Tak banyak kenangan tersisa tentang Sugiarti Siswadi, penulis yang juga aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ia peduli terhadap literasi anak dan vokal dalam soal pemberdayaan perempuan.
DALAM presentasinya pada Konferensi Nasional I Lembaga Sastra di Medan, Sumatera Utara, 22-25 Maret 1963, penyair Sugiarti Siswadi mendengungkan satu hal yang belum banyak dilirik di dunia literasi ketika itu: sas traanak. Bagi dia, membahas literatur anak sama pentingnya dengan membicarakan. edukasi sastra. “Saat kebanyakan orang Lembaga Kebudayaan Rakyat menyuarakan revolusi di lapangan, Sugiarti ma sek ke ranah keluarga,” ujar peneliti karya Sugiarti, Fairuzul Mumtaz, saat dihubungi, Selasa, 27 April lalu. Sugiarti diketahui sebagai anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) setelah terpilih dalam Kongres I Lekra pada 1959 di Solo, Jawa Tengah. Walau Sugiarti aktif di Lekra, tak banyak literatur partai politik yang menjelaskan kiprahnya sebagai penulis. Ia hanya diketahui menulis Sorga Dibumi yang berisi 42 halaman-tak jauh berbeda dengan tuku propaganda dan terbitan partai politik. Namun, pada 30 November 1965, lima tahun setelah Sorga Dibumi terbit, pemerintah melarang peredaran buku itu karena menganggapnya bermateri paham komunisme.
Fairuz-sapaan Fairuzul-mulai meneliti Sugiarti pada 2012 untuk tesisnya di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. la semula tertarik pada buku Lekra Tidak Membakar Buku yang ditulis Muhidin M. Dahlan. Buku itu menyiratkan banyaknya penulis di tubuh Lekra. Tapi yang mengherankan, hanya ada segelintir penulis perempuan. Salah satunya Sugiarti, yang menurut Fairuz lebih produktif ketimbang kebanyakan penulis lelaki Lekra.
Dari situlah Fairuz mulal menyusuri jejak Sugiarti, yang karyanya banyak dimuat Harian Rakjat, koran Partai Komunis Indonesia. Di harian itu, cerita pendek karangan Sugiarti sering muncul Menurut Fairuz, karya Sugiarti memberi warna berbeda di antara karya penulis Lekra lain karena menyoroti persoalan yang jarang diperhatikan orang. Suatu waktu, misalnya, Sugiarti menulis fiksi tentang anak kecil yang menjadi asisten rumah tangga. Majikannya seorang perempuan yang memiliki kesadaran feminisme. Alkisah, bocah itu bekerja seenaknya. Namun bosnya tak marah karena sadar, bagaimanapun, si asisten masih belia.
Cerita pendek lain dari Sugiarti mengisahkan demonstrasi di Boyolali, Jawa Tengah. Dalam aksi itu, ada tiga anggota Lekra yang “turba” atau turun ke bawah berbaur dengan masyarakat desa. Namun, bila mereka membicarakan hal-hal yang kerat dan berbau konfrontasi, Sugiarti memotret dari sudut pandang berbeda. la menggambarkan pergerakan itu dari perspektif hubungan ibu dan anak yang kuat. “Relasi ibu anak itu selalu diproduksi Sugiarti dalam karya-karyanya, dan itu membuat tulisannya berbeda dengan kebanyakan penulis zamannya,” ucap Fairuz.
Penyair Ni Made Purnama Sari menilai Sugiarti sebagai penulis dengan spektrum luas dan beragam. Sugiarti, yang mempunyai nama pena Damairia saat menulis puisi terkadang juga menerjemahkan karya penulis dari Balkan. Menurut Purnama, cara bertutur Sugiarti dalam tulisannya terasa renyah, berbeda dengan kebanyakan karya penulis Lekra yang sifatnya realis sosialis sehingga kerap gagal dalam puisi. “Kalau menurut istilah Bakdi Soemanto, Sugiarti sudah sampai pada tahap estetik dirinya sendiri,” kata Purnama, yang meneliti Sugiarti untuk proyek Ruang Perempuan dan Tulisan.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]
Sugiarti juga kritis dalam soal isu ketimpangan gender. Dalam sejumlah karyanya, Sugiarti menafsirkan posisi perempuan dalam konteks sosial, agama, juga budaya. la pernah menulis bahwa perempuan “ke neraka ngikut, ke surga hanya menumpang”. Pernyataan itu terkait dengan kritik Sugiarti tentang status perempuan dalam budaya patriarkal yang sulit mendefinisikan diri sendiri.
Namun, dalam kesempatan lain, Sugiarti menyuguhkan karakter perempuan kuat, seperti dalam cerita pendek bertajuk “Pengadilan Tani”. Dalam cerpen yang lahir dari hasil turbanya ke Klaten, Jawa Tengah, itu, ada tokoh bernama Mbok Karti, janda miskin beranak satu yang berutang kepada lintah darat. Walau terseret ke pengadilan, Mbok Karti melawan sekuat-kuatnya demi anaknya. “Berbeda dengan Rukiah (S. Rukiah) yang memunculkan sisi keibuan dalam karyanya dan menghargai ranah domestik, Sugiarti lebih berfokus pada perempuan yang berdaya di ruang publik,” tutur Purnama.
