Teruntuk puan yang disana
Hari ini aku kembali turun kejalan
Tidak banyak yang ku tuntut
Hanya sekedar mengingatkan para birokrat yang sedang berleha-leha
Aku tau puan tidak suka akan hal ini
Tapi aku jauh lebih tidak suka kalau diam diatas empuknya kasur
Yang mungkin saja iler pun terasa nikmat jika di minum
Puan,
Anggap hari ini kita berada di dimensi yang berbeda
Saat puan sedang melatih pikiran untuk sebuah kontes debat atau mungkin kontes baca puisi
Sedangkan aku memilih untuk keluar kampus agar puan dapat memperoleh pendidikan yang layak
Hingga nanti anak cucu kita juga merasakan hal sama seperti puan rasakan
Puan,
Kau tak percaya pada cintaku?
Padahal, Karena cintaku ini..
Aku tidak takut bila kulit hitam lebam terbakar terik mentari
Ataupun ditangkap aparat yang coba membungkam suaraku
Tapi puan, aku takut jika aku dan kamu tidak bisa ke pelaminan
Hanya karena kasus korupsi buku nikah atau kebijakan pemerintah yang akhirnya memisahkan kita
________
Sedang Cipta Puisi
Pekikan takbir menggema di sudut-sudut kota
Lonceng-lonceng gereja saling memberi kabar gembira
Adinda yang dulu tegar justru gugup dalam berbicara
Akankah kakanda justru terdiam saja?
Hak prerogatif berubah jadi egosentris semata
Saat si tunawicara justru dihinakan di depan mata
Widji Thukul pernah menuliskan bunga dan tembok jadi senjata
Maka syairku ku ini jadi pedang nya
Si anak Lanang dianggap cicit sang raja
Merobek tatanan kebhinekaan yang ada
Garuda hanya simbol belaka
yang mungkin sebentar lagi akan jadi hiasan di dinding perkantoran saja
Maka, tinggallah omong kosong yang ada
Tuan mendadak jadi Tuhan
Merusak toleransi hanya untuk satu golongan saja
Bedebah, ucapku pada tuan yang menuhankan dirinya.. Maaf, jika suara dibungkam, bunga pun turut layu bahkan tembok di robohkan
Maka dengan puisi aku melawan
Namun, jika puisiku terpenjara kan maka itu akibat undang-undang yang saling berbenturan
Aku hanya penyair bukan untuk di tawan
Namun siap untuk diasingkan
_________
Aku Kira
Aku kira laut hanya berwarna biru
Sama seperti kamu menatap aku
Aku kira malam selalu disinari rembulan
Seperti saat itu, kamu melempar rona senyuman
Aku coba mengira
Sambil berfikir sejenak tentangmu
Sambil berimajinasi, apa jadinya kita
Bersama atau akhirnya selamanya-lamanya berdua
Senyum yang menawan, paras yang rupawan
Kau tetap terbayang, dan aku ambil ancang-ancang
Selaksa,
Apa yang kukira, benar-benar tidak seperti perkiraan
Kau datang dengan cincin tunangan, berbusana kemewahan
Aku kira, semua yang kukira, akan kau kira juga
Dan ini diluar dari perkiraan yang sempat ku kira
________
Setangguh Siti Khadijah
Anggun paras sang sayyidati
Ramah bertutur, salam beribu salam terucap dari bibir
Kau kah itu Khadijah?
Perempuan yang memegang senjata, yang ahli dalam setiap situasi
Sosok ibu dari umat Rasulullah, yang pemaaf dan tak pendendam
Walau dikau harus meregang nyawa di saat lapar kerontang
Kau wanita istimewa
Namamu yang melampaui wewangian kasturi, Gardenia pun nggak ada apanya
__________
Senyap, Karena Corona!
Ada yang berbeda dan tak seperti biasa
Padi yang biasanya dituai bersama, berubah jadi hutan nan rimba
Bunyi hingar disuatu kota, diam mengalahkan suara gemercik ria
Satu persatu mengurung diri dari keramaian..
Pintu-pintu tertutup rapat, kaca terhalang gorden pembatas
Semua panik, dan saling sinis terhadap yang asing
Aku, kamu, atau kita akhirnya berjarak meringsing
Agaknya aku masih belum paham, siapa yang disebut Mahkota
Raja barukah? Atau Ratu yang bengis berganti tampuk kuasa
Aku yang malang, aku yang kenyang dari kebisingan
Berebut sebutir nasi di setiap lorong-lorong yang kosong
Miskin jiwa, miskin raga bahkan miskin informasi
Aku Cuma bisa menerima legitimasi
“Corona? Apa itu? Sejahat dan secalak itu kah dia?”
Gumam ku yang berang, karena itu penyebab ini semua
Bak tentara yang sedang melaksanakan operasi senyap
Banyak dari penunggang kuda akhirnya jatuh tersungkur
Dan mereka yang tak punya senjata, cemas secemas-cemasnya
Siapa yang kena ia, menggigil tubuhnya, hingga mati raganya
“Corona! , tapi aku nggak tau apa tujuanmu? “
Kembali pada bentuk semula, aku yang terlahir bertegur sapa
Ingin hidup seperti semula…
_________
Kita Yang Pernah Terlihat Baik
Seperti Anyelir nan mentereng..
Tak ada kisah yang bisa digambarkan bagaimana kita
Tak ada dedaunan yang sanggup jatuh disaat kita bersama
Mungkin, aku hanya satu dari banyak ceritamu
Dan aku hanya tinta yang mencoba menggoreskan mata penanya
Tapi kau itu air, tampak tenang dan ikut pada arusmu saja
Tanpa tau disana ada siapa dan bagaimana..
Malam itu semakin malam,
Kau tampak lelah dengan tugas-tugasmu
Tapi aku tetap menunggu disetiap pesan bermaknamu
Sembari ku sandarkan harapan kembali
Hei, pagi..
Kata ku yang coba kembali mewarnai harimu
Tapi kau justru monoton pada warna biru
Seperti sedang memukul keras, memaksaku tersungkur ke belakang
Berbalas untaian, tak beraturan
Padaku, kau memberi sinyal tak mengenakkan
Aku yang semula kokoh di setiap pendirian
Rubuh berkeping, patah sepatah-patahnya…
Lapik yang berhidang harap, lalu bercawan idam
Pupus, tergulung perlahan tanpa bisa komitmen pada keadaan..
Karena….
Aku dan kamu…
Tidak terikat, tidak pula mengikat dan tak pernah jadi kita
Namun kita pernah terlihat baik