Pastu korban atau korban pastu.
Pastu korban atau korban pastu.

“Pastu” Oka Rusmini: Korban Pastu atau Pastu Korban

Kalau Tugeg menyakiti perempuan lain, Hywang Widhi akan memuntahkan seluruh pastu, kutukannya padamu!” kata-katanya selalu terdengar penuh amarah. Makin dewasa aku makin paham arti kata-kata itu. (Cerpen “Pastu”)

Waktu dengan segala peristiwanya, orang-orangnya, dan ragam suasananya sejatinya tidak pernah berlalu. Ia akan mengikutimu lebih lekat dari bayanganmu sendiri. Apalagi peristiwa itu adalah peristiwa menyakitkan yang tak tertanggungkan. Ia akan menghantuimu pada masa-masa setelahnya, bahkan bisa jadi sepanjang hidupmu. Memori terkait peristiwa menyakitkan itu akan memengaruhi caramu melihat dirimu sendiri (the self) dan dunia sekitar (the other). Itulah kesan yang didapatkan ketika membaca sekilas cerpen “Pastu”karya Oka Rusmini.

Tokoh utama Dayu Cenana digambarkan mengalami trauma karena peristiwa tragis beruntun yang dialaminya semasa kecil. Hidup Cenana yang diwarnai berbagai kematian menyebabkannya tidak bisa menjalin hubungan asmara atau pun seksual dengan laki-laki, yang dalam pandangannya adalah sumber segala petaka yang dia alami. Cenana bahkan belum menikah di usia menjelang empat puluh tahun meskipun dia telah mapan dan berparas cantik. Begitu murung hidup yang dialaminya sehingga dia menyebut keadaan yang dialaminya sebagai pastu (kutukan).

Membaca cerpen “Pastu”, pembaca akan segera menaruh iba dan simpati kepada Cenana, apalagi mengingat bahwa dia adalah seorang perempuan dan sebatang kara. Namun, bagaimana jika bukan itu yang sebenarnya terjadi? Bagaimana jika sebaliknya: Cenana bukan korban, tetapi berlagak seperti korban (playing the victim)? Bagaimana jika pastu itu hanyalah tameng untuk menutupi kesalahan besar lain yang diperbuatnya? Untuk membongkar apa yang mungkin tersembunyi itu, tulisan ini menggunakan konsep unreliable narrator James Phelan yang didefinisikan ulang oleh Ansgar F. Nunning.[1] Nunning memusatkan reliabilitas (reliability)narator tidak hanya pada teks, tetapi juga pada penulis (real author) dan kerangka konseptual yang dibawa pembaca (real reader) saat berhadapan dengan teks.

Cerpen “Pastu” menggunakan teknik penceritaan orang pertama (first-person narrative) dengan narator sekaligus sebagai tokoh utama dalam cerita (autodiegetic narrator dalam istilahnya Gerard Genette). Posisi narator sebagai karakter yang langsung mengalami peristiwa (the experiencing self) memiliki klaim kebenaran atau autentisitas yang tinggi, tetapi subjektivitasnya sebagai pencerita (the narrating self) bisa berarti sebaliknya. Dengan kata lain, keterbelahan narator antara the narrating self dan the experiencing self ini membuka ruang pertanyaan soal reliabilitas cerita. Narator bisa saja memanipulasi cerita untuk tujuan tertentu atau pun menyampaikan sebuah fakta untuk menutupi fakta lainnya.

