Menu

Psikologi Anak dalam Fiksi “Mimpi Ayahku” karya Evald Flisar

Suatu masa ketika masih mahasiswa dan indekos di lantai daerah Samirono, saya sedang gila-gilanya membaca fiksi. Entah pada buku yang ke berapa, saya merasa kehidupan saya seperti fiksi. Seperti kondisi sulit membedakan apa yang saya kerjakan dengan apa yang telah saya baca. Saya kemudian bisa benar-benar menyadarinya ketika sedang menulis. Di sinilah, saya menemukan kenyataan menulis fiksi.

Saya sempat merasa aneh pada diri sendiri. Masa membaca bisa segitunya, beberapa teman yang saya tanyai tidak mengalami hal serupa. Kondisi saya itu memang berangsur-angsur hilang. Hingga beberapa tahun kemudian, saya cukup senang ketika bertemu dengan tokoh Adam. Pengalaman membaca saya itu juga dialami oleh tokoh rekaan ciptaan Evald Flisar dalam Mimpi Ayahku, yang diterjemahkan Nunung Deni Puspitasari.

Adam merupakan seorang remaja yang gila membaca sejak kecil. Ayahnya yang seorang dokter dan juga sangat suka membaca membuatnya mudah mengakses buku, bahkan bacaan yang bukan untuk usianya. Di usia remaja itu, ia sudah membaca karya-karya Zane Grey, Dostoyevsky, Flaubert, De Sade, Kafka, Goethe, Cervantes, Nabokov, dan beberapa buku lainnya. Sang ayah tak menyangka bacaan anaknya sejauh itu.

Kebiasaan membaca itu justru menjadi masalah dalam keluarga dokter umum yang menjadi dokter bedah itu. Adam mengalami mimpi-mimpi yang dianggap aneh. Ia bisa bermimpi secara serial, panjang sekali dan disambung dari hari ke hari. Menurut Sigmund Frued, sebagian besar mimpi disebabkan oleh keinginan, paling sering adalah keinginan seks. Di sisi lain, mimpi juga merupakan hasil dari fantasi. Fungsi psikologis fantasi adalah untuk memperlihatkan yang tersembunyi dari bagian bawah sadar dan jiwa manusia.

Pengalaman Adam itu kemudian membawa novel ini pada jenis fiksi psikologi. Alam bawa sadar Adam yang mewujud menjadi mimpi menjadi pokok persoalannya. Lebih lanjut lagi, mimpi itu berhubungan dengan seks. Berkali-kali, secara serial, Adam bermimpi tentang ayahnya, Joseph, yang berhubungan seks dengan gadis kecil yang juga dicintai anaknya, Eve. Gadis yang tumbuh dewasa sebelum waktunya di usia 15 tahun.

Mimpi itu kemudian diketahui mula-mula oleh ibunya yang mendapatkan hasil tugas mengarang bebas dari guru di sekolah anaknya. Sang guru kaget membaca mimpi muridnya dan menyerahkan hasil karangan yang tak pantas ditulis oleh seusia muridnya itu kepada orang tuanya. Sang ibu kemudian membongkar-bongkar kamar Adam dan menemukan buku harian anaknya.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” color=”red”] Baca Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

Sambil marah, sang ibu menuduh ayahnya yang mengajarkan demikian karena membebaskan anak mereka membaca apa saja. Hasilnya, bacaan Adam dibatasi. Kebiasaan Adam yang bermimpi itu kemudian tersebar hingga ke desa-desa lainnya dan ia pun dikenal dengan anak yang terkena penyakit mental.

Merasa terusik dengan mimpi sang  anak, dokter umum itu mengundang temannya untuk makan malam. Bersama teman dokter ahli psikoanalisis yang telah kehilangan izin praktinya karena tulisan-tulisannya itu, sang ayah mendiskusikan teori mimpi Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung. Di sinilah pokok dari cerita fiksi tersebut.

“Mimpi-mimpimu luar biasa. Salah satu keanehan dalam sejarah, saya pastikan.”

….

“Dari semua psikiater psikoanalitik,” katanya, “Saya tidak pernah menjumpai kasus di mana pasien (saya menggunakan kata mempertimbangkan) akan dibombardir dengan mimpi yang sama setiap malam. Apalagi, pasien bisa menceritakan tentang mimpi yang terpisah dari kenyataan.”

