Puisi-Puisi Ummi Ulfatus Syahriyah

Puisi-Puisi Ummi Ulfatus Syahriyah

April

 

Selamat datang April, di mana kau dilahirkan dengan perjuangan seorang wanita yang mengorbankan nyawanya, satu-satunya nyawa.

Hari yang tak terulang kembali, karna kau dilahirkan sekali, kecuali jika kau memiliki beribu nyawa untuk mati dan hidup kembali menjadi bayi.

Selama hari ini ada, kau mengingat jika pernah dilahirkan.

Mata berbinar dan suara yang lantang, seakan kau ingin berbicara dengan orang-orang, “Ibu, aku dilahirkan, aku senang telah keluar dari ruangan gelap selama sembilan bulan. Aku takut, jika aku tak bisa keluar dan terjebak di dalamnya selamanya. Tapi kau baik hati, mengantarku ke dalam ruang terang bersama mereka.”

“Namun aku takut jika kehidupanku di sini akan jauh lebih buruk, karenaku hanya makhluk lemah, tak berdaya.”

“Ibu, maukah engkau menemaniku selamanya?”

“Kenapa engkau diam, Bu? Mana suara lembutmu dan nyanyian yang engkau dendangkan setiap hari sebelum aku lahir?”

Orang-orang sekelilingnya menangis, mengerang hatinya. “Tidak, ia mengorbankan nyawanya. Seandainya aku tahu ini akibatnya, aku takkan minta untuk dilahirkan. Semoga kau tenang di sana.”

(2020)

 

 

Tersesat

 

Halaman buku masih belum memberikan jawaban apa arti dari jawaban itu sendiri. Semakin bingung dibuatnya. Berkali-kali ia baca seluruh isinya, namun tak kunjung menemukan jawaban karena yang ia cari hanyalah susunan kata jawaban itu sendiri. Kenapa tak mencari persoalan baru menemukannya? Entah, ia sedang bersikeras menemukan jawaban dari permasalahan yang tak diketahuinya.

Buku-buku itu hampir lelah dibuatnya, membolak-balik saja, buku itu pingsan di atas meja. Sebatang rokok pun mengepul, buku itu bertambah sakit dengan asapnya. Kopi dalam cangkir itu tumpah, menambah kedinginan dalam sakit yang dideritanya. Sebenarnya dia atau buku itu yang lagi tersesat? Aku bingung membacanya, teluh puisi itu merasuk pada keduanya.

(2020)

 

 

 

Aku Ingin Dilahirkan Kembali

 

Aku adalah kemalangan dan kesedihan

Dan aku pun air mata yang tak kunjung kering, yang masih awam akan kebahagiaan.

Aku ingin dilahirkan kembali bersama riang, bukan kepedihan.

Aku ingin dilahirkan kembali dari rerumputan hijau yang tak pernah mendikte hujan.

Aku ingin dilahirkan kembali sebagai manusia seutuhnya yang dimanusiakan.

Aku bukan apa yang sedang dibaca, tapi dirasakan.

 

Aku pengemis kebahagiaan pada air mata yang tak kunjung mereda.

Aku ingin dilahirkan kembali untuk hidup yang sebenarnya, bukan sandiwara.

Berapa kali kuharus merapal? “Aku ingin dilahirkan kembali, Tuhan!”

Malang, 23 Juli 2020

 

 

 

Untuk Hari Ini  

 

Sekawan pemburu buku berkeliling kota, mengitari pasar loak. Berharap menemukan selebaran usang. Bukan masalah kertasnya, tapi isi di dalamnya. Riuh asap mengepul memberikan fantasi tersendiri. Tugu yang menjulang memberikan kenangan untuk hari ini.

Jodhipan di bawah jembatan menguluk salam. Kampung biru di seberang sana menyeret pandangan untuk sudi mengunjunginya.

Tiada kertas yang ditemukan, hanya baju dan barang rongsokan, ya namanya saja loakan.

Mana kiranya lembar usang? Menjadi bungkus terasi udang, lombok atau sayuran untuk dijajakan di pasar?

Mana lembaran usang? Apa menjadi abu yang asyik-asyikan bersama api malam? Ke mana gerangan? Sepanjang jalan diam, tiada jawaban.

Udara buku telah muspro sedangkan angin kesejukannya masih dibutuhkan.

Bersama sepatu abu, berpuisi tiap hari tiada henti, bahkan nafas pun. Meski asap-asap para pencerca mengepul dan berkelana mengelilingi puisi.

(2020)

 

 

 

Untuk Waktu yang Menemani Puisi

 

Berkeliling sawah menemukan petani yang susah payah menyemprot hama. Berharap padi tumbuh untuk memenuhi perut-perut kelaparan.

Jasa yang abadi dalam tiap raga. Karena nasi adalah bagian darinya.

Siang kepanasan malam kedinginan. Tak pilih kasih memberinya pada pengemis jalanan bahkan kepada mereka yang berdasi dan berjas hitam.

Untuk waktu yang mengisi ruang, jangan biarkan mereka hilang agar penghidupan tak melayang. Engkau ada, kami makan.

Kepada awan yang menjadi saksi, kami tak sedang mendikte hujan namun kiranya ia turun untuk mengairi sawah yang kering kerontang.

(2020)

2 Comments

  1. Anonymous

    1.5

  2. Anonymous

    1

Tuliskan komentar