Di ujung gang kontrakanku ada sebuah jalan pertigaan dengan lampu redup, lampu kuning seharga limaribuan sepertinya. Gang itu diapit tembok setinggi dua meter. Sudah lumutan dan lumutnya agak mengering. Musim kemarau memang. Lebarnya hanya sebatas ketika aku meregangkan kedua tanganku. Jadi cukup lah untuk lalu-lalang orang melintas jalan kaki. Jalan di gangku itu masih tanah yang beberapa diberi pijakan bebatuan. Tujuannya dulu waktu musim hujan agar tidak licin karena biasanya lumut yang ada di tembok gang itu merambah, berkelakar kemana-mana termasuk ke jalan beralas tanah. Di depan gang nampak persis tembok lagi, agak berbeda karena sudah memakai batako. Kinclong dan putih keabu-abuan. Jalan pertigaan itu standar, yang termasuk kecil hanya jalan gangku itu saja. Di bawah lampunya ada seorang bapak paruh baya berjualan es cincau kadang es doger kadang juga es dawet. Bahkan dulu waktu musim penghujan bapak itu berjualan wedhang ronde, wedhang tape anget, dan kopi hitam. Gerobaknya kecil lagi sederhana, di sebelah kiri bapaknya ada satu bangku panjang tempat para pembelinya menunggu atau sekedar sebagai tempat duduk orang-orang yang berjalan jauh. Kendaraan di sini memang sulit, warga sekitar kebanyakan tak memiliki motor apalagi mobil begitu pun kendaraan umum, bisa di hitung dengan jari berapa yang lewat dalam seminggu. Entah apa sebabnya, pertigaan ini jadi punya layar panggungnya sendiri. Terkadang–bahkan sering–aku sendiri berangkat bekerja dengan berjalan kaki. Untung saja tempatku bekerja tak terlalu jauh. Aku memilih tempat yang agak sunyi ini karena lelah dengan keramaian kota. Biasanya ketika aku berangkat bekerja pagi hari, di pertigaan, pak penjual segala minuman itu–kadang menjual gorengan juga–sudah siap. Seperti menyambut tamu-tamu yang mau ngopi di pagi hari. Meskipun kemarau kegiatan ngopi tak pernah berhenti khususnya pagi, senja, dan malam hari. Padahal ketika malam hari yang jadi pencahayaan hanya lampu limaribuan itu. Bahkan kadang seperti mau mati, berkedip. Biasanya ketika aku lewat entah pak penjual atau pembelinya selalu tersenyum padaku dan aku menimpali dengan sapaan selamat pagi juga senyum tentunya. Mata mereka agak jelalatan setiap pagi aku lewat. Mungkin karena aku selalu pakai rok mini agak ketat, itu juga sudah syarat dari bosku. Tapi aku tak pernah ambil pusing. Aku percaya tempat ini, khususnya pertigaan ini, punya napasnya sendiri, punya hidupnya sendiri. Sederhana dan bersahaja.

 

“Neng, mau berangkat kerja ya?” Sahut salah satu bapak-bapak yang sedang memegang segelas kopi hangatnya.

“Ya pak, saya mau berangkat bekerja. Sudah mengerti gitu lho setiap pagi saya ngapain, kok ya masih ditanyain aja.” Timpalku dengan sedikit tertawa.

Obrolan sebentar itu berlalu, aku sampai di tempatku bekerja lima menit kemudian. Pikirku pertama kali tinggal di sini adalah mengapa di daerah terpencil seperti ini bosku mewajibkan aku memakai rok mini ketat. Pertanyaan itu lambat laun aku lupakan. Toh ya aku masih baik-baik saja sampai sekarang. Kira-kira sudah dua bulan aku di sini. Di kampung yang aku tak tahu namanya.