Ada sebuah rangkaian peristiwa yang berulang dalam cerita dan hanya terjadi pergantian tokoh yakni Suami (seorang dokter) mencintai wanita lain // Suami meninggalkan istri // Istri patah hati dan mabuk-mabukan // Istri bunuh diri. Adapun tokoh-tokoh yang berganti yakni suami: Aji diganti Pasek, wanita lain: janda beranak dua diganti wanita yang tidak disebutkan dalam cerita, dan istri: Dayu Westri diganti Cok Ratih. Berbeda dengan yang pertama, pada rangkaian kedua, narator tidak menyebutkan siapa wanita yang menjadi orang ketiga di antara hubungan Pasek dengan Cok Ratih. Mengingat kedekatan keduanya,  Cok Ratih bisa dikatakan tidak mungkin tidak menceritakan soal orang ketiga ini kepada narator. Dugaan ini semakin diperkuat oleh kebungkaman narator tentang Cok Ratih yang tidak pernah menceritakan soal sosok orang ketiga tersebut. Di sini, narator telah menghilangkan elemen yang seharusnya ada dalam cerita (omitting/elipsis). Narator biasanya melakukan elipsis karena peristiwa tersebut mungkin terlalu menyakitkan untuk diceritakan.[2]

Dalam term memori dan trauma, elipsis berkaitan erat dengan konsep represi (repression). Sigmund Freud menjelaskan represi sebagai mekanisme pertahanan psikologis yang terkait erat dengan upaya untuk menyingkirkan materi yang mengancam secara emosional dari kesadaran (conscious).[3] Pertanyaannya, mengapa narator menghilangkan sosok wanita yang pada akhirnya menyebabkan Cok Ratih bunuh diri? Besar kemungkinan karena wanita itu tidak lain adalah narator sendiri. Kenyataan bahwa dialah orang ketiga yang menyebabkan sahabatnya bunuh diri sangat berat dan tak tertanggungkan bagi narator. Kerena itu, dia memilih untuk menyalahkan trauma atau pun pastu untuk menutupi kenyataan yang dihadapinya atau playing the victim. Mengambil posisi sebagai korban sangat menguntungkan. Korban secara moral selalu benar, tidak memikul tanggung jawab dan kewajiban apa pun, dan berhak atas simpati.[4]

Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa narator tidak lain adalah wanita yang menyebabkan Pasek berpaling dari Cok Ratih. Pertama, tidak ada wanita lain dalam cerita yang menarik hati Pasek selain narator. Bahkan Pasek pernah melakukan tindakan ekstrem dengan memepetkan tubuhnya ke tubuh narator dalam sebuah acara gala dinner. Ketertarikan Pasek ke narator ini juga terlihat dalam kutipan berikut.

Hyang Jagat! Di tengah situasi berat seperti ini, Pasek diam-diam mulai merayuku. Dia terlihat genit. Menjijikkan. Berkali-kali dia menawarkan diri untuk mengantar pulang, menjemput, atau makan siang denganku. Aku tidak melihat keprihatinan di matanya.

Dugaan di atas semakin diperkuat dengan pernyataan narator: “Semua orang pun mengira, Pasek akan berbagi cinta.” Di sini, kita bisa melihat sudut pandang cerita dari tokoh selain narator. Sudut pandang tokoh lain ini penting untuk membuka kemungkinan lain atau kebenaran lain dari cerita. Kata “mengira” menunjuk kepada sebuah dugaan. Sebuah dugaan muncul karena ada fakta-fakta yang memungkinkannya. Fakta-fakta ini bisa berupa sikap maupun hubungan antara Pasek dengan narator yang menunjukkan ada cinta di antara mereka. Selain itu, kutipan ini muncul dalam konteks Cok Ratih yang selalu berbagi dengan narator. Muncul pertanyaan ketika tiba-tiba narator beralih ke Pasek. Jika melihat kalimat-kalimat sebelumnya, seharusnya narator akan menyebut Cok Ratih yang kemungkinan berbagi cinta dengan narator, bukan Pasek. Pandangan tokoh lain dan pergantian ke Pasek ini mendukung dugaan bahwa memang ada cinta antara Pasek dan narator.

