Bertamsya ke Rumah Puisi
Pada suatu libur,
saya putuskan berlibur ke
rumah puisi.
Di pagi hari, saya akan mendengarkan
burung mendendangkan sajaknya
dengan riang. Hujan kata rincik
pada lembayung putik mengalir
ke sebuah sungai yang tak mengenal
tanda titik. Pada setiap jalan
ada bait-bait yang hilir-mudik memecah
kesepian dan kerinduan.
Tamasya ke rumah puisi di kala
libur, kau akan membawa buah
tangan serupa benih yang hanya
dapat kau tanam di keningmu dan
akan jatuh berbuah di sebuh layar
laptop atau kertas yang lapang.
Purbalingga, Januari 2022
Dialog Sekuntum Mawar dan Dokter
Dalam suasana senggang, saat sepi mulai merondai malam
bertemulah seorang dokter dengan sekuntum
bunga mawar yang merekah di halaman sebuah bangsal
rumah sakit.
Mawar merah yang bijaksana menyapanya
“Tidurlah pada haribaan duriku, aku tau sakit
yang kau rasa lebih dari itu”
“Tak ada penderitaan sama sekali dalam
tugasku. Aku hanya berusaha belajar darimu.
Merekah wangi menebar kemanusiaan
di tengah wabah pandemi” jawab sang dokter seraya
menghela nafas.
“Tumpahkan tangismu pada tangkaiku,
merekahlah bersamaku”
pinta sang mawar dengan belas kasih.
Tak lama berselang,
hujan berderai di linang mata sang dokter
menetes pada sekuntum bunga
mawar yang kelak akan tumbuh
dalam peristirahatan terakhirnya.
Purbalingga, Februari 2021
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]
Seorang Nenek
Seorang Nenek yang lemah
dan terkulai hidup sebatang kara.
Rambutnya yang dulu menjuntai
layaknya lumbung padi telah
ranggas termakan usia.
Matanya yang dulu berkedip
penuh pesona kini telah memudar
dan sukar memandang dengan sempurna.
Kulitnya yang dulu mulus
layaknya jalan raya yang dilalui
para lelaki hidung belang kini telah
sepi dari arus lalu-lalang.
Dalam usia yang sudah di ujung masa
tak ada satupun
sanak keluarga
yang menjenguknya
sesering dan seistikamah penyakit
yang dideritanya.
Purbalingga, Januari 2022
Rutinitas di Pagi Hari
Ibu merapikan mimpi-mimpinya
yang telah usang dalam sehelai seprai.
Setelah itu, ia menyirami rindunya
kepada si bungsu yang sedang merantau
di kota agar tumbuh subur.
Ayah menyeduh sepi dalam cangkirnya
dan bersulang di halaman rumah
dengan seekor burung yang sesekali
berkicau dalam balutan sarungnya.
Sementara aku masih mereka-reka
cita-citaku di dalam mimpi
yang akan goyah oleh suara lantang
ibu.
“Nak sudah pagi, solat subuh
Nanti rezekimu terpatuk ayam berkokok”
Purbalingga, Januari 2022
Menadah Hujan
Pada suatu hujan, aku
menyempatkan diri menyiapkan
kaleng kosong untuk menadah
dingin dan jernih air hujan.
Dinginnya hujan akan menemaniku
menulis sebait puisi dan merangkai
kata cinta untukmu,duhai kekasihku.
Jernihnya hujan sebagai jaga-jaga.
Jikalau kau menolak
sebait puisiku dan untaian kata
cintaku. Aku akan memasang
jernih hujan di cerlang mataku
agar tangisku layaknya hujan,
meneduhkan dan menyejukan
hati yang teriris.
Purwokerto, 15 Desember 2021