Salah satu ciri cerpen yang membedakannya dengan bentuk prosa lain adalah jumlah katanya. Walaupun sama-sama merupakan perwujudan prosa fiksi, novel dan cerpen tidak dapat dipukul rata. Dalam Teori Fiksi (2007:75), Robert Stanton menjelaskan bahwa, lazimnya, cerpen berbahasa Inggris terdiri atas lima belas ribu kata. Jika ditulis pada kertas A4 dengan marjin 4-3-3-3 dan spasi satu, jumlah itu akan membutuhkan kira-kira tiga puluhan halaman.
Namun, jumlah kata atau panjang-pendeknya karangan itu, dalam konteks sastra Indonesia, tidak memadai untuk dijadikan batasan tentang salah satu ciri cerpen. Prosa fiksi dengan kata sejumlah itu di Indonesia sering dianggap sebagai cerpen panjang, novela (nouvelle), novelette (novelet), atau novel pendek. Lazimnya, yang dimaksud dengan cerpen di Indonesia sejak dasawarsa 1960-an hingga 2020-an memiliki jumlah kata kira-kira antara seribu hingga dua ribu kata.
Batasan yang kini telah lazim tentang jumlah kata sebagai salah satu ciri cerpen itu kemungkinan besar disebabkan oleh mulai maraknya publikasi cerpen pada 1960-an melalui majalah sastra atau rubrik cerpen di majalah umum. Teknologi percetakan, walaupun telah menyebar luas di seluruh dunia, termasuk Indonesia, masih membutuhkan biaya yang tinggi. Penulis cerpen pada masa itu harus mampu menyiasati ruang fisik yang terbatas yang disediakan oleh penerbit majalah.
Pada 1980-an, cerpen juga mulai dipublikasikan di surat kabar harian atau koran sebagai rubrik tersendiri, biasanya sebagai sumplemen akhir pekan. Ruang fisik di koran lebih kecil daripada majalah sehingga salah satu ciri cerpen pada masa itu, yang sering disepakati secara umum, adalah bahwa jumlah katanya sekitar seribu hingga dua ribu kata. Ketika media publikasi daring dan media sosial makin marak pada dasawarsa 2010-2020-an, batasan jumlah kata sebagai salah satu ciri cerpen belum berubah.
Beberapa media massa cetak yang masih menyediakan rubrik cerpen makin mengurangi jumlah kata sebagai salah satu ciri cerpen yang dimuat di dalamnya. Misalnya, koran Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogyakarta membatasi jumlah kata untuk cerpennya hanya lima ratus kata. Ada juga bentuk prosa relatif baru (muncul sekitar 2010-an) yang sering disebut sebagai “fiksi mini”, yang ciri utamanya adalah jumlah kata kurang dari seribu kata. Namun, umumnya “fiksi mini” tidak diklasifikasikan sebagai cerpen.
Jumlah kata yang hanya sekitar seribu hingga dua ribu kata sebagai salah satu ciri cerpen itu “memaksa” atau “mendorong” penulis cerpen untuk menghasilkan bentuk prosa yang “padat”. Dalam cerpen, pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus, secara bersamaan (Stanton, 2007:76). Konsekuensinya, bagian-bagian awal dari sebuah cerpen harus lebih padat daripada prosa fiksi yang lebih panjang.***