Menu

Si Anak Gunung | Puisi-Puisi Topik Ismanto

 

Si Anak Gunung

 

Nenek moyangnya seorang petani
Gemar menanam setiap pagi
Berteduh caping di lereng gunung berapi
Tiada letih pulang pergi setiap hari
***
Angin berhembus dengan kencangnya, rimbun pohon melagukan nada
Ia berterima kasih kepada Sang Maha,
Di lereng gunung ia ditampung, ke desa pertiwi ia pulang kampung
Kepada-Nyalah ia bersenandung.

(2020)

 

 

 

Tukang Pemahat Batu

 

Pernah kucari engkau dalam kerikil bebatuan menumpuk
Kupungut satu-persatu dengan bijak yang terasa pada telapak
Aku sempat berdiskusi dengan batu-batu
Yang mengatakan kau tak pernah bersembunyi dariku

Analogiku bersikeras kepadanya,
Hingga terik matahari meluluhkan tenaga
Hingga gelap petang pun tiba-tiba datang
Memanggilku untuk pulang

Kerikil itu, batu itu
Membengkak padat kugendong dalam karung
Akan kusimpan rapi batu itu
Agar kutahu betapa berat beban tulang punggung

Betapa engkau terus bersembunyi
Aku tak menyadari, kau berada di angkasa sajak ini
Aku takkan bisa menemukanmu di dunia
Kau telah terbang bagai peri menyusuri kata-kata

Kutagih kebenaran kepada bait-bait ini
Huruf-huruf ini tak ingkar janji
Ia tak menyembunyikanmu
Bahkan kau senantiasa melintas dalam puisi

Kerikil itu, batu itu
Berat itu—membinaku,
Pada esensi seorang tulang punggung
Akan kepergian tulang rusuk—
Entah kapan kau kembali berkunjung.

(2020)

 

 

 

 

 

MALU

 

Malu aku pada diriku,
Kau berikan lima tenggang
dalam keseluruhan hidup,
Untuk diriku, aku datang

Malu aku pada katak yang berbunyi pada tiap malamnya
Pada ayam berkokok, ketika aku hanyut dalam fana kekalutan
Pada air yang membelah batu perlahan-lahan
Juga sirna diriku, dalam ketidakpastian

Malu aku KepadaMu:
Hanya jiwa tenang yang penuh Cinta,
pintaku penuh malu.

(Maret, 2021)

 

 

 

 

 

Sajadah Bergambar Makkah

 

Di atas sajadah panjang
Membentang.
Kerinduan-kerinduan tersekap hampa dan kekosongan ruang
Sementara kasih sayang, membusuk tak tertuang

Di batas kerisauan ayam yang bernyanyi untukku ini malam
Dan pada titik habis cahaya temaram
Membodohiku, pada engkau yang senantiasa sendiri
Untuk mencarimu kini dan nanti.

(2020)

 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]  

 

 

Surakarta

 

Kutemukan kembali, gerah udara yang dibiaskan cahaya
pada tiap-tiap riuh angin bergemuruh,
Juga lembar-lembar daun yang terbang dibawanya

Kutemui bekas renyai gerimis di tanah lembap,
Ketabahan di pucuk cangkul seorang petani, kesabaran di bawah alis para pedagang.
Adat rumah terdahulu dalam setiap atap
Dan hati lapang anak kecil bermain layang-layang

Aku menemukan di Surakarta luruh kenangan menyeluruh
di dalam kelopak mata memancar gelora tahun-tahun berlalu
Aku mengaku
Memang, tiada tempat pulang terbaik, selain Surakarta

(2021)

 

 

 

 

 

Sore di Yogyakarta

 

Di bawah matahari menyiasati sinarnya
Langit serupa putih kanvas kehilangan kuas
Menyatu-menyebar betapa samar;
antara kesenangan dan kebahagiaan

Di lembar kain goresan seorang seniman,
Dalam garis tinta, ditenun warna-warna
antara hitam dan putih
antara cinta dan kasih

(6 Juni 2021)

No Responses

Tuliskan komentar