Judul : Madre
Penulis : Dee Lestari
Penerbit : Bentang
Cetakan : Kelima, April 2018
Tebal : xiv + 178 halaman
ISBN : 978-602-291-093-0
“Apa rasanya sejarah hidup kita berubah dalam sehari? Kayak tahu-tahu kecemplung di pasir isap. Makin dalam makin sesak. Hidup saya hari kemarin lebih sederhana. Hari ini hidup saya sangat kompleks. Darah saya mendadak seperempat Tionghoa, nenek saya ternyata tukang bikin roti, dan dia, besama kakek yang tidak saya kenal, mewariskan anggota keluarga yang tidak pernah saya tahu: Madre,” (halaman 20).
Dalam kehidupan, selalu ada hal-hal tak terduga yang menghampiri kita. Adalah Tansen Wuisan, seorang lelaki Freelancer yang bekerja sebagai guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis dan tinggal di Bali, tetiba mendapatkan warisan yang membawanya datang ke Jakarta, suatu kota pengap yang tidak ingin ia tinggali.
“Penuh tanda tanya, kubuka pintu kulkas itu. Hawa dingin menyembur. Aku melongok dan melongo. Kulkas besar itu ternyata didedikasikan untuk menyimpan satu benda saja: toples kaca berukuran besar. Isinya adonan putih keruh. Ini Madre,” (halaman 9).
Ternyata warisan yang ia dapatkan Madre, biang roti. “Madre adalah adonan biang. Hasil perkawinan antara air, tepung, dan fungi bernama Saccharomyes Exiguss. Lakshmi, nenekku, menguturkannya sendiri. Ia berekperimen dengan banyak bahan, dari kulit buah sampai tapai, hingga ia menemukan kultur yang menghasilkan biang dengan cita rasa yang paling pas. Melalui ulenan tangannya, Madre lahir pada tahun 1941. Bahkan, sebelum muncul Tan de Bakker. Sebagai adonan biang, sebagian Madre selalu dipakai untuk mengembangkan roti. Sementara sisa Madre beristirahat dalam lemari pendingin, kumpulan Saccharomyses exiguus dan Lactobacillus yang disumbangkan tadilah yang meronggakan, mewangikan, dan merenyahkan semua roti Tan de Bakker. Secara rutin, kultur hidup yang ada di dalam Madre diberi “makan” lagi dengan tepung dan air baru hingga ia terus berkembang biak menjadi ibu bagi roti-roti berikutnya,” (halaman 15).
Tokoh Tansen yang tidak familier dengan dunia roti tentu bingung dan tak tahu hendak melakukan apa dengan Madre yang kini menjadi miliknya. Bahkan, semula ia mengira kalau Madre itu nama orang. “Madre bukan adonan biasa. Dia hidup,” (halaman 13).
Namun, setidaknya, melalui Pak Hadi, ia tahu bahwa yang meninggalkan warisan Madre adalah kakeknya, Tan. Tan sendiri merupakan patner Pak Hadi dalam membuat roti sewaktu Tan de Bakker masih beroperasi bersama Bu Sum, Bu Corry, dan Pak Joko. Dulunya Tan Bakker maju pesat hingga akhirnya harus gulung tikar karena bermunculan bakery-bakery modern.
Siapa sangka Madre membawanya kenal dengan Mei, seorang wanita cantik pengusaha Roti. Bahkan Mei menawarkan akan menjalin kerja sama untuk menghidupkan Tan de Bakker. Sementara itu, Tansen mulai berkenalan dengan aktivitas membuat roti. “Menguleni adalah bagian yang ternyata menyenangkan. Ada penyaluran emosi atau semacam gerak badan yang menyegarkan saat kita membanting-banting adonan. Ada rasa takjub melihat kombinasi air, tepung, sejumput garam, dan gula, bisa menjadi sebuah benda yang berwujud sama sekali baru,” (halaman 23).
Akhirnya Tansen sampai pada titik pemahaman, “Aku tertegun. Untuk kali pertamanya aku melihat semua ini dengan jelas. Dan, perempuan serba berkilau dengan tungkai kaki yang tak pernah bisa diam inilah yang menyadarkanku. Bagi keluarga Tan de Bakker, toko itu hanya tidur. Selama Madre masih hidup dan selama keturunan Lakshmi masih ada di luar sana, Tan de Bakker tidak pernah mati. Mereka menantiku seperti seorang Mesias yang akan membawa kehidupan baru,” (halaman 53).
Selain cerita berjudul “Madre”, ada juga cerita Lain yang dituturkan penulisnya dengan hidup, seolah-olah pembaca terlibat menjadi tokoh-tokohnya, yaitu pada cerita berjudul “Menunggu Layang-layang”. Persahabatan Che dan Starla yang dimulai ketika mereka sama-sama baru meniti karier di sebuah biro konsultan yang sama. Kini Che sudah memiliki biro konsultan sendiri dan Starla menjadi freelancer di perusahaan lain.
Persahabatan Starla dan Che bukan persahabatan yang selalu akur dan baik-baik saja. Mereka lebih sering adu pendapat. “Aku udah lihat rumah sakitmu itu. Kamu banget. Kaku. Coba MRI, deh. Kayaknya otak kamu sekarang udah benar-benar persegi,” (halaman 140).
Walaupun demikian, mereka saling menghormati prinsip masing-masing. “Begitulah kami. Hubunganku dengan Starla ibarat ritual minum jamu pahit yang ditutup dengan segelas mungil air gula. Ketidakcocokan yang justru berujung pada persahabaatan karib. Saking tahu betapa ekstremnya perbedaan sifat dan selera masing-masing, kami tak mempermasalahkannya lagi, tinggal menertawakannya saja,” (halaman 141).
Che merupakan seorang lelaki yang hidupnya begitu rapi dan tertata. Segala sesuatu yang dilalukan telah disusun jadwal detailnya. Jam berapa ia harus bangun, kombinasi kopi yang ia minum, isi roti sarapannya, lagu apa yang diputar ketika menyetir mobil saat berangkat ke kantor, termasuk juga di mana ia akan duduk ketika nonton film di bioskop. Hal yang menurut Starla hanya untuk menutupi kesepiannya seorang Che.
Lain halnya dengan Starla. Hidupnya penuh hal-hal yang tak teduga. Dengan mudah ia dapat menjalin hubungan dengan laki-laki: produser rekaman, gitaris, kontraktor, foto model, aktor sinetron, atlit basket, dosen, pengacara, pengusaa restoran. Walaupun Starla terlihat tak pernah sendiri, tetapi sesungguhnya ia belum menemukan yang pas dengan hatinya.
Bagaimana akhir kisah jiwa Starla yang mencari dan jiwa Che yang menunggu? Seperti biasa, Dee, pengarang begitu piawai menghadirkan yang ending tidak terduga bagi pembaca.
Tentu saja masih ada certa lain yang sayang untuk dilewatkan. Sebuah buku yang terdiri atas 13 prosa dan karya fiksi, kumpulan karya Dee Lestari, salah seorang penulis perempuan terbaik d Indonesia. Seperti biasa ia begitu piawai meracik kata. Sebagaimana produsen roti punya adonan biang, Dee pun punya madre, formula khusus yang membuat karya-karyanya terasa istimewa.
Yeti Islamawati, S.S. alumni Universitas Negeri Yogyakarta.
4.5