Menu

Penulis Perempuan yang Terselip | Anindita S. Thayf

Penulis Perempuan yang Terselip

Judul Lengkap: Karya-karya Lengkap Sugiarti Siswadi: Hayat Kreatif Sastrawan Lekra

Penulis: Fairuzul Mumtaz

Penerbit: I: BOEKOE

Tebal: 344 hlm

Ukuran Buku: 14 cm x 21 cm

 

Apa yang diperlukan perempuan dalam menulis? Atas pertanyaan itu, novelis Inggris, Virginia Woolf, memberikan jawaban: uang dan ruang pribadi. Menurut dia, penulis laki-laki seperti Shakespeare bisa menghasilkan karya babon lantaran memiliki dua hal tersebut. Sebaliknya, kaum perempuan tidak memilikinya. Hidup seorang perempuan lebih banyak diisi kesibukan seputar urusan domestik. Namun, bila seorang penulis perempuan sudah memiliki dua hal tersebut, akankah itu bisa menjamin karyanya diakui? Ternyata tidak. Dalam dunia patriarkal, penulis perempuan mesti menghadapi dominasi penulis laki-laki pula.

Salah satu bentuk dominasi yang terjadi berhubungan dengan proses penulisan sejarah sastra yang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan bisa saja memiliki uang dan ruang pribadi, sehingga mampu menghasilkan karya hebat. Tapi kadang kala dia tak mampu menghindar dari penenggelaman sejarah. Serupa itulah yang terjadi pada Sugiarti Siswadi, penulis perempuan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang namanya terselip (diselipkan?) dalam lipatan sejarah sastra Indonesia, sehingga ia tak pernah dibicarakan.

Kisah Sugiarti yang ditulis oleh Fairuzul Mumtaz dalam bukunya, Karya-karya Lengkap Sugiarti Siswadi: Hayat Sastrawan Kreatif Lekra, memberikan harapan baru. Buku ini berusaha meneliti jejak Sugiarti sebagai penulis perempuan yang namanya menghilang dari khazanah sastra Indonesia. Berdasarkan arsip-arsip milik Harian Rakjat dan Api Kartini, Fairuz berusaha mengkonstruksi ulang sosok Sugiarti.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]  

Hasilnya, lewat pisau new historicism, terurailah karya-karya dan peranan Sugiarti dalam sastra Indonesia pada era 1950-1960-an. Bila melihat Sugiarti yang cukup produktif berkarya hingga menghasilkan 17 cerita pendek, 5 puisi, dan 2 buku kumpulan cerpen, sungguh mengherankan namanya bisa terselip. Dalam buku-buku rujukan sejarah sastra Indonesia, seperti Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw dan Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (4 jilid) karya H.B. Jassin, nama Sugiarti tidak ditemukan. Padahal, selain menjadi penulis, Sugiarti merupakan anggota teras Pengurus Pusat Lekra.

Dengan posisinya itu, semestinya nama Sugiarti tak semudah itu hilang dari gelanggang sastra. Nyatanya, penulis perempuan Lekra yang namanya kerap muncul hanyalah S. Rukiah. Roland Barthes pernah mempostulatkan bahwa, begitu karya tercipta, biografi pengarang tak penting lagi. Namun, di sinilah letak masalahnya: bagaimana seumpama ketidaktahuan atas biografi seorang pengarang menyebabkan ketidaktahuan terhadap karyanya pula?

Dalam kasus Sugiarti, ketiadaan biografi tentangnya sekaligus melenyapkan keberadaan karya-karyanya dalam jagat sastra Indonesia. Sugiarti seolah-olah terkubur jauh di perut bumi. Kerja yang dilakukan Fairuz dalam bukunya tersebut adalah semacam usaha untuk melakukan dua penggalian hal sekaligus: biografi dan karya-karya Sugiarti. Selain keterlibatannya dalam Lekra, satu hal menarik dari Sugiarti adalah kepeduliannya terhadap sastra anak.

Sementara penulis Lekra lainnya disibukkan oleh urusan buruh dan tani, Sugiarti memilih memusatkan perhatiannya pada peran sastra anak. Baginya, masa kanak-kanak merupakan masa terpenting dalam perkembangan manusia. Lantaran itu, dibutuhkan bacaan-bacaan berkualitas yang bisa dinikmati dengan baik oleh anak-anak. Merajalelanya bacaan anak-anak buatan Amerika di Indonesia sangat mengkhawatirkan bagi Sugiarti.

Bisa dikatakan, pandangan Sugiarti perihal membentuk dunia anak yang ideal cenderung menyerupai konsep pemikiran H.C. Andersen dibanding pemikiran penulis-penulis aliran realisme sosialis yang lebih menaruh perhatian pada perjuangan kelas buruh-tani melawan pemilik modal. Sugiarti juga banyak menulis tema seputar perempuan. Sementara penulis perempuan masa kini lebih menitikberatkan tema yang memperkarakan otonomi tubuh, Sugiarti memilih tema peranan perempuan dalam perjuangan rakyat dan melawan dominasi patriarki. Karya-karya Sugiarti tentang buruh dan tani (dua tema wajib penulis Lekra) lebih kuat aroma propagandanya.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/resensi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Resensi Suku Sastra[/button]  

Sebaliknya, karya Sugiarti yang bertemakan perempuan terasa lebih sederhana, tapi subtil. Puisi berjudul Wanita, umpamanya, tanpa diksi yang agitatif mampu menyuarakan gugatan perempuan terhadap budaya patriarki. Pun, puisi berjudul Kebebasan. Kedua karya tersebut berbeda dengan karya-karya Sugiarti bertema buruh dan tani yang kuat memancarkan amarah, gugatan, dan konfrontasi ala Lekra, sebagaimana yang terdapat dalam cerpen Upacara Pemakaman dan Pengadilan Tani.

Sebagai buku pertama tentang biografi dan karya-karya Sugiarti yang relatif komprehensif, karya Fairuz ini layak dibaca sebagai referensi tambahan perihal sejarah sastra Indonesia. Sayangnya, meski Fairuz berhasil melacak hampir semua karya Sugiarti, dan menampilkannya pada bab tambahan buku, masih ada celah pada biografi Sugiarti. Ada masa-masa hidup Sugiarti yang hilang, yaitu sebelum dia bergabung dengan Lekra dan apa yang terjadi padanya setelah peristiwa 1965.

Tampaknya, penulis hanya terpatok pada data yang ada dan tidak melakukan pelacakan lebih jauh, sehingga yang tampil hanyalah sepenggal kisah Sugiarti. Terlepas dari kekurangan yang ada, karya Fairuzul Mumtaz perlu diapresiasi. Kehadiran buku ini bisa menjadi pendorong bagi para peneliti sastra untuk mulai mengulik dan melacak seumpama masih ada penulis perempuan lain yang masih terselip dalam lipatan sejarah sastra Indonesia.

Penyelidikan tentunya tidak hanya terbatas pada masa Lekra, tapi bisa juga merambah ke masa-masa yang lebih lama, seperti zaman sastra peranakan Tionghoa, periode sastra Indo, kurun Balai Pustaka, hingga periode roman-roman picisan Medan. Dengan kerja-kerja seperti itu, diharapkan sejarah sastra Indonesia tidak lagi didominasi penulis laki-laki. Dan, bila kerja-kerja itu berhasil, penulis perempuan diharapkan bisa ikut tampil dalam jagat sastra, bukan sekadar menjadi—meminjam nukilan sajak Sugiarti—: “Bunga pajangan/Yang layu dalam jambangan.”

Sumber: http://bit.ly/2kNDnCN

Tuliskan komentar