“Banzai! Banzai! Banzai!”

Ia kembali mendengar suara itu. Ia sadar, itu hanya ngiang yang ada di dalam liang telinganya. Sudah lama, ya, sudah lama sekali. Kini ia berada di kamar dua kali dua meter. Desir angin masuk lewat celah-celah papan dinding kamar. Desir itu, desir yang kembali membuatnya nanar.

Cukup lama ia menatap langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu, namun tatapannya tidak hanya sampai di situ. Tatapan itu jauh menembus sela-sela anyaman, menembus kelam di sebaliknya. Ia tersentak, dingin memagut. Baru kemudian ia berusaha duduk. Tulang punggungnya berderak, tidak kalah berderak dengan dipan kayu tempat ia tidur. Petang yang dingin cukup membuat tulang punggung itu kembali kaku. Ia kemudian meraih tongkat yang tersandar tidak begitu jauh darinya. Ia melangkah ke arah jendela yang masih terbuka, dicondongkannya kepala, tidak sabar melihat hari.

Masih mengiang di telinganya. “Banzai! Banzai! Banzai!”

Begitu keras. Menggema. Mengisi setiap rongga.

Ia tersentak, sekarang bunyi di liang telinganya digantikan bunyi derit kayu putaran roda kincir. Baru ia tersadar, ia belum menutup pintu air yang memutar roda kincir. Padahal petang sudah masuk dan para penumbuk kopi pasti sudah pulang sedari tadi. Bergegas ia keluar dari kamarnya dengan satu tongkat yang menyanggah tubuhnya.

Langkahnya terhenti ketika kakinya tersandung pada akar tumbuhan yang merambat, tubuhnya terguling hingga terhempas pada dasar jurang. Ia tidak mampu lagi berdiri, tubuhnya telentang menghadap langit. Matanya masih terbuka, tapi entah masih sadar atau malah sebaliknya, yang jelas ia tidak bergerak sedikit pun. Dari bibirnya, tersungging sebuah senyuman kecil, senyum yang sekedar saja. Senyuman yang hanya dapat disaksikan dahan-dahan pohon yang merimbun, menutup cahaya matahari masuk ke rimba itu. Senyum yang sekedar saja itu berhenti sebegitu saja, senyum itu tidak mengembang, tidak juga menghilang, senyuman itu beku begitu saja.

Ah, ia menggelengkan kepala sendiri, bayangan-bayangan itu tidak pernah lepas dari kepalanya, terus menghantui.

***

Gedung Societeit tampak beku di selimut angin lembah. Sebeku kenangan sebelum Nippon menguasai Pasifik. Perempuan itu memandang halaman yang cukup luas di hadapannya, halaman yang dulunya terawat dengan baik, dengan bangku-bangku taman yang selalu penuh dengan orang-orang yang bercengkerama pada sore hari, juga halaman tempat ia merawat bunga-bunga—bunga-bunga yang menjadikan kota ini lebih sedikit berwarna setelah sepanjang pandang hanya memandang hitam batubara . Kini halaman itu telah semak, bangku-bangku taman itu jadi lapuk dengan sendirinya disiram hujan dan dimakan terik matahari.

Ia memandang lebih jauh, tidak hanya halaman itu saja yang lapuk, kota ini pun, Lunto Kloof, yang dulu selalu sibuk dan penuh geliat. Kini telah menjadi kota yang lapuk dengan nama Sawahlunto. Memang, kota ini masih kota yang sibuk dengan tambang-tambangnya, tapi menjadi begitu suram dan begitu angker. Setiap hari ada saja ditemukan orang yang mati kelaparan di pinggir jalan.

Ia memejamkan mata, berusaha menghilangkan bayangan yang jauh lebih mengerikan. Masih beruntung, ia dan ayahnya tidak diusir Nippon untuk mendiami rumah di belakang gedung Societeit, ayahnya masih dipercaya sebagai penjaga gedung itu, namun itu tidaklah membuatnya tenang. Mata serdadu-serdadu Nippon itu selalu mengintai dirinya, seperti hendak segera menerkam, melumat dirinya habis-habis, apalagi saat ini suaminya tidak bisa lagi berada di sampingnya. Kini, dalam dirinya selalu terbesit keinginan untuk juga ikut menyingkir dari kota, pergi jauh ke pedalaman kampung sana. Ayahnya, itulah pertimbangan yang paling besar dari dirinya. Ayahnya tidak akan mau. Gedung itu seperti sudah menyatu dengan diri ayahnya. Namun, mengingat kejadian malam itu, lagi-lagi membuat dadanya sesak.

