Menu

Faiz Ahsoul: “Sarung Jangol adalah hantu yang terus mengejarku” | Muhidin M. Dahlan

Mungkin, hanya tiga atau empat halte pertemanan terbesar buat saya. Salah empatnya adalah dia yang ada dalam tulisan ini.

Beberapa kali ia mengganti nama mengikuti kegelisahan kreatifnya. Datang dari Cirebon mengikuti jejak kakaknya yang bersekolah di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Yogya dengan menyandang nama “Mohammad” di depan namanya. Kakaknya adalah seorang teaterawan dan sekaligus penyair dalam kampus yang menonjol. Sebagaimana kakaknya, ia juga mula-mula ingin menjadi seniman lakon dan mencoba menapaki jejak seorang penyair.

Beberapa kali saya lihat puisinya. Namun, ia tak puas dengan kerja kepenyairannya di Kampus karangmalang. ketika teman karibnya, Hasta Indriyana, bersetia di jalan kepenyairan, ia sudah melompat di jalan baru.

Ia bergabung dengan majalah kampus di lingkup IKIP Yogyakarta, Ekspresi. Di unit kegiatan mahasiswa ini ia masih berharap jiwa kesusasteraannya masih bisa tertolong. Sayang seribu sayang, rubrik sastra dihapus dari majalah ini–dan tak pernah dimunculkan lagi hingga kini atau sudah hampir tiga dekade lamanya.

Mulailah ia menulis lempang, menulis esai. Tulisannya berbelit-belit dan jeblok. Mungkin, karena gaya menulis esai bukan jiwa-asalnya. Ia tetap memendam keinginan menjadi sastrawan dengan jalan di jurnalistik.

Pembawaannya yang luwes membuat ia mudah mengenal siapa pun. Mungkin, ini hasil didikan di teater kampus. Bahwa, untuk bisa hidup di negeri orang mesti dengan kekuatan mental dan luwes dalam pergaulan. Jalan keluwesan itu dilatihnya dengan melapak buku antarkota. Atau, hampir setiap malam ia mengamen di sepanjang Jalan Gejayan. Ketika senja tiba, ia mulai keluar dari kampus dengan menenteng gitar akustik dan menyanyi dari satu tenda ke tenda lain; dari satu angkringan ke angkringan yang lain. Kadang bersama Hasta, kadang juga sendirian dengan rambut gondrong sebahu dan dua kunci gitar abadi.

Ia adalah pribadi yang tak menggebu-gebu. Jika kamu lihat ia berular-ular berbicara dan tak fokus, percayalah itu adalah siasatnya agar dalam setiap forum–forum apa pun–yang lebih utama adalah duduk lebih lama dengan urat kening yang kendor.

Tak ada yang lebih penting dari itu. Tak peduli bahwa ia menjadi pemimpin umum di LPM Ekspresi dengan tak menerbitkan satu pun majalah. Sebab, baginya, yang lebih penting roda organisasi berjalan dengan urat kening tetap kendor. Oli otak tetap mengalir tanpa ketegangan yang tak perlu. Apa guna mengejar majalah terbit, tapi otak tegang.

Dengan prinsip “kening mesti tetap kendor apa pun yang terjadi”, ia memiliki jaringan pertemanan yang teramat luas. Sebutlah siapa nama temanmu, maka ia pasti di sana. Saya kadang nunut sama dia saja untuk mendapatkan teman baru. Bagi saya, ia adalah juru bicara yang bagus. Dalam arti, ia penyabar. Oktan kesabarannya di atas rata-rata di antara segelintir teman saya.

Juga, kesabarannya perlu mendapat pujian yang tinggi dari saya untuk terus memelihara harapan bahwa ia kelak di suatu hari masih bisa menjadi sastrawan. Maka, ia pun bergabung di kelompok yang berdiam di Belimbingsari UGM, yakni Insist. Lembaga itu menginisiasi suatu sekolah yang membantu lahirnya sastrawan-sastrawan yang menulis dengan basis riset dan kepekaan sosial di atas rata-rata. Ia bergabung di Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY).

Beberapa bulan kemudian, saat rekan-rekan seangkatannya mulai mengeluarkan karya, saya melihat sebuah iklan “buku akan terbit”. Di situ, ada namanya dengan judul karyanya: “Sarung Jangol”. Semua temannya di LPM Ekspresi yang setengah percaya setengah tidak tentu saja girang melihat tekadnya untuk menjadi sastrawan. Kadang, untuk menyemangati mempercepat lahirnya novel itu, beberapa teman menggodanya dengan mengirimkan cerpen di koran dengan judul “Sarung Jangol” agar dikira saat novelnya terbit ia dituduh menjiplak.

