“Ingat baik-baik, ini bukan untuk engkau gunakan bermain gim,” pesan Maya untuk Bani, anaknya, sambil menyodorkan sekotak ponsel pintar yang baru.
Bani sontak sangat senang. Pasalnya, sudah lama ia merengek dibelikan ponsel pintar dengan alasan untuk keperluan belajarnya sebagai anak kelas II SMP. “Terima kasih, Bu,” balasnya, lantas memeluk ibunya.
Maya pun merasa berharga telah menyenangkan anaknya.
Sebenarnya, sudah sedari dahulu Maya ingin membelikan ponsel pintar untuk sang anak. Meski ia hidup menjanda, ia punya persediaan dana yang memadai untuk sekadar membeli ponsel pintar. Ia punya tabungan yang cukup menjamin keperluannya bersama anak semata wayangnya itu dari hasil kerjanya sebagai pramuniaga di sebuah toko perabotan rumah tangga.
Tetapi sebagai orang tua tunggal, ia khawatir kalau anaknya jadi kecanduan menatap layar ponsel seperti anak-anak tetangganya yang lain. Ia takut kalau anaknya hanya akan menghabiskan waktunya untuk bermain gim dan berselancar di dunia maya. Ia takut kalau sang anak malah melalaikan tugas pokoknya sebagai seorang siswa sekolah
Dari hasil pengamatannya, ia memang meyakini bahwa ponsel pintar memberi pengaruh negatif kepada anak-anak. Buktinya, banyak anak tetangganya yang dahulu berprestasi, kini menjadi berandal karena pengaruh ponsel. Ada pula yang dahulu berlaku jujur, kini mulai suka bohong. Pun, ada yang dahulu bersikap sopan, kini jadi suka berkata kotor dan kasar.
Sebagai satu contoh, seorang siswa, anak tetangganya yang tinggal tepat di samping kanan rumahnya, kini telah berubah drastis akibat ponsel pintar. Anak SMA yang dulunya selalu masuk peringkat tujuh besar nilai terbaik di bangku SD dan SMP tersebut, kini malah terdampar ke peringkat belasan, atau bahkan puluhan.
Di luar perkara sekolah, anak tersebut juga jadi sering keluyuran dengan teman-temannya. Ia pun jadi semakin boros demi segala hal yang dapat ia nikmati di layar kaca. Dan perlahan-lahan, perangainya berubah drastis, hingga ia jadi enteng berkata kotor dengan menyerukan nama-nama hewan atau maki-makian seksual.
Atas kenyataan tersebut, Tina akhirnya jadi begitu enggan membelikan ponsel pintar untuk anaknya. Apalagi, kondisi mental anaknya masih sangat labil di tengah masa-masa pubernya. Ia tahu betul bahwa berada di usia seperti usia anaknya saat ini, berarti berada di puncak ego untuk tampil lebih jago dari orang lain, termasuk dalam hal yang sejatinya negatif.
Tetapi akhirnya, atas rengekan sang anak, juga atas rasa kasihannya melihat sang anak terkucilkan dari pergaulan anak-anak berponsel, ia pun mengesampingkan anggapan negatifnya. Apalagi, sang anak telah menjelaskan dan meyakinkannya bahwa ponsel pintar hanya akan ia gunakan untuk hal-hal yang positif, terutama belajar.
Belum lagi, ia sendiri menyadari bahwa zaman sudah berubah, sehingga ia tak semestinya mengekang kebebasan anaknya untuk berkembang. Teknologi semakin maju, sehingga ia seharusnya memberikan kesempatan kepada anaknya untuk beradaptasi, termasuk memiliki ponsel pintar yang memberikan banyak manfaat di dalam kehidupan.
Terlebih, secara pribadi, Tina sendiri bukanlah orang yang berpikiran dan bersikap tertutup terhadap perkembangan teknologi. Ia tak ingin juga ketinggalan dan gaptek. Karena itu, ia giat belajar demi mahir menggunakan beragam aplikasi media sosial di ponsel pintarnya. Ia bahkan mulai menjajal dunia gim sebagaimana aktivitas teman-teman sekerjanya.
Akhirnya, Tina jadi jago dan semakin suka memainkan layar ponselnya. Setiap kali ada waktu lowong, ia akan berselancar di media sosial atau bermain gim. Selain untuk menghilangkan kepenatan dan menghibur dirinya, ia juga memanfaatkan ponselnya untuk melihat-lihat kehidupan teman-teman lamanya, atau berkenalan dengan orang-orang yang baru.
Hari demi hari, Tina pun menjadi semakin akrab dengan ponsel pintarnya. Ia semakin gandrung bermedia sosial dan bermain gim. Hingga akhirnya, ia memiliki banyak teman di dunia maya, yang memberinya kesempatan untuk mengenal dan mengakrabkan diri dengan seseorang yang entah siapa, yang mungkin bersedia mengakhiri kesendiriannya sebagai seorang janda.
Sampai akhirnya, dua minggu yang lalu, pada daftar saran pertemanan di Facebook, ia pun melihat sosok lelaki yang tampan, sebagaimana yang tampak di foto profilnya. Ia lantas mengamatinya, hingga ia merasa tertarik dengan unggahan-unggahan kalimat-kalimat mesra dari sang pemilik akun. Tanpa menunda waktu, ia pun mengirimkan permintaan pertemanan yang bersambut seketika.
