Kelak, kalian akan mendapatkan ayat-ayat keramat tentang lelaki muda dari laut dan kapal-kapal dan ikan-ikan dalam kitab suci samawi yang kalian imani. Ketahuilah, akulah sang pelaku dan sang penyaksi atas berkah turunnya ayat-ayat yang kalian candra dan kalian tuturkan menjadi cerita-cerita tentang kesetiaan dari generasi ke generasi.[1]
Akulah seekor merpati yang sedang terbang dan di bawahnya angin menggulungkan ombak tiada henti. Dari atas sini segala sesuatunya tampak berbeda dari yang terpandang tatkala kakiku menapak daratan atau hinggap di dahan pepohonan ciptaan Tuhan. Ah, Tuhan. Pusat hidupku. Cinta sejatiku. Rajaku.
Tapi, aku juga cinta laut. Gentarlah hatiku kala melayang menepis buih[2] atau menyaksikan desir lari berenang[3]. Dan ketika laut susut[4], aku tahu, jejakmu, Tuhan, masih ada situ. Tapi, itu perkara lain.
Ombak senantiasa memuntahkan apa yang bukan miliknya. Dan kusaksikan pemuda yang bukan milik ombak itu dimuntahkan ke daratan melalui mulut ikan raksasa yang menganga. Kemudian Kami lemparkan dia ke daratan yang tandus, sedang dia dalam keadaan sakit. Dan tidak ada janji pada pantai yang kini tawar tanpa ombak. Tapi, kusaksikan orang-orang melihat kejadian terkaparnya dua makhluk Tuhan, yang juga dikenal dengan nama Allah,2 saling menerka-nerka tanpa landasan hingga timbul penghakiman: sesuatu makhluk hendak memangsa sesuatu makhluk yang lain.
Mereka yang berakal dan selalu bergerombol membopong kaumnya yang dalam keadaan sakit itu dan beberapa dari mereka lainnya mulai membuat luka-luka pada ikan gergasi itu.
Ah, mereka selalu terburu-buru pada yang tidak dimengerti. Padahal, ikan raksasa tidak suka memakan kaum mereka dan ikan raksasa hanya akan melaksanakan perintah Tuhan. Maka atas penentuan Tuhan datanglah seekor ikan besar yang menelan Yunus. Tiga hari tiga malam ikan besar itu menelan lelaki muda dan lelaki muda mulai hidup bukan pada alamnya, terusir oleh suatu kaum, dan jerih pada perintah Tuhan. Dan di lautan ini, ikan besar itu tidak pernah menyia-nyiakan perintah dan penentuan dari Tuhan.
Dan lelaki muda itu menyia-nyiakan perintah dan penentuan dari Tuhan. Aku tahu bagaimana Tuhan cemburu kepada berhala-berhala hina dina itu. Aku tahu bagaimana Tuhan meletakkan kata-kata perintah di telinga lelaki muda itu. Aku tahu bagaimana lelaki muda itu pada awalnya patuh pada perintah itu.
Kepatuhannya tampak ketika lelaki muda itu turut murka mendengar suatu kaum menyekutukan Tuhan. Sungguh, kaum itu menciptakan sesembahan sendiri. Sungguh, telah dikatakan kepada mereka, yaitu kaum itu, tidak ada sesembahan selain-Nya. Dan sungguh, ketika itu juga lelaki muda itu ingin segera melaksanakan perintah-Nya. Aku tahu lelaki muda itu sejak lahir sudah diberi keagungannya sendiri lebih dari kaum sebangsanya. Maka, penuhlah kata-kata perintah Tuhan dalam telinganya. Dan berangkatlah ia ke tanah yang akan dibinasakan Tuhan.
Dia ingin menyebarkan perintah-perintah Tuhan itu kepada kaum itu. Namun, ia terantuk-antuk karena kepercayaan mereka, yaitu kaum itu, sudah rusak. Mereka, yaitu kaum itu, tidak hanya membuat Tuhan cemburu kepada berhala-berhala hina dina itu, tetapi juga sudah lama nama-Nya asing bagi lidah mereka. Gagaplah mereka ketika hendak menyebut nama-Nya, tak ubahnya bayi yang sedang belajar kenal dengan bahasa. Mereka tidak mengenal Tuhan yang juga Allah. Mereka hanya kenal rapalan-rapalan yang diucapkan di hadapan berhala sembari berharap langit mengabulkan kehendak mereka. Padahal segala sesuatu yang seperti itu adalah kesia-siaan atas kesia-siaan belaka.
Akan tetapi, warta kebenaran dari Tuhan seolah-olah cericit burung yang terbangnya terlalu tinggi. Dan cericit itu hanyalah sayup-sayup, suara lain yang tidak dimengerti, dan tidak penting untuk dimengerti. Dan mereka hanya kenal suara moyangnya, hanya kenal bahasa rapalan yang menjadi sekadar meterai di kening, hanya kenal yang sesungguhnya adalah dusta.
Lelaki muda itu merasa sia-sia. Kebenaran yang disampaikan kepada kaum itu hanya jatuh di telinga tuli. Dan kaum itu menganggapnya sebagai seorang sinting yang tiba-tiba datang dan berceloteh begitu cerewetnya. Orang sinting tidak peduli kepada ujaran-ujaran yang ia terima. Tetapi, lelaki muda itu bukanlah orang sinting. Dan hatinya boyak oleh perkataan mereka. Dan ia tidak terima. Dan ia pergi meninggalkan dan mengutuki mereka-mereka penyembah patung-patung dengan rasa marah, yang tidak pernah dilakukan Tuhannya.
Dan lihatlah, lelaki muda itu menjelma menjadi Tuhan karena ia membuat ketentuan dalam mulutnya bahwa kaum penyembah berhala-berhala lebih baik dilumatkan bersama sesembahan mereka.
Dan (ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan. Lelaki muda itu benar-benar tidak mengetahui akibatnya ketika ia melampaui kehendak Tuhan. Ia memilih berlari meninggalkan mereka-mereka yang sedang tersesat dengan berhala-berhala. Ia berpikir Tuhan mengirimkan sebuah kapal kepadanya sebagai penyelamat dari kelelahan mewartakan kebenaran. Tetapi Tuhan menurunkan angin ribut ke laut, lalu terjadilah badai besar, sehingga kapal itu hampir-hampir terpukul hancur.
Demikianlah mengapa ikan gergasi itu memakan lelaki muda itu, lalu memuntahkannya ke tanah tandus.
Dan memang akulah seekor merpati yang hanya sedang terbang di atas laut dan tanah tandus dan menyaksikan ikan raksasa memuntahkan lelaki muda itu. Tetapi, percayalah bahwa seekor merpati selalu membawa kabar yang penting. Dan jika kamu percaya bahwa aku memang selalu membawa kabar penting, kamu harus menganggap bahwa lelaki muda itu adalah aku.***
[1] Catatan cerita oleh Raudal Tanjung Banua
[2] Frasa yang termuat dalam puisi “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah
[3] Baris puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar
[4] Frasa yang dimodifikasi dari baris puisi “Pada Sebuah Pantai: Interlude” karya Goenawan Mohamad