Menu

Puisi – Puisi Paavo Haavikko | Terjemahan Eka Ugi Sutikno

Puisi – Puisi Paavo Haavikko | Terjemahan Eka Ugi Sutikno

 

Puisi Pertama

Pada perak berburu,
Sisi demi sisi:
Gambar itu.
Agar mereka berkata padamu . . .

Memuncak-puncak atap,
Untuk menghalau angin dan burung-burung ketika mereka berlalu.
Utara
beranjak pada salju, burung-burung dan rumput
(tak banyak industri di sana).
Sebuah antena
bergaya arab atau telinga,
Menguntai pada angin.

Selamat datang,
Selamat tinggal.
Pohon pohon pohon dan pohon
Lagu ini:

Tak ada waktu, tak ada waktu untuk menengok kehijauan sebelum ledakannya terbuka.
Lagi-lagi kala semi,
Burung itu mencoba untuk bernyanyi, tapi suaranya membingungkan,
Membingungkan:
Tanpa harap,
Rumput.
Dan di sana terdapat rumah,
Dan di dalamnya, laki-laki, perempuan, anak kecil dan perempuan tua.
Sembilan lubang
dalam jiwa.
Sumbatan cerobong asa, berputar.
Tiga warna:
Hijau, hitam dan abu-abu.
Cairnya salju, semak-semak pohon willow,
Dan buah kemiri:
Di sinilah ia tumbuh dengan setinggi pohon.

Lagi-lagi kala semi.
Di sepanjang pekan wanita itu bernapas akannya,
Lalu benda itu berteriak:
Aku lahir!
Aku perempuan!
Dan aku akan bepergian sendiri dan bermain di depan rumah.

Burung-burung kayu: paruh mereka menunjuk angkasa.
Musim semi.
Yang dapat aku katakan di sini, Musim Semi dan Gugur, dinding menumpahkan
plesternya,
Salju, rumput dan burung-burung pergi ke Utara
Atau datang dari Utara dan melalui kami.

Awan-awan menyerpih angkasa.
Matahari gundul ―
Tak seorang pun yang berkata demikian.

Dan telah aku katakan padamu,
Pohon-pohon dan ranting-rantingnya ―
Di sini pohon-pohon willow itu merupa semak ―
Buah kemiri, sebuah pohon?

Stasiun peron:
Seperti bunga.
Terus berjalan, ia saling bergantung
Pada kakimu.
Di kiri kaki berada kaki, atau, pada gilirannya,
Di kanan.
Di sana juga ada kepulan,
Yang menjangkau langit-langit sampai lantai
Seperti tali tebal . . .
Di kota putih ini,
Yang dikarang para perancang
Dengan tangan tegak lurus mereka.

Mungkin ini waktunya
Untuk percakapan?
Kenapa tidak?
Sebagai berikut:

Dan musim dingin mendekat baju besi mobil,
Bertempat dan bertinggal sebentar dan pergi.
Jalan ini di mana salju, burung-burung dan rumput
melintas,
Musim dingin meninggalkan sepatu bot karetnya di belakang
Dan melaju
Ke utara.

Apakah ini ― seseorang
Yang melintas Pegunungan Tinggi?

Bukan, ini bukan Hannibal.

Apakah mungkin ini sebuah gajah?

Bukan, ini adalah mobil.

Tapi di mana
Keberadaan
Hannibal?

Tidak, ia sedang berpelesir ke luar negeri.

Rebut dan genggamlah topimu
―kedua tanganmu, jika kau mau.
Angin membawa burung-burung,
Laut bertambah besar
Dan hutan, gundul.

Lalu, dengan singkat:
Di sisi purba (1754-1762) telah diketahui sebagai
Mahligai Musim Dingin.
Maka segala,
Lantai, langit-langit, dinding-dinding
Dilindungi dengan keagungan yang menjadi:
Venus, Jupiter, dan banyak wanita
Yang seluruh tubuhnya telah menuai.
Kau masih dapat melihat bagaimana banyaknya orang
Kehilangan kepala dan topi
Di sisi Sungai Berezhina,
Kau dapat melihat bahwa Borodino
Merupakan kemenangan;

Seperti
Yang tengah aku bicarakan, di sini,
Di bawah atap
Yang menjerami rambutku.

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]

 

Puisi Kedua

Aku memintanya,
Seekor burung
Yang identik denganku,
Aku memintanya jalan, lalu ia berkata:
Sebaiknya segera pergi,
Secepat koran pagi
Tiba-tiba keluar dari malam, seperti dedaunan . . .

Ketika koran sampai, aku melipatnya,
Tidak untuk membacanya,
Memulai
Untuk menyeberangi alun-alun.
Tentu, aku cenderung untuk melebih-lebihkan;
Tapi kemudian, dalam benakku,
Jemari menjadi sebesar
Kura-kura . . .
Lantas aku meneruskan
Pada orang ini yang bernama Rasa Takur,
Memiliki gaya CD,
Dengan memori 0, atau kurang.

