Menu

Rumah Puisi | Puisi-Puisi Yanuar Abdillah Setiadi

 

Bertamsya ke Rumah Puisi

 

Pada suatu libur,

saya putuskan berlibur ke 

rumah puisi.

 

Di pagi hari, saya akan mendengarkan 

burung mendendangkan sajaknya 

dengan riang. Hujan kata rincik

pada lembayung putik mengalir 

ke sebuah sungai yang tak mengenal

tanda titik. Pada setiap jalan

ada bait-bait yang hilir-mudik memecah

kesepian dan kerinduan. 

 

Tamasya ke rumah puisi di kala

libur, kau akan membawa buah 

tangan serupa benih yang hanya

dapat kau tanam di keningmu dan

akan jatuh berbuah di sebuh layar

laptop atau kertas yang lapang.

 

Purbalingga, Januari 2022

 

 

 

 

Dialog Sekuntum Mawar dan Dokter

 

Dalam suasana senggang, saat sepi mulai merondai malam

bertemulah seorang dokter dengan sekuntum

bunga mawar yang merekah di halaman sebuah bangsal

rumah sakit.

Mawar merah yang bijaksana menyapanya

“Tidurlah pada haribaan duriku, aku tau sakit

yang kau rasa lebih dari itu”

“Tak ada penderitaan sama sekali dalam 

tugasku. Aku hanya berusaha belajar darimu.

Merekah wangi menebar kemanusiaan 

di tengah  wabah pandemi” jawab sang dokter seraya

menghela nafas.

“Tumpahkan tangismu pada tangkaiku,

merekahlah bersamaku”

pinta sang mawar dengan belas kasih.

 

Tak lama berselang,

hujan berderai di linang mata sang dokter

menetes pada sekuntum bunga

mawar yang kelak akan tumbuh 

dalam peristirahatan terakhirnya.

 

Purbalingga, Februari 2021

 

 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]

 

 

 

Seorang Nenek 

 

Seorang Nenek yang lemah

dan terkulai hidup sebatang kara.

Rambutnya yang dulu menjuntai

layaknya lumbung padi telah 

ranggas termakan usia.

Matanya yang dulu berkedip

penuh pesona kini telah memudar

dan sukar memandang dengan sempurna.

Kulitnya yang dulu mulus

layaknya jalan raya yang dilalui

para lelaki hidung belang kini telah 

sepi dari arus lalu-lalang.

 

Dalam usia yang sudah di ujung masa

tak ada satupun 

sanak keluarga

yang menjenguknya

sesering dan seistikamah penyakit

yang dideritanya.

 

Purbalingga, Januari 2022

 

 

 

 

Rutinitas di Pagi Hari 

 

Ibu merapikan mimpi-mimpinya

yang telah usang dalam sehelai seprai.

Setelah itu, ia menyirami rindunya

kepada si bungsu yang sedang merantau 

di kota agar tumbuh subur.

Ayah menyeduh sepi dalam cangkirnya

dan bersulang di halaman rumah

dengan seekor burung yang sesekali

berkicau dalam balutan sarungnya.

 

Sementara aku masih mereka-reka 

cita-citaku di dalam mimpi

yang akan goyah oleh suara lantang 

ibu.

“Nak sudah pagi, solat subuh

Nanti rezekimu terpatuk ayam berkokok”

 

Purbalingga, Januari 2022

 

 

 

Menadah Hujan

 

Pada suatu hujan, aku

menyempatkan diri menyiapkan 

kaleng kosong untuk menadah 

dingin dan jernih air hujan.

 

Dinginnya hujan akan menemaniku

menulis sebait puisi dan merangkai

kata cinta untukmu,duhai kekasihku.

 

Jernihnya hujan sebagai jaga-jaga.

Jikalau kau menolak

sebait puisiku dan untaian kata 

cintaku. Aku akan memasang

jernih hujan di cerlang mataku

agar  tangisku layaknya hujan,

meneduhkan dan menyejukan 

hati yang teriris.

 

Purwokerto, 15 Desember 2021 

Tuliskan komentar