Menu

Puisi-Puisi Aris Setiyanto

https://avatar.amuniversal.com/

https://avatar.amuniversal.com/

Menjelma Iblis

Windy, Roni, bahkan mungkin Aan jua.

 

Telah terjamah suara Allah bagi hati mereka. Bangkit, ingin segera bersujud di lantai usang. Katanya, aku takut kepada Allah. Di rumah Allah yang juga meja makan ini, telah aku seka debu-debu jalang. Menyekanya dengan peluh aku jua. Aku menjelma iblis yang membuat mereka durjana hanya dengan mesem tanpa menilik wajahku nan merah dan mengutuk waktu yang membuat aku dan ketiganya bersua. Kematian selalu mengintaiku. Mereka pasti tahu tapi tak pernah membayangkan bakal mengecup jemari kakiku—mohon segala duka di hatiku terbantun hanya dengan kata yang menyublimnya bahkan seusai obituari hati aku yang didera nestapa. Aku bahkan tak pernah mengenal mereka.

Maguwo, 24 Agustus 2021

 

 

 

 

 

Di Alam Baka Nanti

 

Di alam baka nanti, apa yang paling menakutkan ketimbang neraka? Adalah penyesalan yang mengetuk punggungmu. Laiknya kau ajak aku bicara bukan, wahai Mama, wahai Kakak Perempuan aku yang mengasuh seluruh kenelangsaan dunia di pundak, sebelum kebisuan makin abadi di diriku dan penyihir membikin aku bersua hangatnya cinta. Sebab, berpasangan dengan tembok muda mungkin telah buat hatiku luka. Aku selalu ingin kau tilik, mendengar aku bermegatruh, barangkali. Walau Allah kirimkan untukku seorang lelaki, lantas, ia kirimkan aku buah-buah firdaus yang merona. Aku selalu ingin membasuh tubuhku. Namun, nafasku berkali-kali putus. Menjejali lubang terkelam untuk kembali hidup. Saat hidup, melupa-Nya.

Maguwo, 24 Agustus 2021

 

 

 

 

 

Jika Kepala Tak Ditumbuhi Pohon Angsana

 

Bulan berlabuh di jalan pulang saat kau-aku dilindas magrib. Kau menjemput ibu di bukit kelahiran dan aku terus pulang, meski jalanku berputar-putar. Di bawah rumah mungil ini seorang ibu sepatutnya ibu-ibu lain. Mereka bisa menjadi singa jika kepala kita tak ditumbuhi pohon-pohon angsana. Aku menuju pucuk harinya dan kemalangan segera menimpaku. Tapi Allah masih di hatiku, Ia tunjukan kepadaku cara untuk terus berpijak. Rerumputan kini tak hijau warnanya, kau akan tergelincir jika tak pahami bahasa hati. Saat bola-bola itu menggelinding, khawatir lembaran yang bermukim di dompet ini akan terkuras mampus. Tapi aku bahkan masih bisa membelikanmu sebuah keretek, agar sesak dan jantung meledak.

Maguwo, 24 Agustus 2021

 

 

 

 

 

Ketakutan Usia

 

Selalu terbesit di tungkaiku ini untuk lari. Kau tak bakal mafhum apa yang benar-benar paling dihindari usia. Aula itu nyaris menjadi pusara. Altar kenduri, kelopak kamboja dan dedaun ranting, adalah kejujuran paling lancang yang menyetubuhi mimpiku. Jendela-jendela tak pernah dibiarkan oleh ustaz itu untuk terkuak, meski dari kejauhan ini selalu ingin aku menilik Ibu di rumah. Sebagai ganti, hatiku diputar-putar olehnya. Ia mentraktir aku pahala yang lebih dewasa ketimbang mengimani jin-iblis. Kau tak pernah tahu ketakutan terbesar usia. Mentari mengoyak mimpi dan sekonyong-konyong dunia yang aku buat bobrok ini aku hala kembali. Tidak ada lagi keriuhan ruang, tidak ada lantun ayatullah.

Maguwo, 26 Agustus 2021

 

 

 

 

 

Harga Diri

kepada : Nafis

 

Tak pernah kau biar hatimu tersentuh, tapi, tubuh itu selalu untuk kekasih dan tak murka sama sekali meski harga diri telah dipusara seiring waktu melompat. Salah apa? Wajah itu tak pernah dihinggapi mesem sejak bersua aku di koridor paling riuh—sesiapa merajut dada yang koyak menembusi batin. Aku bahkan musti menulis kisah ini sendiri. Sementara, telah kau tuliskan kepada Uda, menjadi mualim sebelum pulangnya. Aku berjalan dengan terseok-seok, dengan benak yang bergemuruh. Ditinggal sendiri, melipat hari yang enggan mengenal detak masa. Biar, biar aku melipatnya sendiri. Kau duduk di singgasana itu. Aku ini seorang budak. Akan aku antarkan kepadamu sutera ini. Tapi, hanya Uda kau beri.

Maguwo, 26 Agustus 2021

Tuliskan komentar