Menu

Puisi-Puisi Hamzah Jamaludin

Berkelindan

 

Aku serahkan tubuh dan mimpiku di kota rantau, saat malam pekat, hilir angin menusuk sendi-sendi tulang, di atas iringan doa yang senantiasa terpanjat, kaki-kaki kecil menampakkan jejaknya, ranting-ranting patah, gugur berdansa, seperti rumus berkurang.

Di antara cinta tanpa henti dari lingkungan yang terus tumbuh

Membawa jiwa dan pikiranku tumbuh di perantauan kelak.

tenggelam dalam belantara kerinduan, memahat yang hilang ditelan kedustaan janggal

Detik bersuara, tanpa kuasa, sang fajar menyingsing esok hari

Menemani rimbunan rindu yang membunuh, agar rasa cemas lekas memberi ampun.

Tubuh yang kau isi catatan, pikiran kalut memberi rasa sakit, melemparkan jiwa kedalaman.

Hari ini dan seterusnya mimpiku masih sama, di tanah perantau jauh dengan pelukan, sepi menyelinap di lorong-lorong malam, meniadakan dahaga di antara luasnya hasrat.

 

 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big”] Baca puisi-puisi lainnya di sini[/button]

 

 

Memori

 

Kau berkelindan, di buku-buku yang tertata, di beberapa cerita,  di dalam benak kepala tertanam.

menghitung guguran rasa

jarak menyimpan dahaga di antara ilalang, 

hijau daun membawa tanya kembali. 

kau dan aku sibuk mengembara di tempat yang sama dulu.

pertemuan hanya memalingkan dusta. 

Entah siapa dari kita yang hendak memaki, menyesali atau bahkan membunuh rindunya 

yang ku tahu kita hanya anak-anak yang senang bermain dadu.

Meski musim berganti, kenangan demi kenangan menyimpan kekosongan tidak berarti.

Jarak terkubur, namamu terbawa selalu di telapak tangan.

 

 

 

 

 

 

Aku

 

Aku mencari tapi tak menemukan

Aku minum segelas anggur menjadi hambar

Aku menulis dalam kepasungan pikiran

Aku kalah dari amarah yang menghancurkan

 

Aku lalui setiap jalan yang bercermin

Dari pertanyaan orang-orang apa dan mengapa?

Atas perjalanan panjang hari-hari membekas

Kemegahan nestapa larut di dalamnya

 

bara dendam memuntahkan segala pikiran

berduyun-duyun berjalan, tertatih sakit, menjarah sampai tulang sumsum 

kota-kota hidup dalam cengkraman

Tapi takdir membuai terlena

 

Aku berlari

Hingga batas itu bertumpu pada titik jurang yang dangkal

Merana, dipasungnya aku di tiang-tiang salib bersama angan 

Terhimpit tak terberi kasih

 

 

 

 

 

 

Pengembara

Hatiku masih terus berkelana

Mengetuk setiap tempat-tempat yang samar tak terlintas di kepalaku

Aku masih terus memacu, dalam setiap waktu yang menuju

Kutempuh pengembaraan yang jauh meski ketakutan.

Setiap lagu-lagu didendangkan,

syairnya-syairnya mengingatkan pada masa lampau.

Dalam kegelapan yang pekat kau sempat memanggil-manggil.

Kau sendiri setia menunggu di depan pintu yang tak berjendela.

Rumah yang terawat sekarang usang tak bertuan.

Aku tak pernah tahu, kapan aku pulang

Selepas larut malam pikiranku merebah

Bahwa kau begitu tabah dalam menunggu pulang.

No Responses

Tuliskan komentar