Sebulan tiga bulan ditunggu tak ada kabar si Sarung Jangol itu. Kabar yang justru datang adalah dia menjadi seksi acara yang luar biasa sibuknya mendatangkan pujangga akbar Pramoedya Ananta Toer di kampus UGM. Ketika ribuan peserta di hari Jumat siang itu berdesakan memasuki ruangan seminar dan semua pembicara sudah di panggung (Pram, Gus Dur, Mansour Fakih, Gadis Arivia, Taufik Rahzen), di pojok belakang dia menangis sesenggukan. Pasalnya, ia gagal menemukan pemegang kunci sound system di Masjid Kampus UGM. Bukan hanya gagal, tapi ia lupa-lupa ingat wajah si pemegang kunci itu yang pamit untuk salat Jumat.

Hampir satu jam acara tertunda dan senyum di bibirnya mulai merekah saat kunci lemari sound system dibuka dan mikropon berbunyi. Alhamdulillah.

Ia adalah pembikin acara yang rajin. Di mana acara diselenggarakan oleh komunitas di mana ia hidup dan aktif, di situ ia ringan tangan dan kaki bekerja. Ia kemudian mengenal hampir semua orang karena, itu tadi, ia supel dalam bergaul. Ia bisa melayani siapa pun untuk mengobrol sampai terkadang ia lupa bahwa Sarung Jangol belum juga dituliskan saat beasiswa penulisannya sudah lama berakhir dan angkatan berikutnya sudah bersiap lagi menerbitkan karya.

Ia memang mencoba dan terus mencoba. Terkadang ia “meminjam” kos temannya untuk menyelesaikan novel yang menurut dia sangat keren dan antropologis yang membikin penduduk seantero Cirebon berdecak kagum. Namun, setelah mengetik beberapa baris dan dihapusnya lagi, ia justru tertidur. Pulas sekali. Setelah bangun, si Sarung Jangol sudah bablas tak berbekas. Dan, seperti biasa, semuanya kembali biasa hingga saya tahu ia membuka warung ceker ayam bersama pasangan hidupnya.

Di warung ceker itu menjadi ruang pertama dan terakhir diciptakannya untuk mengumpulkan banyak teman. Di warung ceker itu forum Apresiasi Sastra (Apsas) bermula dan dari situ ia tak pernah absen mengelola kopi darat yang berlangsung semalam suntuk; mulai sejak komunitas ini aktif di mailing list Yahoo hingga di era Facebook berjaya.

Seperti hantu, si Sarung Jangol terus membututinya. Ia tak mau lama-lama membuka buletin sastra eksperimental On/Off di mana di dalamnya Sarung Jangol berdiam dan terus mengancam moksa hingga ia menjadi aktivis literasi; mulai dari tingkat kampung, regional, hingga nasional.

Sarung Jangol selalu memanggil saat ia berjibaku di jalan literasi budaya di Indonesia Buku. Ia adalah pelaku dan saksi di Yayasan Indonesia Buku bagaimana komunitas ini meniti jalan di literasi budaya nasional. Tak pernah absen ia berbicara sejak bergabung pada 2010 dalam literasi paling dasar, yakni menulis cerita kampung di kampung dalam kota di titik nol Kerajaan Yogyakarta.

Sebagai aktivis literasi, ia mengumpulkan begitu banyak orang, mengenalkan begitu banyak kepala, menyimpan begitu banyak nomor orang. Ia nyaris mengenal(kan) semua orang sambil terus diam-diam mencoba kembali permintaan si Sarung Jangol untuk menulis sastra. Ia menjadi editor, menjadi pembaca ahli, menemani banyak kepala anak muda untuk menulis hanya (barangkali) untuk melupakan dan mengabaikan hantu Sarung Jangol yang terus menguntitnya tiada ampun.

Sampai hari ini, nama ini menjadi halte terbesar bagi saya untuk mengenal banyak nama. Saya mengenal Puthut EA karena dia. Saya mengenal lebih dekat Eka Kurniawan karena dia. Saya sampai bisa bertamu dengan perupa Moeljono di Tulungagung karena dia. Mengenal Kang Bondet aka Sigit Susanto karena dia. Bahkan, saya mengenal lebih dekat Irwan Bajang, Fairuzul Mumtaz, Gol A Gong, dan Nirwan A. Arsuka karena dia. Dalam pergaulan literasi, ia mahasegala.

Ia memang kokoh dalam pergaulan, jantan dalam soal asmara, namun lapuk seperti remah rempeyek dalam balapan tanpa akhir dengan hantu lama bernama Sarung Jangol. Novel itu adalah kutukan baginya sambil membawa secarik surat perjanjian yang aneh.***

Tuliskan komentar