TAFSIR PUISI MANASUKA M. FAIZI
Jumat, 6 Juli 2018 di Ruang Seminar
Taman Budaya Yogyakarta, pukul 20.00 WIB-Selesai.
Lembaga Seni & Sastra Reboeng (LSSR) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta didukung oleh Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Peluncuran dan Diskusi Buku Tafsir Puisi Nyalasar karya M. Faizi. Buku berjudul Nyalasar itu berisi 29 esai tafsir puisi manasuka M. Faizi terhadap karya-karya penyair Indonesia. Yang dikerjakan pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura ini merupakan wujud kesadaran mengapresiasi puisi sebagai bahan pembelajaran bagi generasi muda dan orang awam mengenal puisi dalam rangka menumbuhkan kreativitas berkarya.
Penyelenggaraan acara Peluncuran dan Diskusi Buku Tafsir Puisi Nyalasar karya M. Faizi sedianya akan diselenggarakan pada Jumat, 6 Juli 2018 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. M. Faizi akan hadir dalam acara ini selaku pembicara bersama penyair kawakan Yogyakarta, Iman Budhi Santosa dan santri Pondok Pesantren Annuqayah yang juga penyair, Bernando J. Sujibto. Diskusi akan dipandu guru Bahasa Indonesia yang sekaligus juga penyair, Umi Kulsum. Beberapa puisi dalam buku Nyalasar akan disajikan dalam pertunjukan musik puisi oleh Faradila Totoy.
“M. Faizi dikenal luas sebagai seorang penyair dengan puisi yang kuat menegaskan eksistensi dirinya hingga ke manca negara. Sebagai kiai, penampilannya sederhana dan merakyat, bahkan lebih suka menempuh perjalanan dengan naik bis. Namun, di balik itu semua ia adalah salah seorang penulis andal. Selain puisi, ia juga menulis esai. Kali ini Lembaga Seni dan Sastra Reboeng tertarik dengan esai-esainya tentang puisi para penyair Indonesia yang ditulis dengan piawai, khas tanpa teori yang membuat dahi berkerut, ringkas, sederhana, dan menukik,” ungkap Nana Ernawati, Direktur Lembaga Seni & Sastra Reboeng.
Nana Ernawati menambahkan, “Buku yang berjudul Nyalasar ini berisi tafsir terphadap puisi 31 penyair Indonesia, yakni karya Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Iyut Fitra, Joko Pinurbo, Raudal Tanjung Banua, Jamil Massa, Nuryana Asmaudi SA, Made Adnyana Ole, Nana Ernawati, Zeffry J. Alkatiri, Rudi Fofid, Iman Budhi Santosa, Abdul Washid B.S., Malkan Junaidi, Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Sahlul Fuad, Binhad Nurrohmat, Anis Sayidah, Dedy Tri Riyadi, W.A.A. Ibrahimy, Kim Al Ghozali A.M., Abdul Wahid Hasan, Ishack Sonlay, Ahmad Faisal Imron, Nanang Suryadi, Aly D. Musyrifa, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, Paox Iben, dan Yuli Nugraheni. Setiap puisi diparafrasekan, disertai dengan dengan komentar atau ulasan singkat untuk lebih mengerucutkan pemahaman pembaca terhadap setiap puisi. Kami berharap para pembaca menyukai dan dapat memetik nilai dari kerja tafsir puisi ini.”
Penyair Iman Budhi Santosa berpendapat, “Interpretasi puisi karya M. Faizi menarik dicermati ketika tidak banyak sastrawan, kritikus, dosen, guru, yang melakukan upaya seperti itu. Artinya, coba membawa puisi ke ranah yang lebih benderang dengan tafsir yang jujur sehingga pembaca mafhum mengenai arti maknanya dengan jelas. Elan vital seperti ini, tentulah berkat dorongan semangat “kekiaian” yang telah mendarah daging pada dirinya. Tak ubahnya guru yang selalu ingin membantu dan berbagi ilmu kepada siapa pun yang ingin belajar mengenai ilmu pengetahuan, dan kehidupan alam semesta. Kebahagiaan seorang kiai maupun guru adalah ketika dia mampu “memberi” kebaikan dan pencerahan kepada masyarakat atau umatnya.”
Mustofa W. Hasyim, selaku ketua Studio Pertunjukan Sastra menyambut baik upaya yang dilakukan Lembaga Seni dan Sastra Reboeng dengan menerbitkan salah satu buku karya M. Faizi ini. Menurut Mustofa, “Apa yang telah dikerjakan oleh M. Faizi ini merupakan perwujudan dari anjuran pemerintah untuk meningkatkan tradisi literasi di masyarakat, terutama generasi muda. Latar belakang M. Faizi sebagai pengasuh pondok pesantren tentu tak bisa dilepaskan dari kegiatan belajar mengajar. Tradisi tafsir Al Quran maupun tafsir kitab yang lainnya tentu saja menarik ketika diterapkan untuk menafsir karya sastra yang dalam hal ini adalah puisi. Madura sebagai latar belakang M. Faizi memiliki tradisi kesastraan yang melekat seperti garam bagi lidah orang-orang setempat. Perpaduan metode dakwah keagamaan dengan sastra ini tentu saja bukanlah hal yang baru di sana.”
“M. Faizi yang selama hidupnya karib dengan pesantren pernah menempuh pendidikan di IAIN (UIN) Sunankalijaga Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada. Suasana dan iklim bersastra di Yogya tentu sedikit maupun banyak mempengaruhi proses kreatifnya hingga saat ini. Perpaduan Yogyakarta dan Madura inilah yang menjadi representasi dari M. Faizi,” imbuh Mustofa.
- Faizi tergolong sebagai penulis yang produktif. Buku-buku yang telah dihasilkannya selain Nyalasar antara lain 18+ (2003), Sareyang (2005), Rumah Bersama (2007), Permaisuri Malamku (2011), Merentang Sajak Madura Jerman (2013), Kopiana (2014), Beauty and The Bis (2018), Celoteh Jalanan (2017), Ruang Kelas Berjalan: Catatan Perjalanan dari Terminal ke Terminal (2018). Nyalasar yang berarti menyerut kayu atau menghaluskan kayu (memasah: Jawa) dipraktikkan oleh M. Faizi untuk ‘menghaluskan’ pemahaman terhadap puisi. Diharapkan pembaca akan terbantu dalam memahami makna dan arti sebiji puisi lewat panduan M. Faizi yang menyenangkan dalam buku terbarunya ini.