Bulan tersenyum, tatkala Raditya, sang suami, mengusap–usap perutnya yang telah membuncit besar. Rasa kebahagiaan yang ada di hatinya meluap seolah–olah dia menjadi orang yang paling bahagia di seluruh muka bumi. Akan tetapi, memang itulah yang terjadi, Bulan adalah orang yang paling bahagia di antara semua wanita saat ini, sebab waktu kelahiran putra pertamanya akan segera tiba.
***
“Lan, kamu kenapa?”, tanya Raditya sembari melepas dasi di lehernya. Tidak ada jawaban dari sang istri yang sedang bersikap malas di atas ranjang sambil membuka HP-nya.
Melihat sikapnya yang tidak peduli, Radit segera berganti pakaian dan menghampiri istrinya. “Hei, ada apa ? Cerita, dong! Wajahmu tampak lelah dan tidak bersemangat, apa Bu Ijah memecahkan gelas lagi?”
Bulan hanya menatap layar ponselnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran sang suami. Dengan sedikit gerakan, Radit telah berhasil membuat Bulan masuk ke dalam pelukannya. Bulan amat terkejut. Akan tetapi, Radit tidak berhasil membuat tawa istrinya berderai.
“Lepasin!!” seru Bulan yang merasa tidak nyaman. Ia kemudian beranjak dari pelukan Radit.
“Kamu ngapain, sih? Habis pulang kantor langsung main nyosor aja,” tambahnya.
Menyaksikan sikap Bulan yang demikian, Raditya hanya tersenyum kecut. Kedua jarinya membentuk huruf “peace” yang artinya ia minta maaf atas kejadian itu. Lalu Radit pergi keluar dari kamar tidurnya. Ia hendak melepas penat dengan menonton televisi.
Radit memilih salah satu siaran olahraga. Ia menyaksikan rekaman pertandingan sepakbola yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi. Pertandingan itu sudah pernah disaksikan Radit sebelumnya, tapi karena tim kesayangannya menang di pertandingan itu, ia memilih menontonnya lagi. Maklum saja, pada masa pandemi ini, pertandingan–pertandingan olahraga ditunda pelaksanaannya. Bagi Radit sendiri, hal itu tidak menjadi persoalan sekarang. Hatinya sedang diliputi sukacita. Sebab ia baru saja kembali bekerja di kantornya. Ia senang dapat berjumpa lagi dengan kawan–kawan karibnya dan bisa merasakan kembali atmosfer kantor yang sudah lama ditinggalkannya.
Ketika sedang asyik menonton, tiba–tiba Bulan menghampiri Radit. Istri tercintanya itu menjatuhkan dirinya di sofa bersama Radit. Ia mengalungkan lengannya dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.
Sambil membelai rambut Bulan, Radit bertanya dengan nada menggoda, ”Ada apa lagi, Sayang? Kamu membutuhkan sesuatu. Aku, suami idamanmu, sobat karibmu, sigarane nyowomu akan segera siap memenuhi setiap permintaanmu, bunda Bulan yang paling cantik.”
Kali ini Bulan tersenyum tersipu–sipu. Ia menganggukkan kepalanya sambil berbaring manja di pelukan Radit.
“Dit, aku lagi ingin jus melon, nih. Kamu beliin aku, ya!” kata Bulan.
Radit mengangguk setuju. Demi memenuhi keinginan istrinya yang sedang hamil sembilan bulan itu, Radit pergi beranjak meninggalkan tayangan pertandingan favoritnya.
Ia masuk ke kamar, berganti pakaian, memakai masker dan mengambil helm. Kemudian ia menyalakan sepeda motornya di garasi dan pergi ke warung jus buah terdekat dari kompleks perumahanannya.
Pada saat Radit pergi ke luar rumah, langit telah memasuki senja. Suara adzan maghrib terdengar dari berbagai arah, mengingatkan setiap orang agar berhenti sejenak untuk berdoa. Bulan menunggu Radit di kamarnya. Namun, hingga pukul tujuh malam Radit juga belum tiba di rumah. Karena begitu lama, Bulan menelepon Radit untuk menanyakan lokasi keberadaannya. Ternyata suaminya masih menunggu pesanan jus melon di sebuah pusat perbelanjaan yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Suaminya bercerita kalau ia harus berkeliling kota mencari pesanannya itu, karena tempat langganan mereka tidak buka.
Sesampainya di rumah, Bulan berlari menyambut kedatangan suaminya, dipeluknya erat–erat suami yang tadi sore telah dicampakkannya itu. Kini, pria itu tampak begitu manis di hadapannya. Bagi Bulan,Radit adalah suami terbaik yang selalu bisa membuat ia merasa layaknya seorang putri raja. Ia adalah pangeran yang selalu menjadi pemenuhan impian–impian Bulan.
“Dit, aku mencintaimu, maafkan kelakuanku tadi, ya,” bisik Bulan di telinga Radit.
Mendengar itu, hati Radit bergetar, ia memegang kedua bahu Bulan dengan lembut, mendekatkan wajahnya ke paras jelita sang istri, menatap kedua mata Bulan yang amat indah, dan berkata, “Bulan, aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu, sampai kapan pun aku akan tetap mencintaimu, aku juga mencintai pangeran kecil ini dan aku sudah tak sabar mendengarnya memanggilku Papa.”
Radit mengusap sekali lagi perut istrinya yang sedang hamil. Kemudian, ia melekatkan bibirnya ke bibir istrinya. Ia memberikan ciuman yang mesra malam itu kepada belahan hatinya sebagai ungkapan cintanya yang tulus.
***
Seminggu kemudian, Bulan diantar oleh ambulance menuju ke rumah sakit. Ia dibaringkan di brankar. Disisinya ada Radit yang dengan cemas menemani dia yang sekarang sedang berjuang. Wajah pucat bulan dan keringat dingin yang mengucur di wajahnya membuat Radit tak henti– hentinya berharap kepada Tuhan. Sambil memegang tangan sang istri, ia mendoakan doa Salam Maria dengan suara yang lirih. Setibanya di rumah sakit, dokter segera membawa Bulan ke ruang bedah untuk melakukan operasi sesar.
Radit menunggu dengan cemas. Dua jam kemudian, dokter membawa kabar kepada Radit. Ia berkata, ”Bapak, kami sudah berusaha sekuat tenaga tetapi istri bapak tidak bisa terselamatkan, fungsi parunya berhenti karena Covid-19”.
Saat itulah, Radit teringat ciuman mesranya. Ia ingat, hari itu ia memaksa untuk ngantor. Ia ingat, sekarang masih masa pandemi.