Perempuan Terakhir yang Menunggu di Hulu Hari

Perempuan Terakhir yang Menunggu di Hulu Hari

Star Wars IX

Lihatlah, sayang!
Hulu harimu
menjelma jadi padang tulang.
Di sanalah kutunggu pulangmu.

Tak terhitung sudah
berapa musim aku berdiam.
Bintang-bintang berkabung
sejak ombak menumpahkan raksasa
dari seberang cakrawala.
Bau mesiu menampar fajar
hingga enggan menyingsing.
Dalam pelukan esok yang tiada,
aku memanggil namamu.

Apa kau dengar, cintaku?
Separuh jiwaku?
Apa kau dengar desing peluru
membelah malam?

Apa kau tampak tabun asap
dari gubuk sanak saudaramu?
Apa kau cecap darah
yang mengucuri dada
anak-anak tak berdosa?
Apa kau rasa gigilku
ketika tiga raksasa
bergiliran menindihku?
Sakitmukah sakitku?

Kupandang tawang yang memerah.
Perlahan, rintik-rintik kenangmu
menghujaniku:
Kita pernah menyambut senja
di dermaga.
Dan pangkuku
pernah jadi tempatmu melukis mimpi.

“Rey, orang-orang kampung
dibutakan takhayul.
Suatu saat
aku akan menaklukkan samudra
dan membuka mata mereka.
Ikutlah bersamaku,” katamu.

Maaf, kasih!
Kakiku terbelenggu kultus.
Dua dasawarsa silam,
daratan yang kupijak
meniupkan napas
kala tubuhku terbujur dikepung maut.
Kelak, jasadku dimintanya.
Aku menggelengkan kepala:
Tidak sebelum aku mencium seluruh tubuhmu.

Di mana kau berada?
Ingatkah kau kepada kampungmu,
hulu harimu sebelum bermuara
di antah berantah?

Biarlah semua orang berpulang.

Aku masih menunggumu.

Tangerang, Awal Tahun 2020