Menu

Protokol Dalimin | Cerpen Burhan Fanani

 

Bukankah sakit hati, lebih sering, enggan dininabobokkan dengan uang yang selalu Anda berikan setiap menjelang akhir bulan, tetapi lebih memilih kekuasaan agar bisa digunakan untuk membalas dendam?

 

Tuan, meskipun Anda sekarang tidak berada di rumah ini, tetapi mata Anda tidak sedang terjangkit katarak ataupun rabun. Usia hampir enam puluh tahun bukanlah halangan, sebab Anda masih suka mengunyah wortel mentah dan tidak suka membaca dengan tiduran. Maka, saya yakin Anda pasti tahu benar bahwa saat ini diri saya sedang dalam kondisi sangat-sangat baik. Dan, Anda tidak perlu pura-pura buta huruf. Kemarahan-kemarahan saya yang tertuang dalam selembar kertas ini, tentu bisa Anda baca dengan detail, bukan?

Kini, Anda berada di paragraf ketiga. Anda akan menyaksikan perkara yang akan saya buka blak-blakan, yang mungkin sudah Anda ketahui ketika dulu Anda suka berada di depan cermin besar di kamar Anda. Jika perkiraan saya itu salah, saya bisa pastikan bahwa cermin besar itu akan memecahkan dirinya. Ia merasa tidak berguna dan putus asa, sebab berkali-kali menunjukkan kecongkakan Anda, tetapi Anda tidak pernah mempedulikannya.

Anda tentu ingat, selalu tersedia buah-buahan—dan wortel, tentu saja—di atas meja yang berdekatan dengan cermin besar itu. Setiap pagi, saya selalu menyediakan untuk Anda buah-buahan—dan wortel—dan sebuah pisau untuk mengupas. Pisau itu sebenarnya bukan pisau kupas, Tuan. Saya pikir, pisau kupas tidak mampu menguliti wajah palsu Anda. Saya memesan pisau itu di tempat seorang Pande Besi pada suatu hari yang sudah amat menjengkelkan. Untungnya, nalar saya masih beraktivitas dengan baik sehingga saya bisa berkata kepada Pande Besi itu, “Buatkanlah pisau kupas buah setajam Pedang Naga Puspa!” Dan, ia tidak bertanya buah apa yang membutuhkan pisau setajam itu.

Dan, di ruang tamu itu, Anda bertemu dengan orang-orang yang rela Anda kelabui. Silih berganti mereka datang untuk memasrahkan nasib mereka kepada Anda. Pada saat saya mengantarkan minuman, saya mendengar Anda sedang berbohong, “Aku ini orangnya terbuka. Terbuka sekali. Kritik dari bawahan pun aku terima. Bagiku, itu penting untuk meningkatkan kualitas kemanusiaanku dalam menentukan keadilan.” Saya berhenti sejenak saat menaruh minuman di depan Anda dan Anda melanjutkan omong kosong Anda. “Ini Dalimin.” Anda memperkenalkan saya kepada tamu Anda. “Setiap sore, kami duduk berdua di teras belakang. ‘Apa kritikmu hari ini, Dalimin?’ tanyaku kepadanya. Dan, dia berbicara banyak. Bahkan, jika kamu tahu, aku juga sangat terbuka dengan nasihat-nasihatnya. Bukankah begitu, Dalimin?” Dan, tamu Anda mabuk kepercayaan kepada Anda meski saya tidak mengiyakan, bahkan sekadar anggukan. Dan, kebohongan itu Anda ulang terus-menerus di depan tamu-tamu Anda, dan tentu saja, saya.

Dan, setiap sore Anda hanya mencaci dan menyumpahi saya di teras belakang itu.

Tuan, setiap Anda mengatakan bahwa saya maling, sesungguhnya Anda sedang membuka rahasia Anda sendiri. Saya tahu, Anda menganggap saya tidak paham apa yang saya lakukan setiap malam di belakang gudang rumah Anda; membakar kertas-kertas yang Anda berikan setiap pulang dari kantor. Dan, Anda selalu bilang, “Asapnya jangan sampai membumbung keluar pagar!” Saya pun patuh; membuat api kecil-kecil untuk membakar kertas-kertas itu sedikit demi sedikit agar asapnya tidak terlalu besar dan mudah saya kendalikan ke mana arahnya. Saya juga menyiapkan air di ember, sekiranya api membesar maka ia akan segera saya siram. Dan, walaupun sangat jarang terjadi, tetapi keadaan seperti itu membuat saya merasa lebih pintar dari Anda.

