. Menginjak usia satu tahun, ia beserta keluarga tinggal di Sukabumi, Jawa Barat. Masa kecil hingga remaja pun dihabiskannya disana. Memasuki usia dewasa, penulis pun memutuskan untuk kuliah di jurusan sastra Inggris, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Di kota inilah ia mulai mengenal dunia sastra dan juga seni teater lebih jauh. Tahun 2006 ketika gempa besar menimpa Yogyakarta, Krismarliyanti berpindah ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan swasta. Kerinduan tentang dunia sastra dan seni terus menghantuinya, hingga akhirnya ketika ia menyelesaikan gelar magister pendidikan di Universitas Pelita harapan, menjadi penulis pun merupakan pilihannya. Pada tahun 2007, salah satu karya puisinya dimuat di buku Medan Puisi, antologi puisi Sempena the 1st International poetry Gathering yang diadakan di Medan. Pada tahun 2016 buku kumpulan puisinya yang berjudul Poetry Anthology Lentera, telah terbit. Beberapa dari puisi dan cerpennya juga telah dimuat di harian lokal dan antologi bersama. Dengan dukungan penuh dari suaminya, Ia pun tidak hanya menekuni dunia menulis. Seni rupa mulai dirambahnya sejak tiga tahun yang lalu. Hasil karyanya telah dijadikan sebagai cover dan ilustrasi di buku antologi pertamanya.

Tuliskan komentar