Arif Billah memiliki bakat, antusiasme, dan kemauan untuk kerja keras. Karenanya, hanya dalam kurang dari dua tahun ia mampu menghimpun keberanian untuk menerbitkan antologi puisi pribadi yang tidak bisa dipandang sepele.
Sabtu sore, 16 November 2024, hujan deras belum lama reda ketika saya tiba di STPMD “APMD” Yogyakarta. Tempat parkir sepeda motor Pesta Buku di kampus itu masih sepi. Mungkin basah dan dingin memang membuat orang malas keluar. Kalau bukan karena Arif Billah yang punya hajat, saya sendiri tentu juga masih bertungkus lumus di depan laptop di Maguwo.
Saya kira saya terlambat. Ternyata, Arif dan Maharani Khan Jade masih mengobrol di lobi kampus dan acara belum dimulai. Saya pamit keluar dari area untuk mencari rokok dan menikmati udara sejuk. Ketika kembali ke area, Azaro Verdo Nuary sudah selesai membahas Utara: Riuh dalam Tubuh. Untungnya, saya masih sempat mengikuti pembicaraan Arif dalam diskusi yang dipandu Jade.
Arif kuliah di Ilmu Komunikasi UMY dan aktif di Teater Tangga. Awalnya, ia fokus pada penulisan naskah lakon, terutama untuk PEKSIMIDA 2022. Kemudian ia terdorong untuk menulis puisi setelah bergabung dengan Sekolah Puisi. Ia mengaku menulis puisi tanpa bekal pengetahuan sastra dan hanya berbekal metode coba-coba. Namun, ia berani mengirimkan puisi, dan juga cerpen, ke beberapa media massa daring maupun luring.
Setelah beberapa puisinya dimuat di media massa, ia didorong oleh Mbak Evi Idawati untuk menghimpun karya-karya itu dalam sebuah antologi tunggal. Ia memang ingin menerbitkan antologi tunggal, bukan melulu antologi bersama. Namun, awalnya ia ragu dan ingin menyunting ulang semua puisinya hingga menjadi sempurna. Mbak Evi meyakinkannya bahwa, kalau menunggu menjadi sempurna, tak akan ada yang diterbitkan sebagai buku.
Yang mengagumkan, puisi-puisi dalam Utara: Riuh dalam Tubuh ditulis hanya dalam waktu kurang dari dua tahun. Dalam waktu sesingkat itu, ia telah mampu bukan hanya menata bunyi bahasa yang merdu, melainkan juga mengantarkan pengertian yang jernih.
Melalui buku itu, ia ingin “menukil pesisir” dan merenungkan kembali identitas dan kedekatannya dengan daerah Batang, kampung halamannya. Melalui komposisi puisi, ia bercerita bukan hanya tentang dirinya sendiri atau kisah asmaranya. Ia juga bercerita tentang hal-hal yang pernah disaksikan dan diingatnya, termasuk cerita rakyat di Batang yang berbeda dari versi pemerintah.
Semuanya diciptakan ulang dengan perspektif yang berbeda dari perspektif masa kecilnya. Sehingga, ia mulai mengaitkan ingatan dengan kritik sosial. Misalnya, ia mengangkat tentang teror pantura, mitos sintren Sulasih Suwandono, cerita unik tentang jumatan di atas genteng, tetangga yang dituduh sebagai anggota PKI, dan para pekerja yang tidak dibayar dengan layak.
Ketika seorang teman membacakan “Kalau“, saya langsung teringat bahwa puisi itu pernah dimuat di SukuSastra.com. Kesan saya, puisi itu “menye-menye”, berbeda dari puisi-puisi lain yang lebih “garang” dan “melawan”. Puisi yang dibawakan oleh Gen Puisi, sekelompok pembaca puisi yang masih sangat muda usia, terkesan lebih “dewasa”. Mungkin karena teknik pembacaan yang apik.
Namun, Arif jelas menguasai bahasa Indonesia dengan sangat baik, juga ketika mengolah bahasa untuk cerpen–ia salah satu peserta kegiatan Laboratorium Penulisan Prosa Fiksi Eksperimental Suku Sastra.***
Utara: Riuh dalam Tubuh belum dirilis untuk dijual di pasar. Diskusi di Pesta Buku Sabtu tempo hari itu adalah semacam “pra-peluncuran”. Jika berminat, silakan menghubungi langsung Arif Billah.