Menu

Pienso De Ti (Memikirkanmu) | Cerpen Andria Septy

https://fineartamerica.com/

 

Aku kembali kepada hiburanku yang dulu, yakni ; berjalan kaki atau berlari sore. Sudah dua pekan aku tak lari sore di sepanjang jalan Gelatik menuju kampus Universitas Mulawarman. Lintasan jalan setapak dipenuhi pepohonan angsana dan ketapang di sisi kiri-kanan. Jaraknya sekitar empat puluh lima menit dari desa Pienso. Alasanku tidak berolahraga karena capek, malas dan sederet kata tak penting lainnya. Padahal, perutku kian membuncit karena lemak. Sehari-hari aku berkutat dengan mengajar. Belum lagi hal-hal di luar jam mengajar, serta ditambah banyak mengonsumsi mie instan. Seribu persen pola hidupku menjadi tak sehat. Beriring juga jiwaku.

Tiba-tiba sore yang mendung dan tiada hujan, aku justru lari sore. Sepatu dan celana training selalu ada di lokerku. 

Rupanya memang suatu pertanda otak dan kakiku tak sinkron ketika bertemu gadis imut itu. Dia hanya tertawa sungkan melihat sebelah kakiku nyemplung selokan. Dia bukan termasuk gadis cantik. Berwajah keibuan pun tidak. Kami berpapasan di tikungan menuju kampus tempatku mengajar. Saling bertatapan sebentar dan tanpa senyuman. Maksudku, gadis itu tidak tersenyum. Padahal, ia  barusan menertawakanku terpingkal-pingkal. 

Nama gadis itu Luna Celia. Begitulah teman di sampingnya memanggil namanya berulang. Mereka membahas tentang novel Orhan Pamuk, Istana Putih, yang begitu susah dipahami. Apalagi bahasa Inggris mereka kacau-balau, katanya. Aku hanya menguping pembicaraan mereka dari belakang. Berpura-pura membaca buku Lelaki Tua dan Laut. Sebetulnya aku tak membaca novel legendaris itu pun. Aku hanya sibuk mendengar suara Luna Celia yang sejatinya pun biasa-biasa saja. 

Begitulah. Sepanjang jalan menuju rumah, Luna Celia memenuhi otakku. Tak henti-hentinya merangkai senyuman hingga sampai ke alam mimpi. Tergila-gila pada logat bahasa daerahnya yang seperti lagu melayu. Meskipun setengah dariku berdarah Mestizo, aku pun punya darah melayu sama seperti gadis itu. 

Seperti ada yang mengajakku berbincang sekarang. “Tariq. Apa kau baik-baik saja? Alamak. Kau sudah percaya cinta rupanya!”

Sial. Aku merindukan gadis yang belum kukenal pun. Besok dan besoknya, lagi aku akan rutin berolahraga di sana biar bisa sering bertemu. Begitulah rencanaku dalam waktu dekat ini.

Aku baru memperkenalkan diri di pertemuan ke empat. Di tempat yang sama persis, ketika kakiku terjerembap ke selokan. Dia berdiri sendirian di pinggir Jembatan Gantung, tak jauh dari Gedung Olahraga 27 September. Rambut hitamnya diikat kuda dengan seragam olahraga merah muda yang terlihat manis. Jemarinya sibuk memperbaiki poni waktu aku diam-diam memotret.

Aku memotretnya tentu sebelum aku dengan tak tahu malu mengajaknya berbincang. Lewat ceritanya, ternyata Luna Celia alumnus FKIP Jurusan Bahasa Indonesia. Usianya hanya terpaut tiga tahun denganku. Jurusan kami ternyata tak berbeda jauh. Meskipun aku jelas-jelas berasal dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Lagi pula, sastra Indonesia adalah bidangku. Namun, tetap saja kami sama-sama bersentuhan dengan yang namanya Bahasa Indonesia. Kuanggap hal yang sepele ini, takdir Tuhan. 

Terus terang saja. Aku melihat Aida, adikku, pada diri Luna Celia. Hatiku bergejolak aneh ketika melihat wajah dinginnya. Seolah-olah itu wajahku ketika remaja. Tercipta rasa heroik ketika kugenggam tangannya. Matanya adalah mataku. Bibirnya adalah bibirku. Senyumnya seperti bunga bermekaran pada musim semi. Kini berani kukatakan,

“Kaulah penghapus rasa sepi dan laraku,”

Rupanya aku sudah tergila-gila. Kuanggap ini sebagai fitrah seorang laki-laki. Aku benar-benar diberi keberkahan bisa mengenalnya. Tak kuduga bisa terpikat dengan gadis yang sekilas tampak kekanak-kanakan itu. Kutitipkan secarik kertas merah jambu kepada kawan jogging-nya sore tadi. 

Kupikir cara pandang kita berseberangan. Kupikir juga usia kita terlampau jauh. Sempat kucemaskan bahwa kau mungkin belum siap menikah. Sepertinya, kau masih sibuk berkecimpung dengan buku-buku tebal yang harus kau baca. Kurasa kau belum kepikiran membina hubungan serius. Ya, maksudku di sini ke jenjang pernikahan.

Kulapangkan hatiku, menuju hatimu yang masih terbungkus lapisan baja. Luna Celia, usah kau berlama-lama merenungi jiwa yang terluka. Sesungguhnya jiwa kita sama-sama patah. Meskipun, aku tak tahu nuraniku patah karena apa. Kuakui mengenai rasa, aku begitu payah. Tidak peka. Tapi… Maukah kau menikah dengan lelaki gendut ini?

Untuk Luna Celia, dari Tariq Solano

 

(22/2/2017)

 

 

_______

Cepren ini kali pertama dimuat di koran Kaltim Post pada Senin, 05 Juni 2017.

Disunting ulang pada Agustus 2021

No Responses

Tuliskan komentar