Sebentar lagi Papa ulang tahun. Sebagai wujud terima kasih kepada Papa, Andromeus ingin memberi hadiah istimewa buatan tangannya sendiri. Satu-satunya di dunia. Sebagaimana Papa juga satu-satunya orang di dunia yang telah membesarkannya seorang diri selama dua puluh tahun.
Andromeus lahir dari hasil perbuatan laknat seorang perempuan alpha yang memerkosa Papa, lelaki omega yang berhati serapuh sayap kupu-kupu. Seperti anjing berahi yang telah menandaskan nafsunya, perempuan itu pergi begitu saja. Papa melahirkan Andromeus di semak belukar, dibantu sebarisan semut hitam dan sekelompok tupai, dalam perjalanan pulang dari kantor. Perempuan alpha keparat itu bahkan tidak repot-repot mencari tahu tentang Andromeus. Papa tidak pernah bercerita, Andromeus juga tidak peduli. Andromeus sendiri baru tahu tentang kelakuan perempuan itu dari buku harian tua milik Papa. Buku itu ditemukan di balik salah satu rak buku ketika sedang beres-beres.
Bagi Andromeus, Papa adalah segalanya. Pusat semestanya. Lelaki itu mengajarkan semua hal yang ia tahu. Tentang dunia, tentang lelaki dan perempuan, tentang tubuhnya. Papa telah melalui banyak hal, tapi tak satu kali pun ia menyalahkan Tuhan atau pemerkosanya. Namun, itu tak memberangus kebencian Andromeus terhadap perempuan. Dari sananya mereka memang diciptakan sebagai makhluk bangsat yang tugasnya menjerumuskan lelaki sehingga wajar saja ada masanya lelaki memasung kebebasan mereka. Sekarang, atas nama omong kosong feminisme, para sekutu ular itu kembali memberontak dan Papa menjadi bagian dari kerusakan kolateral yang mesti menanggung aib.
Namun, setelah beberapa kali berinteraksi, Andromeus sadar Maya sungguh-sungguh pernah diperkosa. Meski oleh sesama perempuan, tetap saja pemerkosaan itu keji dan merampas hak seorang manusia untuk merasa aman.
Anehnya, Papa tidak membenci perempuan. Ia bahkan pernah beberapa kali berkencan dan membawa pulang pacarnya dan memperkenalkannya pada Andromeus. Papa berdalih tidak ingin menyembunyikan apa pun dari putranya. Dan, setiap kali, hubungan Papa kandas secepat ia memulai.
Andromeus tak kuasa menghentikan Papa meski hatinya ikut perih. Bagaimanapun, Papa cuma manusia biasa yang butuh teman hidup, peran yang tak akan pernah bisa dipenuhi olehnya.
Hingga Papa memperkenalkan Maya, seorang perempuan omega yang ia kenal dalam komunitas penyintas kekerasan seksual. Sama seperti Papa, Maya juga pernah diperkosa perempuan alpha, dan persamaan nasib itulah yang menyatukan mereka. Andromeus semula curiga itu hanyalah akal-akalan Maya untuk mendekati Papa secara emosional. Namun, setelah beberapa kali berinteraksi, Andromeus sadar Maya sungguh-sungguh pernah diperkosa. Meski oleh sesama perempuan, tetap saja pemerkosaan itu keji dan merampas hak seorang manusia untuk merasa aman. Senyum ramah dan perangai halus Maya pada Andromeus tak bisa menutupi sorot matanya yang kelam bak batu nisan di permakaman.
Suatu pagi, Maya datang ke rumah dan mengajak Papa pergi ke suatu tempat. Ia ingin mengajak Papa membeli hadiah yang bisa dipilih sendiri. Mereka pamit dan meninggalkan Andromeus di dalam studio kecil tempat ia biasa bergulat dengan tanah liat, imajinasi yang sering mandek, dan perlengkapan butsir yang bertemperasan di lantai.
Andromeus menghabiskan waktu berjam-jam membutsir tanpa menghasilkan apa pun selain versi tiga dimensi dari lukisan kubisme Picasso. Ia mencuci tangan, lalu membanting lap ke kursi dan pindah ke sofa kulit penuh sobekan di seberang meja putar. Ibu jarinya menggulir layar, mencari-cari inspirasi di Instagram. Sebuah iklan menarik perhatiannya.
