Menu

Puisi-Puisi Daffa Randai

 

Tatkala Kita Sudah Saling Mencintai III

 

/1/

tatkala kita sudah saling mencintai,

sekadar untuk membahagiakanmu ─

aku kuasa menjelma siapapun.

seandai Liu Guojiang kepada Xu Chaoqin

atau Tan Bun An kepada Siti Fatimah.

aku bersiap melarikanmu dari restu yang tak sampai

atau bersurat dengan kaisar untuk memintakan emas.

 

/2/

sebab ibarat Fatimah, akulah Tan

yang mencintaimu sejak di jumpa pertama ─

sedang ibarat Xu, akulah Liu yang hanya

akan mati di dekap dan genggam tanganmu.

nyaris tiada yang melampaui kebahagiaan kita, kekasih

terlebih tatkala kita sudah saling mencintai.

 

/3/

untuk menyukakan hatimu, aku bersiap menyulam senyum

atau memahat kata-kata jadi puisi

agar dapat kau bacai di sepanjang pergantian musim.

untuk menandakan setiaku, aku berhasrat memisalkan kau

jadi Xu Chaoqin ─ sedang aku tetaplah Liu,

yang tak sekalipun pernah berpaling.

 

/4/

tatkala kita sudah saling mencintai,

kendati restu tak menyertai atau ujian tiba berganti

bukan lagi perintang untuk kita sama berlari.

baik ke Goa atau Pagoda, kita akan tetap bersama.

menuju Musi atau Jiangjin, boleh sedia kita sanggupi ─

sebab tatkala kita sudah saling mencintai,

hidup dan mati bukan lagi jadi

sesuatu yang pantas untuk ditakuti.

 

/5/

kendati di ujung alur, aku berlaku ibarat Liu,

kaulah Xu bagi hidupku ─ yang senantiasa setia

dan berkenan mendoa di jelang kuhabis usia.

kendati di ujung masa, aku bertakdir seperti Tan,

kaulah Fatimah ─ manusia paling aku cintai

yang turut berhanyut diri tatkala kuraib di badan Musi.

 

2018

 

 

Tatkala Kita Sudah Saling Mencintai II

 

/1/

tatkala kita sudah saling mencintai

ciuman-ciuman yang berasal dari bibirmu

juga bibir secangkir kopi

ialah hal yang paling kunanti setiap pagi

 

sementara kau pergi ke dapur

untuk menyiapkan sarapan

aku ke teras menyaksikan huruf-huruf

yang telanjang di koran renang

 

/2/

di teras rumah, daun-daun berguguran

sementara sepasang burung

kusaksikan sedang khusuk berbalas ciuman

 

ada yang gaib, batinku

bagaimana burung dapat saling melumat pandang

di samping paruhnya yang runcing dan panjang?

 

/3/

saat itu kau masih di dapur

merebus embun dan cahaya

agar seusai mendidih dapat kau sulap jadi sesaji

dalam upacara permandian kita
didihan embun kau yakini

sebagai bentuk penyucian diri

dari hadas cemburu

tatkala kita sedang dipisah jarak dan waktu

 

sedang didihan cahaya kuimani

sebagai bentuk pemurnian diri

atas hadas curiga yang kerap kita tunaikan

dengan atau tanpa sengaja

 

/4/

tatkala kita sudah saling mencintai

pelukan-pelukan yang berasal dari tubuhmu

juga tubuh para rindu

ialah hal yang paling kubutuhkan setiap waktu

 

sementara kau mulai lucuti pakaian

aku bergegas membalutmu dengan rengkuhan

 

/5/

kemudian kita tanggalkan kata-kata

kita biarkan bunyi desahan

saling bersahut dengan tiada henti-hentinya

 

2017

 

 

Tatkala Kita Sudah Saling Mencintai I

 

/1/

tatkala kita sudah saling mencintai

suatu pagi mungkin akan kita jumpai

daun-daun berjatuhan di mata kata-kata

 

ditingkapnya sajak pada surat kabar

yang mengabarkan kau dan aku

yang sedang berpacu dalam rindu

di mata ruang yang satu

 

  /2/

daun-daun yang jatuh, katamu

rindu-rindu yang luruh, sahutku

 

betapa kita saling bermanja

menyaksikan bias cahaya yang dengan tergesa-gesa

melucuti sisa pagi yang kita punya

 

pagi kita sudah habis, katamu

tapi rindu kita? sama sekali belum!