Melacak Sugiarti Siswadi
Walau kiprah Sugiarti di Lekra cukup kinclong, tak mudah bagi Purnama dan Fairuz melacak jejaknya. Selama dua tahun meriset, Fairuz mengaku kesulitan melacak biografi Sugiarti. Dalam buku Sorga Dibumi, data pengarangnya tak lengkap. Buku kumpulan cerpen dan puisi Gelora 26 pun hanya mencatat secuil identitasnya. Tak ada penjelasan pula apakah nama “Siswadi” itu merujuk pada nama asli, suami, atau ayahnya. Yang jelas, kata Fairuz, nama belakang itu dipakai Sugiarti saat memenangi sebuah kompetisi. Di situ juga terungkap alamat pemenang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun apakah itu alamat kediaman Sugiarti, Fairuz tak mau berspekulasi.
Begitu pula majalah Api Kartini yang memuat karya-karya penyair Lekra, termasuk Sugiarti. Majalah bulanan itu tak memberikan informasi data diri Sugiarti. Di majalah itu, Sugiarti, yang menjabat redaktur, pernah menyadur karya pengarang buku anak tersohor asal Denmark, Hans Christian Andersen. Yang menurut Fairuz menarik, terjemahan Sugiarti dibumbui narasi tambahan yang memuat kepentingan organisasi, misalnya nasihat agar selalu jujur dan perjuangan melawan penguasa.
Fairuz mengaku sempat mengusut sejarah hidup Sugiarti ke (almarhum) Abdul Kohar Ibrahim, anggota Lekra yang eksil ke Belgia dan tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Namun, dari korespondensinya dengan Kohar, tak banyak informasi yang bisa digali. Kohar mengaku hanya sekali berjumpa dengan Sugiarti, yakni dalam salah satu kegiatan organisasi. “Saya mendapat kesan beliau sedikit menutup-nutupi info soal Sugiarti: Sebab, saat membicarakan hal lain, Pak Kohar banyak bercerita. Namun saat saya singgung lagi soal Sugiarti, tidak ada jawaban yang berarti,” ujarnya.
Penelusuran jejak Sugiarti juga dilakukan Fairuz ke Hersri Setiawan, 79 tahun, aktivis Lekra yang tinggal di Yogyakarta. Dari Hersri-lah Fairuz mendapat sedikit pencerahan mengenai keluarga Sugiarti Siswadi. Menurut Hersri, yang menulis buku Memoar Pulau Buru, Sugiarti mempunyai dua anak lelaki. Rumahnya diduga berada di dekat kampus Islam di Yogyakarta, tapi tak jelas apakah itu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga atau Universitas Islam Indonesia. Putri Hesri menyebutkan ingatan ayahnya sedang tak baik.
Keterangan Hersri penting lantaran ia menjadi sekretaris Sugiarti saat menggarap acara peringatan ulang tahun Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) I pada 26-30 Agustus 1965 di Hotel Duta Indonesia, Jakarta, Hersri mengaku mengobrol dengan Sugiarti sembari duduk-duduk dan membalik-balik naskah kumpulan lagu Betawi dan daerah lain. Selain Sugiarti, di situ ada penulis perempuan lain, S. Rukiah. Hal itu dituliskan Hersri dalam Memoar Pulau Buru. ketika
Menurut Purnama, memori Hersri itu menunjukkan vitalnya posisi Sugiarti di Lekra. Terlebih dalam KSSR perdana yang digelar pada 27 Agustus 2 September 1964 Sugiarti ikut memberikan sambutan. Ketika itu Sugiarti Membicarakan pentingnya pendidikan ideologi untuk mendorong kelahiran karya bermutu tinggi. Sebelum aktif di Lekra, Hersri mengenal Sugiarti saat bersama-sama di Front Nasional. Di Front, Sugiarti banyak berperan dalam bidang kaderisasi dan membuat banyak silabus pendidikan politik. Baik Hersri maupun Sugiarti Siswadi tergolong getol dalam hal gerakan turba ke desa-desa.
Purnama mendapatkan informasi itu saat menjumpai Hersri di Yogyakarta pada 2019. Dalam wawancara itu, Hersri didampingi istrinya, Ita F. Nadia, karena ingatannya mulai lumpuh akibat beberapa kali terserang stroke. Itu pula yang membuat kenangan Hersri tentang Sugiarti patah-patah. “Sampai sekarang saya tidak tahu kapan Sugiarti lahir dan di mana beliau sempat tinggal,” kata Purnama. Ada yang mengatakan kota kelahiran Sugiarti adalah Yogyakarta, tapi ada juga yang menyebutkan Solo. Namun pengajar di Universiteit van Amsterdam, Belanda, Saskia Wieringa, yang pernah berjumpa dengan Sugiarti, menyebutkan sang penulis meninggal sekitar 1984.
Perempuan mantan aktivis Ikatan Persatuan Pelajar Indonesia yang pernah menjadi tahanan politik di Semarang, Mamik, mengatakan kepada Fairuz bahwa ada kecenderungan eks tahanan politik berpindah domisili setelah bebas dari bui. Fairuz menduga Sugiarti sempat dibui pada 1965-1966 di Semarang hingga akhirnya hijrah ke Yogyakarta bersama keluarganya. “Tapi mungkin, saking traumanya pada peristiwa di masa lalu, ia dan keluarganya memilih menarik diri dari publik,” ucap Fairuz.
*) Dimuat di majalah Tempo pada 1 Mei 2021