
https://warwick.ac.uk/
Ia lantas tersenyum kecut dan menggeleng-geleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya khawatir kalau kau tidak lagi mencintaiku.”
Aku pun mendengkus, kemudian membelai rambutnya. “Yakinlah, perasaanku tidak akan berubah terhadapmu, selama-lamanya.”
Seketika, ia memasrahkan tubuhnya ke dalam dekapanku.
Akhirnya, hari demi hari, aku terus tampil lugu, seolah-olah aku tak mengetahui perihal rahasia besarnya. Aku juga menghindari hal-hal yang bisa membangkitkan memori gelapnya. Aku memilih menjadi rakyat biasa dan melupakan ambisiku untuk menjadi politikus terkenal. Aku tak ingin membesarkan namaku, sebab aku takut kehancuran perasaan istriku pun membesar jikalau ada orang yang menghancurkan karirku dengan menggembar-gemborkan aibnya.
Beruntung, istriku tak mempertanyakan keputusanku untuk keluar dari dunia politik. Ia bahkan tampak senang-senang saja melihatku fokus mengurusi usaha percetakan kami. Itu karena selama ini, ia pun tak memedulikan persoalan politik, malah tampak membencinya. Ia bahkan pernah mengutarakan pendapatnya kepadaku, bahwa politik hanyalah panggung untuk orang-orang yang tega membunuh nuraninya demi kekuasaan.
Kukira, karena itu pula, dua hari lalu, saat sore hari, ia meminta diri untuk pulang ke kampung halamannya. Selain untuk melepas rindu dengan ibunya, ia beralasan ingin menenangkan diri di tengah suasana pedesaan yang damai. Dan diam-diam, aku bisa menaksir kalau selain untuk menjauhkan telinganya dari bisikan-bisikan cerita tentang masa silamnya, ia juga ingin menghindari keributan politik di masa kampanye pemilihan gubernur yang riuh di kota ini.
Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra
Sedari dahulu, aku memang telah membaca tanda-tanda kalau ia membenci perkara politik. Ia bahkan memilih golput pada gelaran pemilu atau pilkada belakangan waktu. Namun itu bukan karena ia tak mengerti perihal politik, meski ia hanya tamat SMA. Itu malah karena ia memahami realitas politik, hingga ia jadi kehilangan harapan. Ia telah didera kekecewaan yang mendalam akibat tingkah laku para politikus yang tega mengkhianati janjinya.
Persepsinya itu mengakar sejak delapan tahun lalu, saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Kala itu, ia harus menerima rumah beserta warung orang tuanya di sebuah lahan yang telah mereka tempati bertahun-tahun, digusur setelah mereka kalah berperkara dengan perusahaan pengembang perumahan yang menggunakan cara picik untuk menang, yaitu bersekongkol dengan aparat pemerintah yang bisa dibutakan dengan uang.
Sampai akhirnya, ia sekeluarga kehilangan sumber penghidupan. Ia tak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, hingga ia memutuskan merantau ke ibu kota provinsi untuk melakukan pekerjaan apa saja. Akibatnya, ia tak lagi percaya kalau para politikus mau dan mampu membela kepentingan orang kecil kala berhadapan dengan para pemodal. Ia menganggap para pejabat hanyalah boneka orang-orang berduit.
Meski demikian, persepsiku tentang politik, tetap berbeda. Sebagai mantan politikus, aku tetap menggantungkan perwujudan cita-cita kepentingan bersama pada mekanisme politik. Aku masih berpandangan bahwa sistem politik demokratis adalah jalan terbaik untuk melahirkan pemimpin. Karena itulah, aku merasa sepatutnya menggunakan hak suaraku. Bahkan untuk pemilihan gubernur kali ini, aku telah menentukan pilihan di dalam hatiku, yaitu seorang pengusaha yang kuanggap mumpuni dan peduli kepada masyarakat kecil.
Dan saat ini, di tengah keyakinanku pada calon pilihanku itu, aku kembali menatap layar ponselku untuk menyimak obrolan dan perdebatan politik antarsimpatisan. Sesaat kemudian, perhatianku tertuju pada satu unggahan video di grup Facebook para calon pemilih. Hingga akhirnya, perasaanku tersentak setengah mati saat aku menyaksikan sejoli yang tengah beradegan mesum. Pasalnya, sang lelaki di video tersebut adalah calon gubernur andalanku, sedangkan sang perempuan tampak jelas sebagai istriku.
Dengan perasaan yang kacau, aku pun kembali mencoba menelepon istriku. Namun sayang, panggilanku tak juga tersambung.***
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.