Malam yang begitu gerah dan gelisah. Kakinya tidak tenang berdiri di sudut gedung, tiap sebentar berpindah dari sisi dinding yang satu ke sisi dinding lainnya. Kabar yang tengah beredar dari mulut ke mulut, kecemasan yang terus menggelayut dirinya. Setiap lelaki dewasa sebaiknya menyingkir ke pedalaman, menghindar dari Nippon, kalau tidak ia akan direnggut paksa dan dibawa entah ke mana. Kabarnya akan dibawa ke rimba Logas, ada gunung emas di sana dan kota yang megah di tengah rimba itu, namun setiap orang yang masuk ke sana tidak akan pernah lagi kembali. Begitulah kabar yang ia dengar dari mulut ke mulut. Ya, kabar yang menakutkan. Dan malam ini, ia tengah menunggu, menunggu untuk kabar itu.

“Sssttt!”

Langkah kakinya terhenti.

“Yoa!”

Ia mencari arah suara itu, suara yang memanggil namanya, suara yang begitu hafal di telinganya.

“Di sini!”

Segera senyum itu mengembang di bibirnya. Sosok Leno telah berdiri di hadapannya. Yoa segera melonjak kegirangan, namun lonjakan itu segera ia tahan oleh dirinya sendiri, sekarang yang dibiarkannya kegirangan hanyalah matanya yang begitu berbinar. Ia menatap Leno lekat-lekat, dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Segera, mata itu berubah, kembali kuyu melihat sosok di depannya itu. Leno tetap berdiri kaku di hadapannya.

“Malam ini aku akan meninggalkan kota ini!”

Tatapan semula yang begitu berbinar tiba-tiba menjadi kuyu. Kota ini benar-benar telah beku.

“Aku akan masuk ke pedalaman, aku harus menghindari Nippon. Sudah banyak pemuda yang hilang begitu saja, jadi lebih baik aku menghindar cepat, sebelum sesuatu yang buruk terjadi.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Leno, tanpa mimik sedikit pun. Juga tanpa mempertimbangkan perasaan Yoa yang mulai berkecamuk hebat di dalam dirinya. Hampir saja tangis itu pecah, jika tidak mempertimbangkan bahwa malam telah jadi benar-benar mencekam mungkin tangis itu sudah pecah sedari tadi. Sekarang ia hanya dapat berdiri kaku, lebih kaku dari lelaki di hadapannya itu. Leno terus berkata, tapi entah kalimat apa yang muncul dari mulutnya, Yoa tidak bisa menangkapnya lagi. Suara itu telah mengambang di udara malam kemudian beku tanpa sampai di telinganya.

Leno kemudian membalikkan badan tanpa menunggu Yoa berkata sedikit pun, juga tanpa menunggu perempuan itu, setidaknya menangis untuknya. Bergegas ia menyeberangi jalan, kembali melompat ke belukar yang ada di seberang. Pada kelokan jalan di ujung sana, tiba-tiba sebuah truk muncul dengan cepat. Leno tersentak, namun ia tidak sempat menghindar masuk ke dalam belukar, entah bagaimana caranya, sangkur-sangkur Nippon itu telah membidik kepalanya.

Yoa juga tersentak, cepat-cepat ia menyembunyikan badannya ke sebalik dinding sayap gedung. Nafasnya tersengal dan langsung sesak. Berusaha ia mengintip apa yang terjadi. Ia menyaksikan sendiri, lelaki itu, lelaki yang membangun mimpinya itu, suaminya itu, kini telah berdiri kaku dengan sangkur tepat membidik kepalanya.

“Angkat!” Truk itu melaju kembali menghilang di kelok jalan.

Kaki Yoa langsung terkulai lemah, untung dinding gedung itu masih menyanggah tubuhnya, sehingga ia hanya merosot tidak berdaya sedikit pun. Ia tahu, ia tidak akan bertemu suaminya lagi.

***

Ledakan dinamit itu mengguguh, bunyinya menggaung terkurung perbukitan. Tanah-tanah dan bebatuan terpelanting seperti rentetan peluru. Orang-orang berlindung ke tempat di mana bisa melindungi dirinya saat itu. Sekejap bukit itu rata dengan tanah.

