Perempuan Tanpa Tumpuan

Perempuan Tanpa Tumpuan

Pembayun: Perempuan Tanpa Tumpuan 1

Lewat tengah malam, mobil van berubah menjadi kemah. Ketika semua anggota grup musikmu bersiap tidur, terdengar suara ketukan. Eyang membuka kaca jendela perlahan. Ia terkejut melihat sepasang mata di hadapannya.

“Selamat malam, Tuan, maaf mengganggu waktu istirahat kalian,” kata orang itu.

Eyang segera turun dari mobil van.

“Oh, apa benar pemuda yang berdiri di hadapan hamba kini adalah Ki Ageng Mangir Wanabaya?”

“Rupanya Anda sudah tahu. Tidak perlu lagi saya memperkenalkan diri.”

Eyang bertanya, “Ada hal yang bisa saya bantu hingga Ki Ageng repot-repot datang ke sini?”

“Pasti Anda juga sudah dengar tentang perayaan yang akan digelar lusa. Saya berniat mengundang kalian untuk memeriahkannya nanti.”

“Tentu saja, dengan senang hati kami akan memenuhi undangan Ki Ageng,” Eyang menjawab tanpa ragu.

“Satu lagi. Telah saya siapkan gandok di Dalem Mangiran. Tinggallah di sana. Kasihan dia,” katanya sambil menunjukmu, “harus tidur di kursi sepanjang malam.”

“Terima kasih, Ki Ageng, kami akan segera ke sana.”

Pembayun: Perempuan Tanpa Tumpuan 1

Baru Klinting, seorang panglima pasukan Mangir, membuka perayaan dengan sebuah sambutan.

“Panen yang melimpah dan kedaulatan yang kita genggam hingga sekarang adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Tentunya juga berkat kerja keras rakyat Mangir yang tinggi kehormatannya. Di hadapan Tuhan kita semua setara. Setiap jengkal Tanah Mangir dan semua yang hidup bersamanya tak akan tunduk kepada siapa pun di dunia.”

“Selamat malam, tuan dan nyonya. Perkenalkan nama saya Sarah. Semoga tuan dan nyonya berkenan turut berdendang bersama,” katamu di hadapan masyarakat Mangir.

Lagu demi lagu dilantunkan, tepuk tangan dan nyanyian bersahutan. Di keramaian itu matamu tertuju pada barisan punggawa Perdikan. Bukan. Hanya seorang: Wanabaya.

“Untuk mengakhiri pesta malam ini, izinkanlah saya mengundang Ki Ageng untuk bernyanyi bersama,” katamu seraya menatap Wanabaya penuh keyakinan.

Sorak-sorai penonton membuat Wanabaya kehilangan pilihan untuk bilang tidak. Larik-larik lagu pun kalian nyanyikan bergantian.

“Terima kasih, Sarah,” Wanabaya memberikan tanda untuk berhenti, lantas memandang satu per satu anggota grup musik.

Wanabaya mengusap keningmu dengan ibu jarinya serta berucap, “Cukup untuk hari ini, beristirahatlah. Jika kau tak keberatan, aku akan mengajakmu berkeliling perdikan besok pagi.”

“Dengan senang hati, Ki Ageng.”

Pembayun: Perempuan Tanpa Tumpuan 1

Kepalamu membatu setelah menjawab pertanyaan itu tanpa ragu.

Kalian berkeliling dengan sepeda motor berjok merah. Kamu bahkan tidak menyangka Wanabaya membawamu ke gelanggang luas di kaki bukit. Laki-laki dan perempuan berlatih menggunakan senjata. Mereka juga berlatih menembak burung-burung yang terbang di atas bukit.

“Ki Ageng, apakah mereka bersiap untuk perang?” tanyamu.

“Bukankah setiap saat prajurit harus siap?”

“Benar, Ki Ageng, kedaulatan negeri tak boleh dipertaruhkan.”

“Ingatlah, Sarah, tak ada sejarahnya Ronggeng Jaya Manggilingan kalah dalam perang.”

Kamu terdiam seraya memandang lalu-lalang kuda.

Wanabaya bertanya, “Sarah, bisakah kau berkuda?”

“Saya pernah mencobanya.”

“Kalau begitu, tunggu apa lagi?”

Wanabaya menggandeng dua ekor kuda.

“Sarah, Sarah.”

Kamu diam.

“Sarah!” Wanabaya memanggilmu lebih keras.

“Ya, Ki Ageng?”

“Sedari tadi kau memanggilku Ki Ageng, memangnya kau mau dipanggil Nyai Ageng?”

Kamu justru menjawab, “Sesuka hati Ki Ageng saja. Apa pun itu akan saya terima.”

Seseorang dari kejauhan berteriak keras memanggil Wanabaya. Wanabaya menghampiri asal suara itu dan kamu mengikutinya.

“Wanabaya, siapa gadis yang bersamamu itu?” tanya Baru Klinting.

Wanabaya menjawab, “Kakang, perkenalkan, namanya Sarah.”