Tampak siluet samping sesosok perempuan dengan rambut terurai, kepala bertanduk menengadah, payudara bulat menantang, serta ekor berujung tajam mengelilingi tulisan. Berharap bisa mendapatkan inspirasi, Andromeus berangkat ke tempat itu.
Seorang resepsionis bertubuh sintal dan jangkung berdiri menyambut Andromeus. Andromeus mematung. Matanya terarah pada kancing blus si resepsionis yang mati-matian berjuang melindungi sepasang gundukan lembut sumber ketidakwarasan kaum Adam. Pikirannya bergentayangan ke balik bra-bra tipis berenda sehingga tak mendengarkan penjelasan resepsionis itu.
“…. Galeri terbagi menjadi dua ruangan. Di ruang pertama, pengunjung dipersilakan mewarnai patung dengan alat-alat yang telah disediakan. Ruangan kedua merupakan ruang gelap untuk memberikan pengalaman sensori kepada pengunjung. Di ruangan ini, pengunjung boleh menyentuh patung. Pengunjung dilarang mengambil foto atau video ….”
Andromeus tak lagi memedulikan si resepsionis karena isi ruang galeri begitu menakjubkan. Patung-patung porselen dan gips menyapa Andromeus sesaat setelah ia menginjakkan kaki di dalam. Lamia mengedipkan mata. Siren meniupkan ciuman sebelum berdendang. Centaur berdiri dengan dua kaki kudanya sembari menyilangkan tangan manusianya demi memamerkan dada liat penuh bulu keemasan yang telah diwarnai oleh pengunjung sebelumnya. Mereka berebut ingin menyentuh Andromeus, tak segan menepuk bokong dan sengaja mengelus dadanya hingga menyentuh puting yang tak lebih besar dari telur cicak.
Tak terima dilecehkan beramai-ramai oleh patung, Andromeus balas meremas bokong Gorgon bersaudara dan menangkup payudara Harpy. Kemudian ia menuang beragam warna ke palet dan membawa beberapa kuas berkeliling ruangan. Ia menggambar sulur di torso Sphinx, berawal di payudara sebelah kiri dan berakhir di payudara sebelah kanan. Punggung Sphinx melengkung bagai busur Artemis dan tubuhnya menggelinjang. Andromeus lalu beralih pada Cyclops yang sejak tadi telah bersimpuh memohon-mohon untuk diwarnai. Ia fokus menggambar di sekitar puting dan pusar hingga raksasa itu melenguh dan pori-porinya mencucurkan butir-butir peluh.
Puas membalas dendam, Andromeus meninggalkan ruangan pertama diiringi protes patung-patung lain yang tidak kebagian jatah dipuaskan. Ia memasuki ruangan kedua yang gelap dan hening, berjalan selangkah demi selangkah dengan tangan terulur ke depan. Ia meraba-raba udara kosong seperti meraba gadis yang tak menarik.
Sepercik aroma mawar merayu hidungnya. Andromeus mengikuti ke mana aroma itu menuntun sampai tangannya menyentuh lekuk otot bulat sempurna. Bokong. Andromeus mencari belahannya dan menenggelamkan wajah di sana, berharap menemukan salah satu rahasia kenikmatan bercinta. Lengannya melingkari pinggul, tangannya beralih ke depan, bergerak dari paha lalu merangkak naik, menemukan gada yang dapat meremukkan kesucian perempuan mana pun. Tangan Andromeus yang lain meneruskan perjalanan ke atas, menapaki dataran keras tempat para perempuan bersedia berbaring dan berpasrah diri. Desahan lirih membakar telinga Andromeus, mendidihkan libido yang sedari tadi hanya suam kuku. Andromeus merasa berada di surga dunia, siap terisap pusaran badai air mani yang sanggup melelehkan lutut.
