Akulah Udang di Balik Batu
namamu A, apa pun kelanjutannya, siapa pun kau,
sajakmu telah bergayut kisah Adam dan Hawa, Iblis dan Curiga,
Cinta dan Celaka, Ular dan Raga. bersijatuh, bersitumbuh,
bersiaduh, di kepalaku yang diciprati pecahan batu-batu sajakmu.
aku tahu, aku jatuh cinta padamu sejak di pesantren, saat sarung kotak-kotak berarti mengajak pada doa yang kubus paling rahasia.
namamu L, lidah pendek yang merengkuh kecup waktu.
ini tentang Paz, Eco, Afrizal, Murtono, dan entah siapa lagi
yang kita sisipkan pada percakapan lemari buku.
tentang esai-esai yang baku, sajak yang beku, perasaan yang lucu
dalam diskusi kita yang batu. yang batu? kau pertanyakan itu,
ya aku mencintai batu-batu yang kau simpan di selangka ayah dan ibu.
namamu I, ahai, ular celaka bersembunyi di balik batu-batu purba,
di pura-pura yang dibangun oleh perasaan sepi. perasaan sepi tanpa bunga-bunga,
pemandian, ikan jadi-jadian, juga tatapan mata kita yang buta
karena tersandung batu iman. kau mengatakan apa? pertanyaanmu jatuh
ke jidatku, serbuan bingung mengecup dua tiga kerut, sebentar entah siapa
di antara kita yang kentut.
benarkah ini puisi paling puas bicara batu, Adam Hawa dan napsu?
atau kehendak Afrizal yang mendesak, akal Eco yang tinggal,
Murtono yang janggal mengopi naskah kuno, Paz yang gampang lepas
dari cadas pikirmu. atau kau benar-benar mencintai aku yang sembrono?
tanyamu.
sesincai-sincainya pengakuanku; akulah udang di balik batu.
Kubang Raya, 22 Agustus 2021
Sheik Nefzaoui*
Ia duduk telanjang
di tepi ranjang
matanya transparan
transen ke tubuh Tuhan
siapa yang mampu memanusiakan Tuhan?
Kubang Raya, 10 Desember 2020
*Penulis Taman Harum
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]
Di Negeri yang Jauh
– bagi Dewi Amalia S
di negeri yang jauh dari ruh dan tubuh, hidup beribu orang
di atas pohon condong, mereka pribadi yang egois,
tak pernah belajar peduli sesama. jika mereka baik, itu tak lebih
penghapus kebaikan yang sebelumnya telah diberi.
di negeri yang jauh, yang isinya adalah jutaan wanita
dengan wajah persis kamu, orang-orang berebut wajah,
berebut hati, dan berebut mata, agar mereka dicap orang-orang asik, apik.
di negeri jauh, sebatang kesadaran tumbuh; akarnya kesabaran,
dahannya ikhtiar, daunnya hijau perjuangan. siang malam
orang-orang memimpikan segala yang baik di bumi.
di negeri yang jauh, ambisi dan kesepian bersiaduh, bersikukuh,
bersijatuh ke hampar tubuh seseorang. dari wajah dan identitasnya kamu,
tapi saat kutanya ayah dan ibumu, mereka bahkan tidak mengenalmu.
O, kuingat,
ini negeri yang jauh, negeri tanpa tubuh dan pikiran utuh.
uh…uh…uh, kubaca mantra; aku pun terjaga.
Kubang Raya, 15 Agustus 2021
Asrina Novianti
An, tolong berhenti memuja lorong lelaki,
pipa kecil dengan kepala pipih mengucur pipis
asing doamu kian pesing. bangkai lelaki di dekat lorong itu
belum dikunjungi sebutir lalat pun
lalat yang hinggap di luka lututmu karena sujud di gelap
dan panjang takut. demi rambut gugur, lorong lelaki
di kepalamu jadi makam tanpa kubur.
Kubang Raya, 14 Desember 2020
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]
Adimanusia
kepada Elje Story
El, cerita perempuan-perempuan bandel,
menempel pada telinga pendosa, yang mengaku perjaka
pada setiap tanya.
kelam kelamin, bejelintin, netes dari ingin ke ingin,
angan ke angan, ke puncak busuk awan, turun hujan berbulan-bulan,
di mata perempuan rahasia.
lahirlah anak aib, dalam galib, tak bisa diraib.
sebab kematian adalah nasib.
Tuhan bekerja dengan tangan kanan.
merawat sia-sia yang disia-siakan.
sejarah kehidupan disulap, bumi rata dengan lelap.
dari gunung Si Buntung, turun lelaki agung, lelaki dari laku liku luka.
di tangan kirinya ada neraka, di kanannya ada sekotak iman, yang akan
ia bagi-bagikan, begitu orang-orang terjaga dan kehausan dan minta setetes
agama.
Kubang Raya, 8 September 2021
5