“Banzai! Banzai!” Teriak serdadu-serdadu Nippon itu sambil mengacung-acungkan sangkurnya ke udara.

Pada sisi lain, tampak rel-rel yang terputus tepat di ceruk bukit yang baru diledakkan itu. Rel itu membentang, menjauh, dari serdadu-serdadu Nippon, dari orang-orang yang berdiri terkulai memegang cangkul, sekop, atau pun linggis. Menjauh hingga menghilang di kelok rimba yang merimbun. Sebelum rimba itu menelan rel itu, di ujung terakhir sebelum kelokan, teronggok sebuah lokomotif uap yang terbatuk-batuk habis berjalan.

“Turunkan balok-balok itu dari gerbong!” Terdengar sebuah teriakan perintah.

Bunyi gelondongan kayu yang saling susul menyusul terdengar memecah sunyinya rimba. Kemudian, tidak lama, terdengar bunyi seseorang terpekik, pekiknya tersekat putus di kerongkongan.

“Cepat singkirkan mayatnya! Memperlambat kerja! Rel ini harus segera selesai terpasang! Lokomotif ini harus segera sampai ke pelabuhan Siak! Demi kejayaan Asia!”

Orang-orang itu dengan cepat mengangkat tubuh yang tergencet balok kayu itu. Mereka tidak menangisi juga tidak menunjukkan rasa kegembiraan. Raut wajah mereka dingin, sedingin rimba yang mengurung mereka. Mayat yang mereka angkat itu, tidak ubahnya dengan diri mereka masing-masing. Jauh dalam lubuk hati sana, mereka selalu berdoa supaya cepat juga sampai pada kondisi tubuh yang tengah mereka usung.

“Mana tenaga kalian! Mengangkat satu mayat saja begitu susah!”

Bersusah-payah mereka menyeret mayat itu ke tepi jurang. Butuh tenaga lima atau enam orang dari mereka—dari tubuh-tubuh kulit pembalut tulang itu. Lapar yang melilit dan gemetar badan mereka entah karena penyakit atau karena ketakutan yang terus menghantui, mayat itu akhirnya dapat juga mereka lemparkan ke sisi jurang yang menganga. Namun malang bagi sebagian mereka, tanah tempat berpijak ikut merosot ke bawah, membawa tubuh mereka ikut terguling menyusuri lereng jurang, entah dua atau tiga orang, tubuh-tubuh itu terlalu cepat menyusup ke belukar yang ada di bawah sana.

“Tidak ada yang dapat lolos dari rimba Logas ini!” Terdengar hardikan serdadu Nippon yang diiringi dengan sangkur yang menyalak.

***

Entah kenapa malam itu ia tidak menutup pintu air dan membiarkan roda kincir tetap berputar. Bunyi air yang jatuh dari sayap-sayap roda kincir, bunyi alu yang pasrah jatuh ke lesung penumbukan kopi, ia menangkap semua bunyi itu, lamat-lamat, seperti mengumpulkannya di rongga telinga. Kepalanya tertekur, memandang potret hitam-putih yang sudah menguning di genggamannya. Potret yang sosok di dalamnya tidak lagi jelas kelihatan, namun di kepalanya sosok perempuan itu masih begitu jelas, sangat jelas.

“Di antara kita, batas rimba yang menakutkan.” Ia mendesah sendiri, menyandarkan kepalanya ke tabir kayu di belakangnya. Tangannya terkulai lemah ke bangku. Potret di genggamannya seakan-akan hampir jatuh ke bawah, namun tidak, potret itu masih kuat ia genggam, sekuat ia menggenggam hatinya.

Diusapnya potret itu dengan jarinya yang telah keriput, sepertinya ia tengah mengusap debu-debu yang tengah menempel, mengusap masa lalu dalam ingatannya. Didekatkannya potret itu ke wajahnya, di belakangnya, di lembaran putihnya, tampak sebuah tulisan yang sudah agak kabur dan kekuningan, namun masih jelas terbaca: Taman Gluck Auf.

Di taman itu, Taman Gluck Auf, ia tengadahkan kepalanya ke langit yang ditopang sandaran bangku taman. Kakinya ia biarkan terjulur menjuntai. Langit begitu terang malam itu, walau bulan baru separuh, mengintip di sebalik puncak bukit yang mengurung kota. Yoa menghirup dalam-dalam udara malam. Udara yang kembali segar, tidak ada lagi bau kematian di kota itu, setelah satu setengah bulan yang lalu Nippon telah menyerah dan negeri ini telah memproklamirkan kemerdekaannya.