“Nona, perkenalkan dirimu, dari mana asalmu?” Baru Klinting bertanya kepadamu.

“Perkenalkan, Tuan, saya Sarah, vokalis grup musik indie dari Kadiri.”

Baru Klinting terdiam sebentar, lalu seperti teringat siapa dirimu.

Kamu menunduk, memberi hormat, lantas mendongak kembali.

“Jauh dari timur sana, untuk apa kau datang kemari?” Baru Klinting menginterogasi.

“Grup musik kami berpentas dari kedai ke kedai, dari dusun ke dusun. Tiada niat apa pun, Tuan, selain untuk menyajikan musik,” jawabmu.

“Kita perlu bicara, Wanabaya.”

Baru Klinting meninggalkan gelanggang. Wanabaya mengikuti langkah cepatnya, sedangkan kamu berdiri di tepi lintasan sendirian. Cukup lama kamu menunggu hingga Wanabaya selesai berurusan dengan Baru Klinting.

“Sarah, bolehkah aku berbicara dengan eyangmu?” tanya Wanabaya.

“Maksud Ki Ageng?” air mukamu bingung sekaligus khawatir.

“Aaah, aku hampir lupa menanyakannya kepadamu. Aku ingin melamarmu. Bolehkah?”

Wanabaya menatapmu penuh harap.

“Tentu, tentu saya akan menerimanya,” jawabmu dengan wajah serupa tomat.

Kamu resmi menjadi bagian dari masyarakat Mangir. Empat purnama usia rumah tangga kalian. Tepat di bawah jantungmu, tumbuh buah hatimu dengan Wanabaya.

Di halaman belakang Dalem Mangiran, Eyang menghampirimu.

“Putri Pembayun, jangan terlalu lama kau terlena dengan sandiwara rumah tangga ini. Bawalah Wanabaya ke hadapan Panembahan Senapati.”

“Bagaimana bisa aku menyerahkan nyawa suamiku sendiri?”

Eyang lantas pergi dengan van ke timur laut. Tidak tenang hatimu hingga kamu tak sadar suamimu datang menghampiri.

“Kakang!” jantungmu tak teratur.

“Apa yang kaurisaukan, Diajeng? Kenapa murung begitu?” suamimu khawatir.

Kamu mengatakan, “Aku ingin mengakui satu hal.”

“Apa pun itu, untuk kebahagiaan istri dan calon putraku.”

“Kakang, rumahku bukan di Kadiri.”

Suamimu bertanya, “Lantas di mana kau lahir dan dibesarkan?”

“Pembayun namaku, dari Mangir ke arah timur laut, menyeberangi empat sungai.”

“Ke Timur Laut. Menyeberangi empat sungai? Bedog, Winanga, Code, dan Gajah Wong?” suamimu bertanya.

“Maafkan aku, Kakang,” Tangismu pecah. Seorang putri sulung Panembahan Senapati merayap di tanah, bersujud di kaki suami.

Di tengah wacana ekspansi Mataram, kau mengalami kendala yang cukup merepotkan. Tidak semua wilayah yang kau jajah tunduk dengan sukarela, bahkan setelah kau mengerahkan berkompi-kompi pasukan untuk menyerang. Sehingga, kau menggelar rapat di Pura Mataram.

“Penyerangan ke wilayah Mangir tak ada hasilnya,” kau membuka pembicaraan.

“Kemungkinannya sangat kecil,” kata Adipati Mandaraka.

Kau menyelidiki, “Ki agengnya begitu belia. Apa rahasianya?”

Adipati Mandaraka membalas, “Dalam pertempuran dia tidak sendiri. Baru Klinting, panglimanya, tak kalah bersinar.”

Kau berkata, “Kita perlu siasat baru.”

“Pendekatan diplomasi akan berpeluang lebih besar dibanding menyerang secara langsung.”

Kau kembali bertanya, “Diplomasi macam apa maksudmu?”

“Anda bilang, Ki Ageng Mangir masih sangat muda. Bagaimana jika kita adukan dengan lawan yang juga muda?” kata Adipati Mandaraka.

“Siapa?”

“Putri Anda.”

“Ide bagus. Apa rencanamu?”

“Diplomasi seni. Kabarnya musik tengah populer akhir-akhir ini,” Adipati Mandaraka menambahkan.

Kau mengangguk tipis, lantas berkata kepada seorang pengawal, “Sampaikan ke Pembayun, minta dia menemuiku nanti.”

Pembayun: Perempuan Tanpa Tumpuan 1

Suatu malam, kau pergi ke kedai dekat jembatan bersama Baru Klinting. Kau sibuk menyimak musik yang melantun di sana. Tak nyana dengan beraninya kau jatuh cinta. Suara perempuan itu membawa angan-angan masa depan yang gilang-gemilang ke dalam kepala seorang bujang yang bahkan belum pernah mengenal wanita. Kau lantas mengundang mereka.

Sehari setelah perayaan, kau mengajaknya berkeliling perdikan. Kau tunjukkan setiap sisi Mangir. Di gelanggang kau sempat berbicara empat mata dengan Baru Klinting.

