Puisi Zikri Amanda Hidayat. Ilustrasi: Haiku SUluh Wangsa
Puisi Zikri Amanda Hidayat. Ilustrasi: Haiku SUluh Wangsa

Puisi Zikri Amanda Hidayat

Berkunjung ke Hutan dan Air Terjun

Pikiranmu selaiknya hutan belantara
Menyimpan banyak bunga-bunga langka
yang kerap tak dapat aku jamah

Sepasang air matamu kadang
seperti air terjun
mengalir deras ke bawah
pipi rona dadu

Konon di sana pernah tergelincir tisu
Dan aku adalah pelancong yang sering
berkunjung membawa seransel pelukan

Padang, 2024

Ilustrasi: Haiku Suluh Wangsa, 2024

Kita dan Jarak

Pada akhirnya, jarak adalah kita yang dipaksa
Dipaksa untuk menerima, menerima kenyataan tiba-tiba

Pagi menjadi dingin yang culas
Senja seakan hilang jingga
Dan malam kian sunyi menjadi pekat

Ketidaksiapan adalah kata yang belum aku setujui
Setuju atas kepergian sementaramu
Sementara aku, meratap dengan sendu

Rindu adalah bom waktu
Menumpuk di pikiran dan hatiku
Sewaktu-waktu, bisa saja melebur pada pelukan
atau menghancurkan pada kehilangan

Padang, 2024

Mata Waktu

Mata waktu terjaga di nisan kematian kata-kata
Tak ada yang mampu melawan kenyataan sesungguhnya
Kehabisan detak ungkapan cinta
Hanya bunyi yang sunyi
Pada putaran cepat berlalu
Kita adalah kehilangan yang pilu

Padang, 2024

Pelancong

Di dalam tubuhku; tersembunyi kota lecun dan berarakan,
dengan padat penduduk sepi yang beringas,
dengan jiwa yang senantiasa tercekik oleh realitas.

Sebagaimana nyala lampu kecemasan dan ketakutan
tak padam oleh durja pagi. Di kota itu, sering kali aku
hanya pelancong, yang sedang mencari diri sendiri.

Padang, 2024

Ayah

Seseorang yang kukenali; rumah yang kukuh;
detak waktu yang menolak berhenti bersuara;
matahari pukul petang; kata sunyi yang ramai;
nama yang kujaga; kebiasaan setengah aku;

petuah-petuah getir; pikiran-pikiran cemerlang;
kota yang kukenal padat; rindu yang gengsi;
khawatir yang pelik; kesedihan tak terjamah;
kebaikan-kebaikan di meja makan; hujan ketulusan;
keterbatasanku dalam memahami; hidup yang menghidupkan kami

Padang, 2024