Ia putari pandangannya ke sekeliling, menyapu setiap sudut taman itu. Ingin sekali ia menata taman itu kembali, mengembalikannya seperti dulu kala, sebelum Nippon masuk menduduki kota itu. Ia menghela nafas panjang. Matanya langsung terlempar jauh ke sudut kota sana, ke sudut bukit yang berlapis-lapis itu. Di dalam bukit yang berlapis-lapis dan puncaknya tertutup kabut, di sanalah rimba Logas, seperti yang selalu ditunjuk orang-orang setiap ia bertanya. Kota yang dimakan rimba belantara. Kini, ia duduk kembali sendiri di ujung bangku taman seperti ia duduk di bangku taman itu tiga puluh tahun silam.

Ia tengadahkan kepalanya ke langit yang ditopang sandaran bangku taman. Kakinya ia biarkan terjulur menjuntai. Langit begitu terang malam itu, bulan penuh tepat di atas kepalanya. Yoa menghirup dalam-dalam udara malam kota, sama seperti ia menghirup dalam-dalam udara malam kota itu tiga puluh tahun silam. Pandangannya kembali menyapu jauh ke sudut bukit ujung kota sana. Bukit yang berlapis-lapis. Bukit yang begitu beku. Rimba Logas yang tidak pernah lepas dari pandangannya.

“Apakah kau masih hidup? Aku percaya kau masih hidup!” Ia mendesah, membuang nafas. Membuang dingin di dalam tubuhnya.

Ia tersentak. Dingin begitu memagut, membuat tulangnya ngilu. Ternyata ringkih tubuhnya tidak lagi bisa menahan dingin.

“Tidak ada yang percaya bahwa aku masih hidup. Setiap orang yang masuk ke rimba itu sudah dipastikan mati. Aku masih hidup, aku masih hidup, Yoa!” Ia bicara pada potret itu. Tangannya gemetar, entah karena menahan dingin atau karena luapan emosinya yang tidak tertahan.

Potret yang sedari tadi di genggamannya terlepas begitu saja. Melayang dipermainkan angin. Ia begitu kaget, cepat ia bergerak meraihnya, hingga ia pun lupa ia telah bergerak dengan kaki sebelah tanpa dibantu tongkatnya lagi. Potret itu jatuh ke bandar air kincir, ia begitu kaget, sebelum potret itu masuk pada pusaran roda kincir segera ia melompat masuk ke bandar. Malang, lumut membuat bandar itu licin.

Malam, udara lembah turun, tubuh-tubuh menjadi gigil. Bunyi kincir yang dibiarkan terus berputar semakin berderak bunyinya seperti tulang-tulang lapuk yang digiling. Alu yang timpa-menimpa jatuh ke lesung seperti tercekik dan bunyinya semakin bergegas.

Entah kenapa, ia merasa malam itu waktu semakin bergegas dari biasanya. Entah karena dingin yang memagut dan ringkih tubuhnya tidak mampu lagi menahan, entah karena malam kali ini begitu sepi. Dicobanya untuk menegakkan punggungnya dan memperhatikan setiap jengkal Taman Gluck Auf yang sekarang sudah tertata rapi, penuh lampion-lampion dan kemilau bunga yang beradu pantul dengan cahaya bulan. Taman itu serasa menjadi beku, ketakutan yang luar biasa tiba-tiba menyergap tubuhnya. Segera ia berniat meninggalkan taman itu kembali ke rumah. Namun niatnya sedikit tertahan, ketika ia hendak menggerakkan tubuhnya, seseorang datang dengan tubuh yang ditopang sebilah tongkat, duduk di ujung yang lain di bangku taman yang sedang ia duduki. Memandangnya. Tatapan yang begitu dikenalnya, tatapan seperti bulan penuh malam itu.

 

Sungai Tarab-Sawahlunto, 1211 – Yogyakarta, 1212-1307

 

 

Pinto Anugrah, novel terbarunya Jemput Terbawa, Buku Mojok, 2018. Kini menetap di Padang.

 

Ilustrasi oleh Mathorian Enka.

Tuliskan komentar