“Tapi itu terjadi pada Adam selama beberapa waktu,” kata ayah. “Bukan begitu?” ia menengok pada ibu, yang mengangguk tak terlihat yakin.

“Bukankah begitu, Adam?” ayah menengok kepadaku, seakan menyemangati kami untuk menun-jukkan pada Dokter Kleindienst, seperti keluarga yang kompak.

Aku mengangguk-angguk. Ayah dan ibu jelas tahu bahwa aku tidak berhenti bermimpi dan tak ada gunanya berpura-pura. Yang tidak kuketahui adalah dari mana mereka tahu isi mimpiku. Semuanya tampak tak masuk akal. Buku harianku sudah aman bersama Abortus, ia tak mungkin akan mengkhianatiku. Kecuali, tentu saja, Eve. Tapi, bukankah seharusnya ia malu bicara dengan dokternya tentang apa yang didengarnya saat aku bicara dengan kakek Dominic?

….

“Saya tak pernah sependapat dengan gagasan Freud bahwa mimpi adalah sebuah bangunan belakang yang arti sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa letak mimpi itu tersembunyi.” Kata tamu pria itu berat, segelas anggur di tangannya seakan-akan mendorong semua kata-katanya.

“Begitu juga denganku,” kata ayah.

“Gagasan bahwa makna mimpi diketahui oleh alam bawah sadar, tapi hanya bisa masuk dalam pikiran sadar sebagai sebuah simbol, itu kenyataan yang salah.”

“Benar,” ayah mengangguk.

“Mimpi adalah bagian dari alam dan alam tidak pernah berniat menipu, alam benar-benar hanya mengekspresikan yang terbaik yang bisa ditunjukkannya, dalam bentuk gambaran yang membingungkan.”

“Saya membandingkan mimpi dengan sebuah layar di mana proyeksi bawah sadar terpampang dalam layar itu. Ketika kita bermimpi, konflik dan salah paham di antara kekuatan bawah sadar muncul dalam layar dengan bentuk gambaran yang aneh.”

“Ya,” jawab ayah. “Tapi dalam mimpi anakku gambaran itu berubah menjadi ayam jantan, dan bukan berarti ia akan berubah menjadi ayam. Ini menjadi arti sesuatu yang berbeda. Menurut Freud itu adalah satu hal, menurut Jung ini adalah hal yang lain. Dan jika anakku terus bermimpi tentang adegan seks secara terang-terangan, mimpi yang ia lamunkan saat ia terjaga, ini bisa berarti seratus hal yang berbeda. Tapi tidak sepenting dengan fakta bahwa dia bermimpi tentang mereka setiap malamnya, di siang hari, bahkan saat ia tertidur.

“Cukup,” Dokter Kleindienst membuka mulutnya. Aku tak begitu yakin, tapi tampaknya, ketombenya terlihat di potongan daging sapi yang akan disuapnya.

“Cukup.” Ulangnya setelah menelan daging itu, “Alam bawah sadar menciptakan bahasa mengirimkan isinya ke pikiran sadar, dan kemungkinan bisa mengejutkan pikiran sadar. Freud misalnya, tak pernah secara terang-terangan menganalisis mimpi tentang seks. Tapi, ia mengklaim bahwa sebagian besar mimpi disebabkan oleh keinginan, paling sering adalah keinginan seks.”

….

(Mimpi Ayahku, 91 – 93).

Dari potongan percakapan di atas, dokter dan istrinya, Mary, sempat menyimpulkan adanya penyakit skizofrenia pada anak mereka. Tetapi Dokter Kleindienst menolak.

“Menarik,” Dokter Kleindienst mengeluarkan suara dengan nada diktator, ”Untuk mengobati segala sesuatu dari A sampai Z tidak selalu pilihan yang masuk akal. Bermimpi basah tidak selalu berarti bahwa ada sesuatu yang salah dengan anak laki-laki. Mungkin dia sedang bosan. Mungkin itu adalah tanda munculnya kejeniusan, atau bisa juga berarti di usianya itu aspek-aspek kebangkitan seksual kadang-kadang disertai dengan sepenuhnya halusinasi. Di sisi lain ini juga bisa berarti…” (Mimpi Ayahku, 94)

Bagi dokter yang pernah bekerja sebagai psikiater di rumah sakit jiwa sebelum izinnya dicabut itu, menyimpulkan bahwa anak yang bermimpi tentang seks terkena skizofrenia adalah kekhawatiran yang berlebihan.