 

/3/

kemudian kita  saling bergegas

menyudahi ciuman-ciuman yang sejak semalam

belum juga kita redakan
di samping kau kenakan ulang

huruf-hurufmu yang telanjang

aku terdiam menutup mata

sambil meninggalkan kau sendirian

 

/4/

tatkala kita sudah saling mencintai

suatu masa mungkin akan kita jumpai

bunga-bunga bermekaran di taman kata-kata kita

 

diharumkannya sajak pada surat kabar

yang mengabarkan kau dan aku

yang sedang berpacu dalam cinta

dengan kadar kecintaan yang tiada bandingnya

 

/5/

sudah sejak kapan kita saling mencintai? tanyamu

sejak jauh sebelum kau ada! jawabku

 

kemudian kita  saling bertanya

menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya

sama sekali tak perlu kita tanyakan

 

2017

 

 

Catatan: di Sebuah Angkringan

 

/1/

petang seusai gerimis, kita berjalan menyisir rusuk kenangan.

menuju Batikan menuju teduhan menuju angkringan

tempat segala kegelisahan dimulai.

sepanjang tepian, mata lampu tampak memata-matai mata kita

sedang kita terlampau abai dengan situasi sekitar.

“boleh kupinjam matamu, sekadar untuk tahu

selentik apa bulu cemburu?”

 

/2/

setibanya di angkringan, kita lekas saling memesan.

pada penjual yang menyaji bermacam rayuan ─

secangkir kopi, katamu

dengan takaran yang pas: sedikit curiga, perbanyak rindunya.

satu lagi, Mas. secangkir ciuman dengan lumatan yang khas:

sedikit cumbuan, perhalus ritmenya.

sejak mata lampu mengerjap, kita tuntas saling mendekap.

/3/

di angkringan aku menyaksi

dari bibir secangkir kopi, rindu mengepul hati-hati.

dari bibirmu yang dingin, desir darahku meninggi.

“dingin semacam inikah yang sejak lama kau idam-idamkan?”

suatu alasan agar jari-jemarimu leluasa

menari di sekujur tubuhku yang basah ─ suatu peluang

agar kau leluasa menuntunku menuju malam paling desah?

 

/4/

di trotoar, gugur daun melagui kesenduan

bersama itu sehelai bayang luruh di sirip ingatan.

beri aku ramu kopi, sedingin sebuah kenangan, Mas ─

ramu-takar terampuh,

jamu bagi pecandu rindu atas kisah masalalu.

sejenak kau goda penjaga, di luar tenda angkringan

gerimis mendakwa, jauh sebelum ini ─ kita sempat saling cinta.

 

2018

 

 

Memelihara Kebimbangan

 

kemudian biar waktu yang memelihara

segala kekecewaan kita. kendati ibarat daun, kau satu-satunya

lembar yang tiada kurelakan hempas, tapi angin yang itu ─

terlampau menilaskan pilu. yang kemudian kita berdua

tak ubah sebatas debu di tengah badai yang riuh

dihuyung ke sana ke mari, disapu habis dan bersih.

 

seusai itu, siapa di antara kita

yang lebih mawas untuk bertahan?

 

selambatnya gugur daun menyentuh tanah atau

kucur darah membilas punggung pisau ─ dera deraian air mata

atau desahan sepasang dara yang kan lebih dulu kita saksikan?

sementara yang tersisa ialah bayang, selambat-lambatnya

yang kita gumuli tampak tak ubah sebatas wujud kebimbangan.

 

2018

 

 

 

 

  

Daffa Randai, lahir di Srimulyo, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan pada 22 November 1996; umur 21 tahun. Detik ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tercatat sebagai siswa di Sekolah Jurnalistik SK Trimurti 2017 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

Pendiri Komunitas Pura-Pura Penyair dan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa Tamansiswa sejak Maret 2017. Puisi-puisinya tergabung dalam antologi bersama seperti, Tasbih-Tasbih Rindu (Wahid Media, 2017) dan Tematik Rindu (Sudut Sastra, 2017). Karya-karyanya yang lain dapat dijumpai di media daring seperti: jejakpublisher.com, kibul.in, lpmpendapa.com, ayomenulis, binisbelta.id, medium.com,  tulis.me, inspirasi.co, sastraindonesia.org, tembi.net, penakota.id, dan lain-lain. E-mail: randaidaffa22@gmail.com, Instagram: randaidaffa96, Facebook: Daffa Randai, Twitter: @randai_daffa, No. HP/ WA: 0822-8245-2892

 

 

 

 

Ilustrasi oleh Rahmad Nur Sahid.

No Responses

Tuliskan komentar