Api
Dan ingatkah kau ketika Tuhan
menciptakanmu di atas tanah
hanya untuk melumat sesuatu
(sebelum melumat dirimu sendiri).
Dan kemudian Tuhan memaksamu
untuk menciptakan sesuatu yang Ia sendiri tidak sukai.
Lupakah bahwa kau adalah Api?
Bayang-bayang
Bayang-bayang tak terdengar memiliki dendam
kepada cahaya lampu atau cermin
yang membuatnya sedikit kikuk saat tampil di hadapan kita.
Bayang-bayang tak merasa perlu untuk membikin gaduh
saat kita tanpa sengaja (dan sadar)
kehilangan dirinya untuk sementara.
Bayang-bayang juga tidak pernah berniat untuk menaruh dendam
kepada matahari yang membuatnya mengucapkan janji
untuk selalu setia mengikuti langkah-langkah kaki kita yang panjang
dan tak berujung setiap hari.
Hujan ke Hujan
(1)
Aku melompat dari hujan ke hujan.
Sunyi merapat, mempertajam kelam.
Dunia di bawah bayang-bayang
melipat gerah dalam kerinduan.
Pandanganku mengombak.
Jalanan ini sudah lama mati terkubur.
Suaranya lirih terdengar
beriak dan perlahan mengabur.
(2)
Kecipak hujan bernyanyi
lagu-lagu yang mengiris hati,
melekatkan pada dinding ingatan
langkah-langkah kaki yang tak terlihat lagi.
(3)
Waktu tak letih-letihnya membaca
kuncupnya bunga sepatu
yang tercium angin dan air
yang mengalir dari atap rumahku.
Hujan (dalam tiga kejadian)
(1)
Saat kau sedang merasa sendirian di dalam kamar dan kemudian mematikan lampu agar bayang-bayang tak sanggup menjangkau mimpi yang ada di dalam tidurmu, di saat itulah aku melenggang tipis lewat langit-langit kamarmu yang bercelah dan perlahan-lahan menyentuh wajahmu yang kemudian menjadi basah oleh karena aku.
(2)
Tapi kau tak pernah protes atau marah kepada Hujan yang telah dengan mudahnya membasahi rambut, wajah dan seluruh tubuhmu. Kau malah merasa tenang dan bahagia, teringat dulu saat pertama kali kau lahir di antara rumput-rumput liar yang bergoyang diterpa angin kencang.
(3)
Memang sudah takdirku untuk diabaikan apabila Awan mendung sudah datang, apalagi kalau ditambah Hujan yang turun di sana-sini tak beraturan. Sebab manusia lebih mengasihi Awan mendung yang terlihat sendu dan Hujan yang dinamis bergejolak dan suka memain-mainkan hati dan perasaan manusia yang rapuh dan mudah berganti daripada aku yang hanya selalu biru tak berubah-ubah.
Malam Tak Terasa Jadi Pagi
(1)
Selalu ia meminta izin
untuk menggugurkan daun
jika sudah petang hari.
Sebab ia tak ingin
mengganggu atau memain-mainkan
Sang waktu yang sedang pergi.
(2)
Kicau burung menyahut malam. “Angin
sedang mabuk,” kata lampu jalan,
“dia bertiup sempoyongan.”
Menurut siaran, cuaca sedang tidak menentu.
Betul. Di dalam kamar sedang terbaring
tubuhmu yang bermandikan rindu.
Jarak
Aku suka kepada jarak yang suka melipatgandakan diri,
membuat manusia merangkai
kata-kata untuk memperpendeknya.
Aku suka kepada jarak yang tak akan habis-habisnya menyombongkan kemampuannya untuk membuat manusia terjebak antara (rindu) pisah dan jumpa.
Aku suka kepada jarak yang membentang di bawah kaki kita.
Yang semakin menguatkan cinta di dalam kata-kata.
Sonet Jenazah
Kita adalah pengantar jenazah,
sudah terasah kita untuk terus mengalah.
“Ke mana kita akan pergi
mengubur jasad yang sudah lama mati ini?”
Senja seperti sudah hampir habis
ketika cahaya matahari mulai menipis,
dan kita menaburkan bunga
di atas diri yang tidak mengerti apa-apa.
Suaraku tak terdengar begitu keras,
“Untuk apa semua bunga itu?”
Apa kau tidak tau bahwa semuanya itu
tidak perlu untuk menjadi jelas?
Burung bersahutan dengan langkah kaki,
Apa bedanya antara yang hidup dan mati?