Untuk bisa menolong sang anak dari mimpi-mimpi basah itu, menurut Dokter Kleindienst, harus ada seseorang yang masuk ke dalam mimpinya dan membimbingnya keluar. Ialah sang ayah. Keduanya tidur bersama di hari Minggu saat sang ibu pergi. Mimpi pun dimulai. Adam bermimpi lebih dulu dan ayahnya masuk kemudian. Mereka bertemu dalam mimpi, namun sang dokter gagal membawa anaknya keluar dari mimpi itu, melainkan justru kehilangan anaknya yang pergi bersama perempuan dalam mimpi.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” color=”red”] Baca Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

***

Judul buku ini merupakan judul buku yang dibaca oleh salah seorang tokoh di dalam Mimpi Ayahku, yang ditemui Adam di sebuah pula ketika ia berlibur bersama keluarganya.

Saya agak kerepotan mendefisinikan apakah ini novel anak atau bukan. Tokoh utamanya adalah seorang anak, tetapi gaya berpikir bukan seorang anak. Meski kehadiran tokoh anak tak selalu bisa dikatakan sebagai tokoh anak, namun dalam awal deskripsi cerita fiksi ini menunjukkan hal tersebut. Terlebih lagi, sang pengarang merupakan juga menulis buku anak. Dua dari buku-buku anak dan remaja karangannya menjadi Best Book Child Award.

Namun di sisi lain, kehadiran dialog orang dewasa mengaburkan apa yang menjadi indikasi novel anak. Tak hanya itu, mimpi yang menjadi kisah tokoh dan juga yang kehidupan dijalani tokoh dikaburkan. Pengarang sengaja tak membuatnya jelas. Ia menguji kejelian pembaca untuk membedakan realitas mimpi dan realitas tokoh. Selain itu, ia juga menguji teori Freud dan Jung dengan mengajukan kasus-kasus yang mungkin belum ditemukan keduanya.

“Dalam berbagai kasus, jika boleh saya jelaskan Nyonya, mengingat menu makan malam Anda yang luar biasa, suami Anda adalah dokter yang menjadi penguasa untuk memberi keputusan akhir dari semua ini. Memang benar, Adam adalah anak Anda juga, tapi kita menghadapi hal aneh bagi sebuah profesi.”

Adam besar di tengah pertengkaran orang tuanya dan menjadi kesepian. Kisahnya dalam cerita fiksi ini dimulai saat usia 13 hingga 14 tahun, masa-masa puber untuk mengetahui seksualitas. Pengarang seolah ingin menunjukkan sisi gelap dari eksistensi manusia; kesendirian, kesilauan, kebohongan, dan keterasingan. Ia membuat garis tipis antara realitas dan mimpi, antara baik dan jahat. Adam digambarkan sebagai korban dari kesalahan orang tuanya. Anak yang diacuhkan karena kesibukan orang tua sebagai dokter dan pegawai keuangan. Hal ini kemudian melahirkan kebencian Adam pada ibunya, dan lebih dekat serta mengidolakan ayahnya karena bersedia menyisihkan sedikit waktu untuknya, meski hanya sedikit.

Satu hal lagi yang munkin menjadi pesan terdalam dari cerita fiksi ini, tetapi saya tidak cukup bisa menjelaskannya karena sempitnya bacaan saya, yaitu masuknya unsur teologi. Hal ini penting untuk melihat posisi novel karangan Evald Flisar ini. Beberapa tanda yang bisa saya simpulkan tentang hal ini adalah nama-nama tokoh yang bisa ditemukan dalam Al Kitab.

Kita mengenal Adam dan Eve sebagai ciptaan Tuhan yang pertama mengenal seksualitas, diambil pengarang sebagai tokoh utama. Kemudian Joseph (Yusuf) dan Mary (Maria) yang menikah sebagai orang tua Adam. Peristiwa hubungan seks antara Joseph dan Eve mengingatkan kita pada keterpautan usia antara Yusuf dan Maria dalam Al Kitab, hingga dituduh pedhopilia. Juga sesosok janin hasil aborsi yang diabadikan dalam sebuah stoples, yang menjadi teman bercerita bagi Adam.

 

Tuliskan komentar