Siti, Rawatlah Sepi Ini
Siti,
Kau mengenalku akrab sebagai kesunyian, setiap labirin
Atau tempat mengerikan lain: kota misalnya, hanya sebatas nyala lilin
Yang letih dan lekas pergi.
Lalu Siti,
Dengan mata itu, kau mengendarai waktu
Melewati depan rumah, menyapa dadaku ramah.
Tentangmu yang paling kuingat, berupa senyum lekat
Lewat bibir lengkung, melantunkan kidung-ulung
Yang berlagu untuk selainku
Kemudian, Siti
Aku gemar jadi puisi
Semisal selainku masuk dalam bilikmu tanpa sapa
Di sini aku memungut perih dalam kata
Agar kelak kesepian ini kau rawat
Saat kau pergi melayat
Pada nisanku yang sarat.
Mata Pena, Juli 2021.
_________
Siti, Mari Kita Minum Sebentar
Mari kita jalan-jalan sebentar
Mampir ke sebuah bar
Meneguk beberapa botol bir
Lalu, akan kukisahkan penderitaan seorang penyair
Dengan puisinya yang tegak
Dan menembus langit cagak.
Tak perlu kau heran, ketika dada itu berdebar
Akibat gerakan-gerakan gencar
Menimbulkan erang panjang:
Suara yang selalu kau bayang.
Tentu, waktu itu kau mabuk
Memberikan separuh perawanmu.
Bisa kau khayalkan, Siti
Kenikmatan penyair sekaligus kesakitannya
Akibat puisi yang tak lagi perjaka
Yang dulu menghamili namamu pada rahim luka.
Lalu sekarang, dengan muka setengah kesedihan
Kaucabut suatu penolakan
Sebab puisiku menerobos perawanmu
Yang setengahnya.
Tunggu Siti
Kita minum dulu, biar kuhitung
Berapa puisi yang kau patahkan diksinya?
Mata Pena, Juli 2021.
__________
Siti, Sediakan Aku Kamar
*
Di kamarku, kesunyian sangat anyir
Puisi tak ubahnya bungkus camilan
Berserakan dilantai
Kehilangan isi bahkan diksi.
Sedang, diriku tak hentinya mengunyah
Diksi itu perlahan, melalui rongga mulut
Lalui dada (tak lebih), lalu jatuh ke perut
Dan esoknya pasti jadi tai.
**
Siti, aku ingin beringsut
Dari kamar kusut ini, dan meninggalkan
Helai-helai kesepian.
Maka, sediakan khusus untukku
Kamar yang sekira ramai
Biar kehidupan mengaliri puisi
Luka pun tak apa!
Mata Pena, Juli 2021.
__________
Siti, Perlu Kuberitahu Engkau
Memang dirimu, Siti
Seperti angin
Senandungkan gigil
Tiada halnya rasa ingin
Peluk ibu di dada anak kecil.
Seperti tanah
Kauterima basah hujan
Agar pohonan tumbuh tabah
Payungi rindu yang berkelindan
Seperti api
Nyala matamu
Terik setiap sunyi
Berbai’at dalam puisi
Seperti air
Kaubawa mataku pergi
Pada tempat bernama hilir
Kendati jeram mengundang mati
Tertabrak bebatu, dikoyak potongan kayu.
Tapi satu yang tak perlu kau tahu
Bila air mata menyatu
Butalah puisiku.
Mata Pena, Juli 2021.
__________
Siti, Semisal Terjadi Nanti
Nanti, jika riak puisi sering melaut, Siti
menjadikan sungai makin hanyut.
Itu artinya kelak ia akan menikahimu
Berbuka-bukaan baju dengan sendirinya
Jatuhkan debar seperti debur ombak tak tentu
Juga derit ranjang yang samar-samar jeritmu.
Sedang, lelaki puisi itu tergesa, tak tentu napas
Mendesak-desak keramaian, timbul dan tenggelam
Sedalam-dalamnya.
Suatu waktu, jika puisi lebih sering gerhana, Siti
Menyusun tangis doa tiap kata
Itu artinya, kelak sesuatu terjadi pada penyair
Mengepal Tuhan dalam dadanya.
Sedang, orang tuamu menghina, sebab
Puisi banyak hilang seni ketuhanannya
Asal comot malaikat surga, mengaku-ngaku
Nabi kata-kata: haramnya manusia mencintai engkau
Selain diriku, umpama. Lalu penyair pulang
Menggadai hidupnya pada luka.
Kelak, jika puisi hanya tinggal judulnya
Tak bisa dibaca apa-apanya, kecuali sepatah judul
Itulah segenapku mencintaimu, Siti
Dengan kehidupan tak berbilang
Serta pangkat tak berlinang.
Namun, betapa malang dadaku berlapang
Seumpama nanti kita menyatu, bagaimana nasibmu
Sebagai istriku, anak dari orang berpunya?
Sedang, dari diriku puisi adalah kekayaan paling harta
Kendati tinggal judul dan tak bisa gemerlapan
Di tiap tubuhmu. Perlu kau tahu
Kementerenganku ada di dalamnya.
Mata Pena, Juli 2021.