“Wanabaya luluh hatinya oleh seorang perempuan. Perang belum usai, tapi kau justru bersenang-senang. Apakah pantas semacam itu?” tanya Baru Klinting tajam.

“Kakang Baru Klinting, segala cita-cita perdikan aku usahakan sepenuh tenaga. Tidak akan aku berhenti berjuang hingga sukma meninggalkan raga,” kau membela diri.

“Di hadapan leluhur, apakah kau bisa bersumpah bahwa kau akan tetap memperjuangkan perdikan?”

“Wanabaya akan selalu membela perdikan.”

“Pergilah, Wanabaya, mintalah Sarah kepada walinya. Janganlah bersikap seperti bujang tak tahu aturan. Tunjukkan bahwa dirimu memang lelaki yang patut memilikinya,” kata Baru Klinting.

Kau menikahi Sarah dengan suka cita. Kalian menjadi keluarga bahagia. Hingga muncul sebuah pengakuan yang sulit kauterima.

“Pengecut, Senopati Pengecut! Tak mampu mengalahkanku di medan pertempuran, lantas tega menjadikan putrimu sebagai umpan,” kau mengutuk-ngutuk udara.

“Kakang, lahir dan dibesarkan di keraton adalah takdir bagiku. Akan tetapi, fakta bahwa aku adalah istrimu tak akan pernah berubah.”

“Eyangmu? Grup musik kala itu?” kau bertanya.

Istrimu menjawab, “Mereka bagian dari rencana Ayahanda.”

“Telik Sandi?” kau melangkah mundur, menjauh dari sujud istrimu.

“Bakti setiaku kepada suami, juga kepada perdikan.”

Baru Klinting menyadari kegaduhan rumah tangga kalian sehingga dia datang membawa amarah.

Baru Klinting bertanya kepada istrimu, “Van kuning melintasi jembatan. Hendak pergi ke mana eyangmu itu?”

“Van itu pergi ke Mataram. Dia, istriku, berdarah Mataram, putri pertama permaisuri,” kau katakan dengan susah payah.

“Wanabaya! Pandanglah wajahnya untuk terakhir kali,” kata Baru Klinting sembari melepas keris dari warangka.

Istrimu bersumpah di hadapan Baru Klinting: “Aku bersumpah di atas Bumi Mangir, cintaku tulus kepada suami, setiaku kepada perdikan.”

“Bohong! Kau biarkan eyangmu itu pergi ke Mataram. Untuk apa?” kata Baru Klinting.

Istrimu menjawab: “Untuk menyampaikan pesan kepada Ayahanda bahwa putri sulungnya bersama suami akan datang meminta restu.”

“Hari ini bala tentara Mataram berbaris menuju selatan. Apa tujuan Senopati?” Baru Klinting mencari penjelasan.

Istrimu menjelaskan, “Dengan Sarpa Kurda, Ayahanda berniat menghadang bala tentara Mangir. Pasukan Mataram dari utara akan melingkar untuk menyapu perdikan dan seluruh serikatnya.”

“Sudah terlambat. Terlambat aku menyadari. Kita tidak waspada, Kakang Baru Klinting. Istriku bersalah. Kakang berhak menghukumnya. Bahkan bila kau ingin bunuh dia. Satu syarat dariku, tanam jasadnya bersanding dengan bangkaiku di bawah beringin Lapangan Mangir,” kau berkata sambil menarik Sarah ke belakang bahumu.

“Sudah sewajarnya begitu, Wanabaya! Tak usah berlagak kesatria,” kata Baru Klinting sambil memasang kembali keris ke warangka.

Kau bertanya kepada istrimu, “Di medan perang, melawan Mataram, di mana kau akan berpihak?”

“Kepada suamiku, Kakang Wanabaya, dan perdikan Mangir. Di mana pun dan kapan pun juga.”

“Pastikan yang keluar dari mulutmu itu bukanlah dusta. Bukankah begitu Pembayun, putri Mataram?” Baru Klinting bertolak pinggang.

“Pembayun, istri Ki Ageng Mangir,” istrimu mengoreksi.

Baru Klinting segera mengumpulkan prajurit Mangir: “Kerahkan seluruh pasukan untuk menyerbu benteng Mataram. Kibarkan tinggi panji-panji Mangir. Kabarkan kepada Mataram, Ki Ageng Mangir dan istrinya akan menghadap Senapati. Siapkan senjatamu, Wanabaya. Nyai Ageng, setialah pada sumpahmu!”

“Ya,” istrimu mengangguk.

Pembayun: Perempuan Tanpa Tumpuan 1

Kau pandai berencana. Cita-citamu luhur. Tetapi, Impianmu pupus setelah dengan lugunya kau masuk perangkap. Di pangkuan istrimu, kau terbelah dua. Setengah musuh Panembahan Senapati, setengah lagi menantunya. Sedangkan dia, istrimu itu, tak lagi diperhitungkan dalam agenda keluarga.***