Kala itu aku sebesar batang korek api, dan aku menyalakan koran
Agar dapat melihat tembusnya hujan.
Kala itu hujan dan hujan,
Di sanalah aku, gemetar takut,
Membentur korek, dan lagi-lagi, akhirnya benda itu tertangkap api
Dan asap mengarus ―

Seperti batuk yang parah!
Seperti orang yang bernapas
Mengikuti burung-burung
Dan denting,
Dentingan botol

Dan botol itu,
Yang terkira, sebuah keagungan yang menjadi ―
Aku hampir berteriak,
Di sebuah botol!
Yang menjadi itu aku ingin bertemu,
Di dalam botol.

Itu adalah Rasa Takut,
Aku berteriak dan ia terbakar,
Jika saja ia mendengarnya, yang terbakar itu,
Jika saja tersimpan, mereka membakarnya,
Itu adalah api yang genting,
Menyebar dari garis ke garis.

Dan botol itu dibungkus koran
Seperti pohon apel di musim gugur.
Dan ia merangkak keluar botol.
Itu adalah perjalanan yang tidak biasa.

Dan ini adalah perempuan itu, ia melompati bebatuan,
Dari garis ke garis,
Semuanya berada di atas api, setinggi lima puluh baris
Dari sini,
Di sanalah ia, terikat lama, dan aku memintanya:

O yang menjadi, yang agung, rubah terbang, aku memintamu, katakan padaku:
Di mana bagian yang tak bertempat?

Lantas perempuan itu menjawab,
Tak ada tempat.
Aku adalah mawar,
Aku tumbuh besar, sontak dunia menertawaiku,
Dan malu bersamanya
Membuatku menangis!
Aku ingin menjadi kosong kembali!
Aku! Menggugurkan diri!
Oh, dunia yang kutinggalkan,
Di sini tak ada yang mengenalku!

Dan itulah semua
Kata yang kita miliki.

Itulah perjalanan jauh yang melintasi bebatuan
Dari tepi pantai langit.

 

 

 

Puisi Ketiga

Aku datang menembus hutan dan melalui musim Mahligai
Dingin,
Yang dibuat pada tahun 1754-1762
Aku membiarkannya menjadi masyhur keluar dari botol dan perempuan itu
Tamat sudah! Hampa! Gagal!
Aku berada di jalan menuju daerah tak bertempat,
Dengar, kau yang gemar memanjat monumen,
Turis, dengar, mungkin kau tidak mengetahui betul
Aku benar-benar sukar mendapatkan bayaranku lagi, menulis sajak-sajak ini, di
arahku
Menuju daerah tak bertempat.

Aku pikir di sana akan ada lembah kecil di kayu-kayu yang tak tertebang,
Sebuah lubang, dilingkari oleh pucuk pepohonan,
Di mana aku menggantung, di lubang itu, dengan kepala di bawah,
Dan ini langit,
Dan ini aku, yang tak menghiraukan debat,
Yang tak ingin kembali, yang tak ingin dikembalikan.

Napas kuhembuskan dan tertinggal di sini,
Tidak untuk memanjakan daerah itu
Dengan sorak-sorai.

Tapi lalu aku harus meminjamnya kembali, untuk mengatakan selamat tinggal,
Dan aku mencurinya, dan inilah aku, kini, membawanya
Menuju daerah tak bertempat,
Jauh
Dari puisi ini.

 

 

 

Puisi Keempat

Sajak ini ingin menjadi latar,
Dan aku menginginkan sajak-sajak ini hanya
Memiliki kesamaran rasa.
Tampaklah aku sebagai makhluk, yang penuh harap
Seperti rumput.
Garis-garis ini hampir mustahil,
Perjalanan panjang ini menembus pidato yang akrab
Menuju daerah tak bertempat,
Sajak ini harus didendangkan, berdiri,
Atau dibaca tanpa suara, sendiri.

Apalagi yang telah aku katakan.
Aku katakan bahwa setiap hal sudah diletakan di luar,
Dan aku berada di sini.
Aku menggantung dari pepohonan seperti burung-burun di pepohonan.
Semua pintu terkunci
Untuk dibuka.

Hari dan malam berlalu, aku membubuhkannya
Tanpa acuh, tak membaca,
Seperti koran
Atau dokumen tak berguna lainnya.
Ketika tidur tetap terjaga, aku tidur,
Dan dalam tidurku aku berkata: L

Hutan ini tebal,
Dipenuhi dengan pohon yang kurus kering, dan mereka takut:
Di sini, di hutan ini, suasa menjadi tetes keringat,
Inilah daerah di mana pepohonannya merintis, di sini
Pohon buta lupa bahwa ini dapat terlihat.

