Sajak-Sajak Kenangan
1/
-Mengenang Kolonial
Silih berganti mereka datang dengan panggilan
sesuka hatinya walau tak ada satu pun dari kami
tinggal di rumah bordil. Romusha atau Rodi kesukaannya.
Sebagai tuan rumah yang baik kami menyambut mereka
bagai raja, lalu menjelma gundik di rumah kami sendiri.
Inlander dan Pribumi dua kata ganti orang yang paling laris
kala itu berubah menjadi penonton opera orang-orang luar negri
di panggung yang ditopang darah kami sendiri.
Lipatan demi lipatan peristiwa telah berlalu
dan rasanya bagai berjalan di atas treadmill.
Kami selalu berada di urutan akhir, bila dilombakan
tentulah hasilnya tak akan buat hati senang dan gembira.
Eropa—Timur Asing—baru kami yang belakangan ini
disebut Indonesia menjadi sebuah teori yang lebih sulit
dibantahkan dari Teori Darwin.
Sampai kini, hingga langit terlihat lebih cerah,
rasanya tak berubah. Hidup dalam bergelimang harta
yang tak akan habis, rasanya seperti mimpi yang tak butuh
dibangunkan. Kekayaan yang sangat panjang, sepanjang
bibir pantai dari Danau Toba hingga Gunung Jayawijaya
adalah kenyataan, bukan utopia, angan atau fatamorgana
tapi sebuah obat penenang supaya kekalahan terlihat
lebih menyenangkan.
2/
-Mengenang Orde Lama
Setiap Tiga Puluh September aku merinding
sebab lagu gugur pahlawanku dengan enam Jendral dan
satu Letnan yang mati dalam narasi Pangkostrad akhirnya
menghilangkan mimpi para buruh tani yang ingin hidup
dalam dunia tanpa kelas.
Satu Oktober masih dengan rasa yang sama.
Aku diselimuti fragmen-fragmen tentang kisah
yang hilang dan kasih yang kurang oleh sebab rasa
curiga telah tumbuh dan mengakar. Setitik nila
akhirnya merusak susu satu belanga.
Para penyair puisi-puisi rakyat
harus tumbang tanpa perlu ditimbang
Perempuan dalam serikat hilang
dengan sebilah golok dan parang.
Yang tersisih dan terbuang,
selalu akan bangkit dan berjuang.
“Rekonsiliasi,Rekonsiliasi,Rekonsiliasi”
Suara kakek dan nenek renta
di penghujung usia senja.
“Sejarah adalah tafsiran. Biarlah mereka
menafsirkan dari sudut pandang yang kalah”
Ingatan para veteran jendral
yang menunggu tutup usia.
3/
-Mengenang Orde Baru
Aku berenang terlalu dalam hingga tenggelam
dalam lembaran-lembaran buku-buku terlarang.
Terlarang kata yang hanya boleh digunakan oleh
kejaksaan dan rambu-rambu lalu lintas.
Aku hanya ingin tahu. Pikiran masih dalam kekuasaanku
sebelum orang-orang mengatur pikiran bagai sedang bermain
marionette. Bebas memiliki tapal batas yang dipatok oleh televisi
dan pertanyaan yang dihadiahi penghilangan adalah dinamika
yang mengalir-mengakar di kepala dan di depan mata tanpa mampu
berbuat apa-apa. Bisa nama tinggal berita atau berita hanyalah
angin-angin belaka.
Aih. Tak boleh baca itu.
Aih. Tak boleh baca ini.
Dari seribu hanya satu yang menyisihkan waktu untuk mencari
tahu kenapa orang harus disamakan dengan barang di toko.
Harus dilabeli, ini kiri atau kanan. Aku pikir dua kata benda ini
hanya boleh digunakan lampu sein dan jalanan.
Aku masih tidur bersama tanda tanya. Tentang buku-buku
yang membuatku tak punya tempat di surga oleh orang-orang
yang melihatku dengan sebelah mata dan mata lainnya tak punya
waktu untuk sejenak duduk berbincang di perpustakaan, bersamaku
di simpang kiri jalan.
4/
-Mengenang Detik-Detik Reformasi
Ribuan mahasiswa menyerupai pelangi
juga bagai rombongan semut yang saling
bahu membahu menegur Kakek yang puluhan tahun lalu
menyelamatkan negri dari riak-riak saling unjuk gigi buat
keadaan kalut dan saling sikut hingga akhirnya tinggal
warna dan ingatan yang samar-samar.
Merah dan hijau, marah dan masa lalu.
Putuslah rantai kesenangan dari ayah ke anak,
ke sanak saudara dan kerabat terdekat. Akhirnya
semua bisa merasakan. Eksekutif-Legislatif-Yudikatif
berlomba-lomba menikmatinya.
Senyuman Kakek penuh makna dan banyak warna.
Para penyair serentak mempuisikannya namun tak ada
yang betul-betul mengerti kecuali dirinya sendiri.
Kejadian demi kejadian membangkitkan ingatan.
Tak mampu ia berkata-kata sebab yang mati ingin hidup
kembali, jua ingatan sudah pasti kekal dan abadi.
Hijau tempat bersandar semakin memudar,
Kuning tempat berpijak berbalik menginjak.
Kembalilah ia kepangkuan Ibu Pertiwi menanggalkan
segala atribut masa mudanya. Dalam pelukan Ibu Tin
tangan kanan melambai dengan senyum yang sama
dengan diamnya Monalisa, Ia berujar dalam makamnya.
“Piye kabare enak jamanku to”.
5/
– Mengenang Akhir-Akhir Ini
Masih adakah cinta bila bahasa menjelma mata peluru
yang bekerja bagai pembunuh bayaran. Tak ada tempat
paling aman kecuali penjara. Di sana tak ada sosial media
juga surat kabar dan televisi, kecuali untuk orang-orang
tertentu yang punya alat ajaib berupa pintu ke mana saja.
Masih adakah cinta bila tak ada tempat tersisa untuk
suara sebagai nasehat kecuali kata yang berubah pisau
—memotong lidah orang lain. Tak ada tempat paling
bahagia kecuali Rumah Sakit Jiwa. Di sana semua orang
bebas bicara tanpa perlu takut Operasi Tangkap Mulut.
Tak ada alat penyadap, Teleskrin atau cctv atau para
ahli-ahli yang terkenal dengan bahasa-bahasa tabu
Masih adakah cinta yang terselip di lengkung bibirmu bila
semua persoalan harus selalu diselesaikan dengan adu suara
terbanyak. Tak ada musyawarah juga dialog dan diskusi kecuali
debat-debat kusir yang kadang satu-dua kali menambah keruh
di hati. Setelah itu kita saling curiga, saling mencuri kesempatan
untuk tampil sebagai pemenang padahal tak ada lomba yang kita ikuti.
Aku keliru. Aku kira cinta adalah kasih sayang
tapi barangkali memang seperti itu cara cinta bekerja
—orang jadi buta matanya dan batu hatinya.
Tentang penulis :
Syafri Arifuddin Masser lahir di Sirindu 13 juli 1994 di Sulawesi Barat. Alumnus mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia. Puisi-puisinya pernah terbit di koran Radar Sulawesi Barat, bukuindie.com, litera.co.id. dan langgampustaka.com
Dapat dihubungi di:
Instagram: @kamarliterasi
Facebook : Syafri Arifuddin