 

***

Sepulang bekerja, senja hari sekitar pukul lima sore pertigaan ujung gangku itu tetap saja sama. Ramai akan cekikikan para bapak-bapak dan drama sapa antara aku dan mereka selalu terjadi. Selalu. Kadang juga aku tak malu untuk ikut bergabung bersama mereka. Biasanya aku membeli es doger. Es kesukaanku. Setelah mampir sebentar membeli es aku pamit pulang dan mereka mengiyakan. Sampai di kontrakan kira-kira menjelan adzan maghrib. Aku kadang langsung mandi kadang juga masih leyeh-leyeh alias bersantai. Menikmati alur cerita kehidupanku. Selalu dan selalu.

 

***

Suatu pagi setelah berbulan-bulan aku tinggal di sini. Aku memutuskan memberi bapak penjual itu sebuah lampu neon untuk menggantikan lampu yang sudah lama terus berkedip itu. “Tidak usah neng, kami bapak-bapak lebih suka lampu ini. Lebih temaram dari bulan hehehe. Nanti suatu saat kalau lampu ini mati, klimaks panggung juga akan terjadi.”

Mendengar ucapan pak penjual yang aneh itu membuat aku sedikit terbentur. Apa maksudnya, apa mungkin hanya gurauan belaka. Nadanya seperti tak biasa. “Ah sudahlah.” Gumamku dalam hati sambil berjalan menuju tempat bosku. Waktu itu memang pagi hari, sekalian aku bawakan lampu bermaksud agar pak penjual mengganti lampu redup dengan lampu neon yang aku bawa.

 

Aku melihat semakin hari semakin tak berdaya lampu itu. Tapi adegan ngopi dan sapa menyapa masih tak berubah. Hanya lampunya saja. Membuatku penasaran apa maksud si bapak itu.

 

Suatu sore aku lembur bekerja karena bosku sedang pergi katanya entah kemana. Alhasil akulah yang menggarap kerjanya. Aku tak tahu kawan kerjaku siapa karena lingkungan kerjaku seperti di rumah bos itu sendiri. Seperti di ruang khusus sekretaris. Tapi aku tak ambil pusing karena senang dan fokus pada pekerjaanku. Pekerjaanku telah selesai. Aku berjalan menuju kontrakanku. Tak biasanya jalanan sepi setelah maghrib seperti sekarang ini. Tiba-tiba pikiranku buyar. Aku berpikir kenapa tak pernah menjumpai seorang perempuan selain aku di kampung ini. Atau mungkin mereka sering bekerja di dalam rumah. Aku mencoba menepis pikiran yang tidak-tidak itu.

Tibanya di dekat pertigaan itu, aku lihat lampunya semakin sekarat dan hampir mati. Aku melihat bapak-bapak tetap seperti biasa tapi ada satu orang baru di sana. Bosku. Apa yang ia lakukan di situ pikirku. Mungkin cuma ngopi.

Seperti biasa aku ikut nimbrung bersama mereka. Pesan es doger meskipun sudah kelewat maghrib. Ketika aku minum es doger, suasana begitu hening. Hanya suara benturan sendok dengan gelas yang timbul dari gerakan mengaduk yang kudengar. Lampu redupnya semakin redup dan kadang kejang seperti sekarat ingin mati dan tiba-tiba lampu itu benar-benar mati. Aku kaget tapi tak seorangpun dari bapak-bapak itu bersuara. Tetap sunyi. Tiba-tiba napasku sesak, aku sadar mulutku dibekap. Tangan mereka menjulur kemana-mana, tanpa mengeluarkan suara. Angin sepoi berhembus. Dan desah mereka begitu jelas. Aku tak bisa bergerak. Klimaks pertigaan ujung gang itu telah terjadi. Aku tak berkutik sama sekali. Tak dapat melawan di panggung para bapak-bapak yang baru kusadari ternyata mereka tak beristri lagi.

 

 

 

Akhmad Ilham Cahyono. Lahir di Pasuruan, 28 Juni 1998. Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

One thought on “PERTIGAAN UJUNG GANG | AKHMAD ILHAM CAHYONO”

Tuliskan komentar