Kubayangkan diriku menjadi Laviaminora, seorang penulis bertema gender yang menjadi salah satu pengulas buku yang sedang diluncurkan di berbagai toko buku itu. Kukira beginilah jadinya:
Pada malam terakhir di bulan November 2024, hujan masih menggila. Gemuruhnya menggempur genting Warung Sastra. Namun, di balik dingin yang kukuh menginap dalam tulang-tulangku, aku menemukan kehangatan. Tidak di dalam dekapan lelaki, tapi dalam larik-larik puisi Bardjan yang menggugah dan penuh dengan ekspresi seksual yang bebas. Di tengah malam hujan ini, akulah pengulas Check In/Check Out.
Di hadapan puluhan peserta, aku mulai menghubungkan buku ini dengan terminologi agama Abrahamik: Setiap orang memanggul salibnya. Aku menghela napas sebelum melanjutkan, “Buku ini menggambarkan salib yang dipanggul oleh perempuan pekerja Jakarta kelas menengah – bukan salib kayu, melainkan salib berupa keberanian memiliki ekspresi seksual yang berbeda dari kompas moral masyarakat.”
Aku menjelaskan bahwa perempuan tokoh utama dalam Check In/Check Out merayakan kekalahannya dengan perbuatan dan perkataan mesum. Alih-alih mengganggu, itu terasa sangat wajar. Ketika ia marah, kemarahannya tumpah dalam bait. Ketika ia memberontak, puisinya menjadi ruang perlawanan yang aman. Di sanalah aku melihat penerimaan yang utuh—keberanian seorang perempuan untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Mataku terantuk buku The Gulag Archipelago yang bersandar di rak Warung Sastra. Buku itu, secara ajaib, memantik refleksi baru.
“Puisi-puisi Bardjan,” kataku kepada hadirin, “terasa sangat sosialis. Si perempuan tokoh utama hidup di tengah kerasnya urbanitas Jakarta. Meski kekalahan struktural terus-menerus menekannya, tidak ada ambisi untuk menginjak kepala orang lain. Tidak ada keinginan untuk merendahkan demi melambung. Bagi saya, inilah sosialisme ideal, sebuah penggambaran yang menyentuh.”
Pembicaraan tentang kelas sosial itu menarik benang merah antara kehidupan perempuan tokoh utama Check In/Check Out di Jakarta dengan kehidupan pribadiku. Ya, sebagai pekerja Yogyakarta, aku seringkali diupah 2M (“Makasih, Mbak!”) . Di Yogyakarta, UMR yang rendah menjadikan seks salah satu hiburan paling memungkinkan diakses.
Aku menatap ke arah para peserta. Kusampaikan juga bahwa keterkaitan antara seks dan kemiskinan struktural yang ironis semacam itu sudah berlangsung sejak zaman buyut-buyutku. Parahnya, buyut-buyutku hidup di masa ketika kontrasepsi belum marak dikenal. Karenanya, anak-anak yang lahir seringkali lebih dari lima. Nantinya, mereka “diumpankan” sebagai komoditas tenaga kerja untuk kapitalisme. Anak-anak ini akan tergiling dalam roda yang sama dengan orang tua mereka.
Aku berbagi cerita lainnya, tentang seorang mahasiswaku. Ia curhat hanya ingin hidup sampai umur 30.
“Aku memahaminya,” aku mengaku jujur. “Sebagai seseorang yang juga enggan memiliki anak di tengah dunia yang sesak, keinginan itu terasa realistis. Namun, jika orang tua mereka mendengar, pasti akan ada seruan, ‘Hus! Jangan bicara begitu!’”
Mendengarku berkata demikian, Bardjan dan Bagus Warung Sastra tergelitik untuk membacakan komentar di media sosial Warung Sastra:
“Cocok iki kanggo xxx milih ndi we ngentot po puisi”
“Dawg apa ini”
“Anjir, kualitas buku sekarang beginikah? Beda bgt sama Pramoedya Ananta Toer 😢”
Hujan masih mencipta garis-garis kabur di kaca jendela Warung Sastra, seperti doa yang belum tuntas dikirim. Di sampingku, Bardjan menyisiri lembar-lembar buku puisinya.
Aku ingin berdiskusi dengan Laviaminora dan Bardjan terkait komentar-komentar itu. Namun, aku sudah terlalu lelah. Karena sepanjang sore aku sudah mendengarkan Katrin Bandel mengulas buku itu di Rumah Sukma.