Jarak
Ruang tak lagi syahdu
Ataupun membiru
Dia memerah layaknya jingga
Membakar awan dan angkasa
Ruang tak lagi syahdu
Tetapi gempita oleh ratap lirih pecinta yang terpenjara rasa
Pun, angin tak mampu bergemuruh layaknya badai yang perkasa
Kisah dan jarak
Hanyalah sebuah khayalan pecinta buta
Kisah dan jarak
Hanyalah sebuah romansa bodoh dalam asa hampa
Kasih,
Kita hanyalah dua orang asing
Yang mabuk oleh mantra cinta
Lalu jarak kita persoalkan
Dan kisah kita uraikan
Dalam sebuah dongeng kematian
Jingga menyapa,
Menggariskan rasa
Memisahkan ruang
Dan menjadikan jarak sebagai kematian romansa
Mati, mati, mati!
Kisah pun mati dalam ruang hampa di antara jarak yang terbentang
Lalu, ruang tak lagi hampa
Ruang kini dipenuhi nyanyian riang tentang kematian
Ya, kematian romansa kita!
Cinere, 3 Oktober 2019
__________
Namaku Kartinah
Namaku Kartinah, lahir di dusun kecil di pinggir pantai.
Nafasku deburan ombak dan angin laut. Aku selalu bermuka-muka dengan gelombang
Batinku karang langkahku laut pasang.
Tapi aku bukan serpihan buih yang membuncah dan sekali pandang hilang.
Aku pun bukan puting beliung mengoyak nyiur miring.
Aku Kartinah, lahir di dusun kecil di pinggir pantai.
Tangis riak ombak dan peluhku seasin air laut
Namaku Kartinah, perempuan dusun, hari-hariku bergelut melawan deras arus
Ayah menjadikanku seperti ikan yang selalu membawaku ke pangkalan
Menjadi rebutan pehaus fetus
Aku Kartinah, riak ombak yang tak pernah kuasa saat tiba angin sakal
Memintal gelombang. Aku sampan oleng yang terhempas
Saat pelaut naik dan menjadikan tubuhku pemuas nafsu buas.
Namaku Kartinah, yang tak pernah kuasa menolak kehendak palung naluriku.
*Diambil dari salah satu Puisi dari Buku Antologi Puisi Lentera
__________
Dalam Sepi
Kepada hujan yang basahi pelataran sunyiku
Kukuyupkan angkuhku hingga luluh terengkuh sepi
Kepada mata senja kurahasiakan luka lungkrah
Letih tubuh agar riap bintang
Terus mengembang dan senyumku mekar
Kepada lampu-lampu yang merebut rahasia kebahagianku
Kubiarkan kesunyianku menjelma neon-neon
Agar terang jalanku tak berujung malang
Dan kepada matahari yang tak pernah ingkar janji pada bumi
Kupanggang-panggang sunyi hatiku
Sepi jiwaku agar angkuh dan kesombonganku terbakar
Luluh berserpih, jadilah abu!
Di antara akordia yang melayu
Kudendangkan dingin jiwaku
Hingga keangkuhan ini basah
Dan meleleh di riak jiwa yang melulu berkeluh
*Diambil dari salah satu Puisi dari Buku Antologi Puisi Lentera
__________
Krismarliyanti adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara yang lahir pada tanggal 7 maret 1981 di Rangkasbitung, Banten. Menginjak usia satu tahun, ia beserta keluarga tinggal di Sukabumi, Jawa Barat. Masa kecil hingga remaja pun dihabiskannya disana.
Memasuki usia dewasa, penulis pun memutuskan untuk kuliah di jurusan sastra Inggris, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Di kota inilah ia mulai mengenal dunia sastra dan juga seni teater lebih jauh.
Tahun 2006 ketika gempa besar menimpa Yogyakarta, Krismarliyanti berpindah ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan swasta. Kerinduan tentang dunia sastra dan seni terus menghantuinya, hingga akhirnya ketika ia menyelesaikan gelar magister pendidikan di Universitas Pelita harapan, menjadi penulis pun merupakan pilihannya.
Pada tahun 2007, salah satu karya puisinya dimuat di buku Medan Puisi, antologi puisi Sempena the 1st International poetry Gathering yang diadakan di Medan. Pada tahun 2016 buku kumpulan puisinya yang berjudul Poetry Anthology Lentera, telah terbit. Beberapa dari puisi dan cerpennya juga telah dimuat di harian lokal dan antologi bersama.
Dengan dukungan penuh dari suaminya, Ia pun tidak hanya menekuni dunia menulis. Seni rupa mulai dirambahnya sejak tiga tahun yang lalu. Hasil karyanya telah dijadikan sebagai cover dan ilustrasi di buku antologi pertamanya.