Di sekitar lembah, dan semuanya sesuai,
Hutan meletup menjadi bunga untuk membuatku bingung;
Haruskah aku membandingkan diriku pada orang yang belum lahir
Yang terhempas dari keberuntungan,
Yang tertelah oleh daging yang elastis dan lembut
Dan di setiap incinya, jalang . . .

Aku tak tahu rupanya seperti
Apa

Aku ingin jatuh pada sunyi,
Untuk memakan kata-kata dan perubahan,
Dipaksa untuk berubah, seperti ketika aku dipaksa untuk lahir.

Dengan sejauh ini aku datang: rumah berada di tengah-tengah,
Aku mendekati meja, untuk menggenggam pena, dan jatuh, pada
selembar kertas,
Bagian yang menjorok utara, tapi pikiranku belukar,
Sajak ini aku tulis, di musim gugur, di malam hari, sendiri
Dan bukankan aku begitu?
Tak ada yang keluar dari kelaziman, di sini,
Di sini? meski itu di sini:
Seseorang yang ingin pergi jauh memiliki alasan untuk menjadi bahagia
di sini
Terlampau cepat.
Di sajak ini aku merupa imaji,
Dipenuhi pikiran,
Tidak ingin mengetahui mengapa buah tidak memiliki daun,
Aku bertanya pada diriku yang tak abai pada benda-benda ini, pikiran ini
Terhempas ke dalam neraca, mengambang di udara, kapal bundar,
Tanpa gesa, berlari di belakang angin.

Aku datang menembus hutan,
Beranjak dari garis ke garis.
Sesegera kau lahir
Mereka membiarkanmu mengintai bintang; apakah mereka di sana.
Yang tak terpuaskan ini menjadi tamak dalam diriku,
Tiba-tiba berubah menjadi kesedihan.
Hujan, turun,
Dan apa yang dimaksud
Dengan puisi?

Aku ingin berujar padamu:
Sebuah rumah kecil, sempit, tinggi, dan sebuah ruang
Di mana aku menuliskan ini.
Berlebihan.
Masih saja, aku membayangkan semuanya terjadi,
Dan siapa yang tak sunyi
Dan siapa yang tidak di dunia ini?

Aku ingin  menjadi
Sunyi pada semua
Yang menjadikanku berdiri ketika pidato.
Aku ingin kembali
Ke tempat asalku.

 

 

 

Puisi Kelima

Si anak cantik itu duduk bermain di pasir
Dengan torehan tangan:

Siapa? Dari mana? Kemana?

Jawabku,

Anak cantik, katakan padaku,

Yang menyelaku:

Aku merupa dua anak, yang berdampingan,

Aku ingin tahu:

O anak cantik siapa yang menjadikannya mudah berbicara,
katakan padaku, di manakah rumput tumbuh,
di manakah bunga rumput itu,
angin dan napas angin,
stoberi, daun rumput, mawar?

Lagi-lagi, ini rusak:

Aku tidak sendiri,
aku dipenuhi perlawanan,
aku membicarakan banyak hal, aku anak laki-laki dan perempuan,
satu dan dua,
dan kau, apakah kau malam atau hari?

Kataku:

Aku adalah perampok miskin, seorang pelanggan produktif
sedang mencari tenaga yang kerja jujur,
aku ingin kembali ke tempat kelahiranku,
baik/atau maupun dan/atau
sehelai papan di luar dinding baik secara
horisontal dan vertikal maupun/atau bukan,
aku ingin diam di sana.

Bersorak:

Tapi pertama kau harus menenangkan angin,
angin yang berjalan, pohon angin yang tumbuh padat!

Dan aku:

O sintaks, yang hanya memiliki beberapa pengecualian.
Kau, kepintaran tulus busuk,
Kau kuasai.

Ingin tahu:

Mengapa kau memuji bahasa dengan cara seperti itu?

Aku ingin mengajarkan puisi ini sebuah pelajaran, kataku,
aku tidak bisa luput,
napas ini telah menumbuhi pepohonan . . .
dari sanalah aku berasal, aku mengambil jalan dengan menembus hutan,
tapi oh, angin ribut cuaca,
musim gugur . . .

Lalu anak itu berkata:

Tapi, jika saja terdapat jalan
mengapa tidak kau coba untuk bebas saja,
dengan berjalan menembus malam dan mencari seseorang
yang sesuai,
dengan napas tak berpenghuni?

 

 

 

 

Paavo Haavikko (1931-2008) adalah seorang penyair dan dramawan Finlandia. Ia pernah mendapatkan penghargaan Neustadt International Prize di bidang sastra. Beberapa puisi di atas dialihbahasakan oleh Eka Ugi Sutikno dari buku versi Inggris Anselm Hollo dan Robin Fulton yang berjudul Paavo Haaviko and Tomas Tranströmer Selected Poems (Penguin Books, 1974).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuliskan komentar