Menu

Agar Silaturahmi Tidak Terputus

Tidak perlu pinjam seratus walaupun tanggal sedang tua-tuanya: hari terakhir di bulan Maret dua ribu dua puluh empat—empat belas tahun setelah gedung Sarkem FBS UNY rata dengan tanah, enam tahun setelah reuni berkedok syawalan terakhir, dan tiga tahun setelah pandemi terkutuk mematikan semua bentuk vergadering.

Setelah kurun yang selama itu, untunglah sebagian besar dari kita sudah cukup sering dihajar badai kehidupan dan cukup pintar pula—walaupun sering babak bundas—untuk selamat darinya, sehingga mampu mengusahakan beberapa puluh ribu untuk melunasi bill buka puasa di Rayya.

Tentu, harus diakui bahwa tak semua dari kita sudah bisa menganggap “puluh ribu” setara dengan remah rengginang.

Namun, intinya adalah bahwa kumpul-kumpul itu akhirnya terlaksana lagi setelah sekian lama—yang sialnya memang sangat lama. Dan sekerat dari hati tua kita (hati tua kita yang malang) memperoleh kembali haknya untuk mengenang lagi betapa dulu kita pernah muda, pernah merasa mampu membuat dunia tersungkur di depan kita, pernah gila.

I honestly don’t know how it is with you, but the place, the time, and the memory of Sarkem are inseparable from my life. Gedung Sarkem mempertemukanku dengan orang-orang yang tak pernah pergi dari hati dan ingatanku. Gedung itu menyaksikan aku mencampakkan semua tanda-tanda iman lalu menggantinya dengan buku-buku kiri, sastra Inggris dan Indonesia, dan alkohol.

Gedung Sarkem menjadi alamat surat-menyuratku pada masa-masa awal belajar menulis—waktu itu komputer pribadi, internet, dan email masih merupakan barang mewah. Aku ingat mengumpulkan kertas-kertas bekas di kantor BEM untuk menulis draf-draf sajak, cerpen, esai, resensi buku dan menggambar doodling yang jeleknya minta ampun dan sudah kubuang semua.

Aku ingat malam-malam mendeklamasikan puisi dan bercerita yang saru-saru di ruangan KMSI bersama Mbah Bun, Mas Tepe, dan Erik Gondrong. Aku ingat membaca puisi pertama kali (karya Robert Frost) di depan umum di halaman timur Sarkem. Aku ingat puisi pertamaku dikomentari Kang Endri Paijo Sulistyo—ketua pertama KMSI—dan dianggap meniru Pujangga Baru.

Aku ingat Tulus dan Bintoro—anak-anak musik yang menjadi nyawa komunitas musik puisi Komunitas Tanpo Aran dan menciptakan aransemen legendaris Sebuah Buku Harian bersama Erik Gondrong. Aku ingat dipaksa ikut main gitar bersama para maestro itu, dan begitu ketakutan hingga menolak ikut pentas ketika mereka menjadi penampil terbaik dalam acara musikalisasi puisi di Fakultas Sastra UGM.

Aku ingat Al-Huda, Sastra Tempel, Kreativa, Ekspresi, Karangmalang Pos. Aku ingat belajar tata letak menggunakan Adobe PageMaker 6 dengan komputer BEM. Aku ingat minum anggur merah berdua dengan almarhum Rojali di halaman. Aku ingat Jumat malam. Aku ingat Kunting berkelahi. Aku ingat Teguh memakai kain pantai. Aku ingat Tata berdoa agar hujan tidak turun ketika menggelar pentas musik akustik sederhana tetapi ramai sekali di halaman Sarkem. Aku ingat Giant pacaran. Aku ingat Dewo, Arif, Pakde Burhan, dan Joko Santoso memperlihatkan tulisannya kepadaku. Aku ingat Anton, Vino, Tiwi, Diana, Jarot, Tatang di ruangan Hiper. Aku masih ingat Dina dan Iin. Aku masih ingat Afik, Yoso, Cempe, Danang, Jicek, Alif, Yuri, Ancuk, Brenda, Sukma, Virus. Aku masih ingat Bu Rini! Tentu aku juga ingat pernah jatuh cinta di Sarkem.

Pokoknya aku punya banyak cerita tentang Sarkem. Dan yang pasti nama Sarkem dan UNY hampir selalu menyertai biodata singkatku ketika tulisanku dimuat di koran-koran.

Lalu, setelah tiba waktunya bagiku untuk melanjutkan hidup, kudengar gedung itu diminta kembali oleh pemiliknya lantas diruntuhkan. Tempat dan waktu yang membentuk diri dewasaku itu hilang. Hanya beberapa foto—dengan film—yang menjadi bukti konkret bahwa gedung bercat krem itu pernah ada.

Pusat kumpul-kumpul kemudian dipindahkan pada zaman Rozi dan Mawaidi. Pernah pula dibawa keluar dari kampus dan mempertemukan dengan sahabat-sahabat baru dari kampus lain: Mas Koko di antaranya. Lalu birokrasi kampus memberikan tempat di PKM. Aku pernah beberapa kali ke sana dan memperoleh sahabat-sahabat baru yang membuatku makin enggan menjadi tua: Kopong, Kicot, Kijing, Irul, Anik, Jimbe, Permadi. Namun, lantaran prioritas yang memang sudah harus berbeda, aku berhenti mengunjunginya.

Bagaimanapun, masa-masa di Sarkem dan ahli-ahli warisnya itu memang telah menjadi sebuah negeri asing, yang hanya dengan kenangan bisa kita susuri jalan-jalan dan geloranya. Silaturahmi tempo hari di Rayya menjaga api kenangan itu tetap menyala. Tak banyak yang hadir memang, tetapi dalam hatiku teman-teman yang lain itu hadir. Oh, dan di antara yang hadir, kulihat sahabat-sahabat baru dari KMSI angkatan 2022. Sarkem dan KMSI tak akan mati!

Tapi, cukup sudah dengan nostalgia ini. Kini saatnya kembali menatap hari ini dan menyiapkan rencana untuk besok. Masih banyak sajak yang harus kutulis, gambar yang harus kugurat, dan nada yang harus kuperdengarkan kepada dunia. 

2 Comments

Tuliskan komentar