Pada waktu-waktu kemudian, ia pun kerap mengobrol dengan sang pemilik akun di kolom pesan. Tak jarang, mereka berbalas kata-kata mesra yang membuat mereka semakin lekat. Tetapi atas keadaan itu, ia merasa bersalah, sebab ia telah menipu dengan memasang foto profil yang bukan foto dirinya, melainkan foto gadis cantik yang ia pilih secara acak di berkas gambar Google.
Tetapi keintiman yang semakin erat, membuat Tina senang-senang saja. Ia bahkan kerap terkoneksi dengan pemilik akun untuk melakoni gim daring bersama-sama. Karena itulah, ia semakin banyak menghabiskan waktunya untuk permainan-permainan layar kaca. Ia pun semakin banyak menghabiskan uang untuk membeli kuota internet demi menjaga hubungan mayanya.
Namun demi menjaga harga dirinya sebagai orang tua, setiap kali berada di rumah, ia akan senantiasa bersikap tenang saat terhubung di dunia maya dengan sang pemilik akun. Ia jelas tak ingin anaknya tahu perihal aktivitasnya di layar kaca, hingga sang anak balik menilainya sebagai ibu yang ingkar pada kata-katanya sendiri dan tidak memberikan contoh yang baik.
Demi kerahasiaan itulah, belakangan, ia jadi tak keberatan lagi ketika anaknya pamit ke rumah teman-temannya dan nongkrong dalam waktu yang lama, sebagaimana yang semakin sering terjadi, seperti hari ini. Ia suka ketika ia sendiri di rumahnya, sehingga ia jadi bebas untuk meluruhkan kegirangannya setiap kali berbalas pesan atau bermain gim dengan sang pemilik akun.
Hingga akhirnya, sore tadi, sang pemilik akun kembali memintanya untuk bertemu secara langsung, demi mendekatkan diri mereka di dalam dunia nyata. Dengan perasaan cemas, ia akhirnya menyetujui tawaran itu. Ia tak ingin menolak ajakan tersebut untuk ketiga kalinya, sebab ia tak ingin sang pemilik akun kecewa dan malah meninggalkannya pula di dalam dunia maya.
Pertemuan itu pun sepertinya akan baik-baik saja, sebab ia telah meminta syarat agar sang pemilik akun tidak merutukinya saat sang pemilik akun menyaksikan bahwa rupanya jauh berbeda dari tampakannya di Facebook, dan sang pemilik aku juga mempersyaratkan hal yang sama terhadapnya. Mereka pun sama-sama setuju, seolah mereka sama-sama tidak percaya diri.
Sampai akhirnya, malam ini, menjelang jam 8 malam, sebagaimana waktu yang mereka perjanjikan, ia pun tiba di halaman sebuah kafe dengan sepeda motornya. Ia datang dengan dandanan yang sebisa mungkin menutupi raut wajahnya yang cukup berumur, juga menggunakan pakaian sebagaimana yang telah ia perjanjikan. Tetapi atas kecemasannya, untuk sementara waktu, ia pun menutupi tampakannya dengan tetap mengenakan jaket dan masker.
Waktu demi waktu bergulir. Ia terus saja menunggu di halaman parkir sembari mencari-cari keberadaan sang pemilik akun dengan ciri-ciri yang telah dijanjikannya. Ia ingin lelaki itu muncul terlebih dahulu di dalam kafe, lalu ia akan menyusul. Tetapi sayang, sang lelaki tak kunjung terlihat, hingga ia menduga kalau sang lelaki juga melancarkan taktik pemantauan sepertinya.
Akhirnya, sudah 20 menit lewat dari jam 8. Dengan perasaan kalut, ia pun memutuskan untuk muncul terlebih dahulu. Ia lantas masuk ke dalam kafe, kemudian duduk di sebuah kursi. Ia lalu mengurai jaketnya untuk menunjukkan kehadirannya, tetapi tetap mengenakan maskernya untuk merahasiakan wajahnya sementara waktu.
Sejenak berselang, seorang lelaki dengan ciri-ciri pakaian sebagaimana yang telah dijanjikan sang pemilik akun, akhirnya muncul dan menghampirinya.
Seketika pula, Tina terkejut setengah mati.
“Hai,” kata sang lelaki itu kemudian, lantas menyodorkan tangannya untuk berjabat.
“Bani…!” kesal Maya. “Untuk apa kau di sini?”
“Ibu?” tebak Bani, dengan perasaan tersentak, setelah menerka dengan jelas warna suara ibunya.
“Dasar, anak liar! Ini yang kau bilang mau belajar kelompok di rumah temanmu?” hardik Maya untuk mengaburkan kekeceleannya, sekaligus menjaga muruahnya sebagai seorang ibu.
Bani pun jadi kelimpungan.
“Pulang sekarang!” perintah Maya, kemudian berdiri dan menarik tangan anaknya.
Akhirnya, mereka pun beranjak keluar kafe di tengah orang-orang yang tampak keheranan.***