Andromeus kembali berpindah ketika aroma lain muncul menjanjikan tubuh yang lebih elok. Perpaduan bau kulit dan pohon cedar. Ia mengira-ngira apakah Hercules tengah menguarkan feromonnya dan Andromeus adalah binatang ketiga belas yang harus ditaklukkan. Andromeus berhenti, sadar tengah menatap sang lingga meski dalam gelap. Aroma pohon cedar semakin kuat memasung Andromeus. Berahi menyentak saraf-saraf tubuhnya hingga ia kepayahan mengendalikan roman wajahnya yang mulai mirip penderita stroke. Andromeus menggesek-gesekkan hidungnya di sana seperti para perempuan yang percaya pada takhayul kekuatan Si Jago. Ia berharap dengan begitu pikirannya dapat melahirkan ide fantastis soal hadiah yang bisa ia buat untuk Papa.
Berniat mencari patung lain, Andromeus bergeser mundur dan berbalik, lalu menabrak seseorang. Lengan orang itu melingkari pinggang sekaligus menopang punggung. Tonjolan-tonjolan otot padatnya mencengkeram tubuh kerempeng Andromeus. Rasa ternikmat yang pernah dicecap seluruh indra Andromeus, jauh lebih nikmat dari patung-patung sebelumnya.
“An … dro?”
Andromeus mengeluarkan desah tertahan ketika mendengar suara yang lebih berat dari lubang hitam yang mengisap sisa-sisa kekuatannya, lalu meniupkan api pada berahinya yang mulai mendingin. Ia ingin mendekap, mencium, dan bercinta dengan suara itu hingga parau. Ketika lampu akhirnya kembali menyala, Andromeus tercekat.
Papa menunduk dan menaungi Andromeus dari siraman cahaya. Jari-jari sekokoh kayu jati merangkul pundaknya, mengirimkan gelenyar hingga ke bilik-bilik jantung, memompa darah ke bawah. Andromeus menarik baju menutupi selangkangan, ngeri jika sampai ia “mimisan” dan membasahi celana.
“Kok … kok Papa tahu ini Andro?”
“Hmm … perasaan aja, sih. Papa yang besarin kamu, mandiin kamu. Minggu kemarin aja kita masih tidur bareng.”
Suara tawa Papa berderai menerangi jantung Andromeus yang berdebar karena silaunya. Napasnya tercekat ketika ia mencoba menahan cahaya itu agar menyatu dengan jiwanya.
Di dekat pintu keluar, Maya asyik berbincang dengan makelar barang seni sembari melipat-lipat kertas tanda terima. Seakan mendengar isi kepala Andromeus, Papa menjelaskan.
“Maya membelikan Papa patung Apollo sebagai hadiah ulang tahun sekaligus hadiah pertunangan.”
Bulan kecemburuan mendadak purnama. Andromeus sontak mencengkeram punggung baju Papa yang tak kuasa membendung otot-otot kekar nan padat di baliknya ketika lelaki itu memamerkan cincin di jari manis.
“Tadi pas makan siang, Maya melamar Papa. Rencananya Papa mau kasih tahu nanti aja pas rayain ulang tahun, tapi Papa enggak sabar mau bilang ke kamu.”
Papa sangat bahagia dan ingin berbagi kebahagiaan dengan putranya. Namun, Andromeus tak bisa menyambut perasaan itu.
Berhari-hari Andromeus mengurung diri di studionya tanpa makan dan minum. Ia mengamati patung tanah liat yang kini mulai kehilangan setengah bentuknya setelah kering. Andromeus kini tahu apa yang harus ia buat. Ia ingat semuanya. Rasa dan bentuknya. Ia telah menyentuh dengan tangan dan tubuhnya.
Andromeus mulai mengusap, memutar, membelai, menekan, dan menambahkan tanah liat di lekuk-lekuk yang ia suka. Ia mengikis, memotong, dan mengukir agar setiap liuk membentuk otot jantan sama persis dengan yang asli. Sesekali ia berhenti untuk menatap dan meraba. Andromeus menggunakan tubuhnya sendiri sebagai pengukur. Ah, sungguh pengalaman bercinta kali pertama yang tak terlupakan. Ia mengerahkan segenap jiwanya sewaktu membentuk wajah Papa. Garis rahang, alis, mata, hidung, dan terakhir bibir. Disekanya dengan ibu jari lalu dikecupnya perlahan. Sayang ia bukanlah Tuhan yang dapat memberi napas kehidupan.
“Papa …”
Dan luka pun membara seperti matahari pukul lima sore.1***
Catatan:
1 Diambil dari puisi Federico Garcia Lorca yang berjudul “Lament for Ignacio Sanchez Mejias”