Menu

Puisi-Puisi Hadi Prawira

Teruntuk puan yang disana

 

Hari ini aku kembali turun kejalan

Tidak banyak yang ku tuntut

Hanya sekedar mengingatkan para birokrat yang sedang berleha-leha

 

Aku tau puan tidak suka akan hal ini

Tapi aku jauh lebih tidak suka kalau diam diatas empuknya kasur

Yang mungkin saja iler pun terasa nikmat jika di minum

 

Puan, 

Anggap hari ini kita berada di dimensi yang berbeda

Saat puan sedang melatih pikiran untuk sebuah kontes debat atau mungkin kontes baca puisi

Sedangkan aku memilih untuk keluar kampus agar puan dapat memperoleh pendidikan yang layak

Hingga nanti anak cucu kita juga merasakan hal sama seperti puan rasakan

 

Puan, 

Kau tak percaya pada cintaku? 

Padahal, Karena cintaku ini.. 

Aku tidak takut bila kulit hitam lebam terbakar terik mentari

Ataupun ditangkap aparat yang coba membungkam suaraku

 

Tapi puan, aku takut jika aku dan kamu tidak bisa ke pelaminan

Hanya karena kasus korupsi buku nikah atau kebijakan pemerintah yang akhirnya memisahkan kita

________

Sedang Cipta Puisi

 

Pekikan takbir menggema di sudut-sudut kota

Lonceng-lonceng gereja saling memberi kabar gembira

Adinda yang dulu tegar justru gugup dalam berbicara

Akankah kakanda justru terdiam saja?

 

Hak prerogatif berubah jadi egosentris semata

Saat si tunawicara justru dihinakan di depan mata

 

Widji Thukul pernah menuliskan bunga dan tembok jadi senjata

Maka syairku ku ini jadi pedang nya

 

Si anak Lanang dianggap cicit sang raja

Merobek tatanan kebhinekaan yang ada

Garuda hanya simbol belaka 

yang mungkin sebentar lagi akan jadi hiasan di dinding perkantoran saja

Maka, tinggallah omong kosong yang ada

 

Tuan mendadak jadi Tuhan

Merusak toleransi hanya untuk satu golongan saja

Bedebah, ucapku pada tuan yang menuhankan dirinya.. Maaf, jika suara dibungkam, bunga pun turut layu bahkan tembok  di robohkan

Maka dengan puisi aku melawan

Namun, jika puisiku terpenjara kan maka itu akibat undang-undang yang saling berbenturan

 

Aku hanya penyair bukan untuk di tawan

Namun siap untuk diasingkan 

 

 

 

_________

Aku Kira

 

Aku kira laut hanya berwarna biru

Sama seperti kamu menatap aku

Aku kira malam selalu disinari rembulan

Seperti saat itu, kamu melempar rona senyuman

 

Aku coba mengira

Sambil berfikir sejenak tentangmu

Sambil berimajinasi, apa jadinya kita 

Bersama atau akhirnya selamanya-lamanya berdua

 

Senyum yang menawan, paras yang rupawan

Kau tetap terbayang, dan aku ambil ancang-ancang

 

Selaksa, 

Apa yang kukira, benar-benar tidak seperti perkiraan

Kau datang dengan cincin tunangan, berbusana kemewahan

 

Aku kira, semua yang kukira, akan kau kira juga

Dan ini diluar dari perkiraan yang sempat ku kira

________
Setangguh Siti Khadijah

 

Anggun paras sang sayyidati

Ramah bertutur, salam beribu salam terucap dari bibir

 

Kau kah itu Khadijah? 

Perempuan yang memegang senjata, yang ahli dalam setiap situasi

Sosok ibu dari umat Rasulullah, yang pemaaf dan tak pendendam

Walau dikau harus meregang nyawa di saat lapar kerontang

 

Kau wanita istimewa

Namamu yang melampaui wewangian kasturi, Gardenia pun nggak ada apanya

 

 

__________

Senyap, Karena Corona! 

 

Ada yang berbeda dan tak seperti biasa

Padi yang biasanya dituai bersama, berubah jadi hutan nan rimba

Bunyi hingar disuatu kota, diam mengalahkan suara gemercik ria

 

Satu persatu mengurung diri dari keramaian.. 

Pintu-pintu tertutup rapat, kaca terhalang gorden pembatas

Semua panik, dan saling sinis terhadap yang asing

Aku, kamu, atau kita akhirnya berjarak meringsing

 

Agaknya aku masih belum paham, siapa yang disebut Mahkota

Raja barukah? Atau Ratu yang bengis berganti tampuk kuasa

 

Aku yang malang, aku yang kenyang dari kebisingan

Berebut sebutir nasi di setiap lorong-lorong yang kosong

Miskin jiwa, miskin raga bahkan miskin informasi

Aku Cuma bisa menerima legitimasi

 

“Corona? Apa itu? Sejahat dan secalak itu kah dia?”

Gumam ku yang berang, karena itu penyebab ini semua

 

Bak tentara yang sedang melaksanakan operasi senyap

Banyak dari penunggang kuda akhirnya jatuh tersungkur

Dan mereka yang tak punya senjata, cemas secemas-cemasnya

Siapa yang kena ia, menggigil tubuhnya, hingga mati raganya

 

“Corona! , tapi aku nggak tau apa tujuanmu? “

Kembali pada bentuk semula, aku yang terlahir bertegur sapa

Ingin hidup seperti semula… 

 

 

 

 

 

_________

Kita Yang Pernah Terlihat Baik

 

Seperti Anyelir nan mentereng.. 

 

Tak ada kisah yang bisa digambarkan bagaimana kita

Tak ada dedaunan yang sanggup jatuh disaat kita bersama

 

Mungkin, aku hanya satu dari banyak ceritamu

Dan aku hanya tinta yang mencoba menggoreskan mata penanya

Tapi kau itu air, tampak tenang dan ikut pada arusmu saja

Tanpa tau disana ada siapa dan bagaimana.. 

 

Malam itu semakin malam, 

Kau tampak lelah dengan tugas-tugasmu

Tapi aku tetap menunggu disetiap pesan bermaknamu

Sembari ku sandarkan harapan kembali

 

Hei, pagi.. 

Kata ku yang coba kembali mewarnai harimu

Tapi kau justru monoton pada warna biru

Seperti sedang memukul keras, memaksaku tersungkur ke belakang

 

Berbalas untaian, tak beraturan

Padaku, kau memberi sinyal tak mengenakkan

Aku yang semula kokoh di setiap pendirian

Rubuh berkeping, patah sepatah-patahnya… 

 

Lapik yang berhidang harap, lalu bercawan idam

Pupus, tergulung perlahan tanpa bisa komitmen pada keadaan.. 

 

Karena…. 

 

Aku dan kamu… 

Tidak terikat, tidak pula mengikat dan tak pernah jadi kita

Namun kita pernah terlihat baik

 

Tuliskan komentar