Kertas-kertas itu, Tuan, setiap saya akan membakarnya selalu saya baca terlebih dahulu. Mula-mula, saya tidak paham dengan rentetan kata-kata dan angka-angka yang ditulis tangan itu. Tetapi, saya menyambung-hubungkan dengan kertas-kertas yang Anda berikan kepada saya di malam-malam berikutnya. Setelah menemukan kesimpulan, saya merangkai protokol pada sebuah kertas yang saya tulis menjelang tidur sehingga menjadi kronologi yang bisa dibaca semua orang sebagai kejahatan.

Anda kaget? Anda marah? Silakan! Tetapi, berhati-hatilah dengan jantung Anda, Tuan. Palpitasi yang berlebihan dapat membuat Anda sekarat.

Oh, ya, mengenai jantung Anda, Tuan. Dulu, ketika dokter pribadi Anda datang ke rumah ini untuk mengontrol kesehatan Anda, ia berpesan kepada saya agar saya selalu menyediakan asupan yang mendukung kinerja jantung Anda. Namun, saya tidak pernah melakukannya. Saya pikir, pisau yang dibuat oleh Pande Besi itu tidak bekerja dengan baik. Akhirnya, saya mendukung Anda untuk mengonsumsi minuman beralkohol yang selalu saya sediakan pagi, sore dan malam di dekat buah-buahan—dan wortel, tentu saja—yang saya letakkan di meja sebelah kiri cermin besar di kamar Anda dulu. Pernah pada suatu hari, saya bermaksud tidak lagi meracuni Anda dengan minuman itu. Namun, Anda malah memarahi saya, “Bagaimana aku bisa bekerja tanpa minuman itu, Min? Kalau stok habis, beli! Kalau uang habis, minta!” Rupanya tubuh dan otak Anda sudah sangat tergantung pada minuman itu.

Dan, sekarang Anda sedang duduk di ruang pengap penjara dengan lampu remang-remang untuk membaca—dengan hati-hati—protokol yang saya susun—juga dengan hati-hati—ini sambil sesekali memegang dada kiri Anda yang mulai berdegup tidak teratur. Sirkulasi udara yang buruk membuat oksigen yang masuk ke paru-paru Anda tidak mencukupi untuk mendukung kinerja jantung Anda. Apalagi, informasi yang saya sampaikan ini, tentu saja bukan asupan otak yang baik. Dan, saya mulai merasa iba pada nasib Anda, Tuan.

Dan, di rumah yang megah ini, saya duduk di kursi kehormatan, yang masih sangat-sangat nyaman, sambil memegang pisau kupas di tangan kanan dan di tangan kiri selembar kertas perjanjian pelimpahan hak yang sudah ditandatangani notaris—dan Anda sendiri—untuk menghilangkan jejak kejahatan Anda. Di kertas ini, tertera nama saya, Dalimin, lengkap dengan tanggal lahir dan juga golongan darah sebagai penerima hibah dari Anda.

Tarik napas dalam-dalam, Tuan, lalu hembuskan perlahan agar mendinginkan dada Anda yang mulai mendidih itu.

Kini, Anda tiba di paragraf terakhir di mana saya sudah sangat menguasai keadaan dan Anda dalam posisi tersudut di ruang penjara yang pengap itu. Ya, pada akhirnya saya bisa membuktikan bahwa saya lebih pintar dari Anda. Saya tidak pernah membakar rahasia saya, Tuan. Sebab, api bukan saja menimbulkan asap, tetapi juga bau. Tetangga-tetangga Anda tahu benar setiap malam membaui kertas terbakar dan kemudian mereka mencari tahu dari mana sumbernya. Mereka curiga? Tentu saja. Membaui kertas terbakar setiap malam, siapa yang tidak curiga? Bukan hanya asap yang bisa menyampaikan tanda, bau juga bisa, Tuan. Dan, Anda tidak tahu itu. Sungguh, Anda memang sebodoh makian yang kerap Anda lontarkan kepada saya setiap sore di teras belakang itu. Dan, Anda tidak pernah tahu bahwa saya punya cara yang lebih cerdas untuk menyembunyikan kecurangan saya. Anda penasaran? Saya akan memberitahu asal Anda bersabar. Tunggulah sampai Anda bebas. Itu pun, jika nyawa Anda masih menempel pada raga.

 

Kaliwanglu, 03 Agustus 2017

Tuliskan komentar