Selain itu, narator juga menyebutkan:

Yang membuat aku panas, Pasek menyebar gosip bahwa akulah yang tertarik padanya. Ya. Hyang Jagat. Senista itukah aku? Tertarik pada lelaki menjijikkan seperti Pasek? Aku memang lajang, kadang-kadang rindu memiliki kekasih. Pengalaman hidup mengajarkanku, jangan pernah mengusik dan bermain api dengan lelaki milik perempuan lain. Bagaimana kalau Cok Ratih tahu? Siapa yang akan percaya? Aku atau suaminya? Aku memejamkan mata. Makin hari, keinginanku untuk kawin makin jauh.

Kita tidak boleh serta-merta menerima begitu saja pernyataan narator di atas. Pasalnya, kita tidak bisa mengetahui pasti apakah narator atau Pasek yang berbohong karena kenyataan dalam cerita hanya bisa kita ketahui dari sudut pandang narator, yang reliabilitasnya perlu dipertanyakan. Namun, seseorang dengan trauma masa kecil yang berhubungan dengan keberengsekan lelaki akan cenderung memilih lelaki berengsek karena dia mengidentifikasikan cinta dengan keberengsekan.4 Dalam konteks ini, narator mengidentifikasi cinta dan lelaki dengan sosok ayahnya yang tega meninggalkan ibunya demi janda lain, dan Pasek memiliki kriteria itu. Pasek digambarkan sebagai sosok lelaki dengan perangai buruk yang tidak peduli dengan keadaan istrinya. Pasek bahkan tidak mengetahui bahwa istrinya telah tewas bunuh diri, membengkak dan membusuk selama seminggu di kamar mandi. Melihat hal ini, bisa jadi gosip itu benar adanya meskipun narator menolaknya dengan menyebut Pasek sebagai lelaki menjijikkan.

Pertanyaan tentang konsep korban dalam psikologi modern selalu melibatkan tarik-menarik antara nature dan nurture, antara takdir dan pilihan. Seseorang yang melakukan playing the victim akan lebih menyalahkan takdir daripada mengambil tanggung jawab penuh atas keadaan yang dihadapinya. Inilah yang terjadi pada narator dalam cerpen “Pastu”. Dia memilih menyalahkan takdir yang disebutnya sebagai kutukan (pastu) daripada mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi. Narator mengambil sikap bahwa apa yang terjadi pada dirinya sekarang adalah hukuman atas perbuatannya di masa lalu (karma). Konsep karma menjadi penting mengingat cerita ini berlatarkan agama Hindu. Karma dipahami sebagai keadaan yang menyebabkan siklus kausalitas, yaitu bahwa yang dialami manusia sekarang merupakan buah dari perbuatannya di masa lalu. Seseorang yang pernah mencuri, suatu saat akan mengalami hal serupa. Dalam karma, ada perulangan dan pembalikan. Pelaku suatu saat bisa menempati posisi korban dalam peristiwa serupa. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada rangkaian peristiwa berulang dalam cerita yang hanya berganti tokoh. Namun, ada satu tokoh yang tidak disebutkan yakni pengganti ‘wanita lain’. Jika dilihat dari konsep karma, jawabannya mengarah ke narator sendiri. Narator sangat menekankan untuk pantang menyakiti seorang perempuan, baik dari ucapannya sendiri maupun mengutip perkataan karakter lain dalam cerita. Narator meyakini, perbuatan menyakiti perempuan lain inilah yang menyebabkan hidupnya sengsara.

Hal ini bisa dilihat dalam kutipan berikut.

“Kalau Tugeg menyakiti perempuan lain, Hyang Widhi akan memuntahkan seluruh pastu, kutukannya padamu!” kata-katanya selalu terdengar penuh amarah. Makin dewasa aku makin paham arti kata-kata itu.

Frasa ‘makin paham’ dalam kutipan di atas menunjukkan dua hal, yakni narator pernah melihat orang lain mengalami atau dia mengalami sendiri. Jika merujuk kepada keadaan narator yang melihat hidupnya sebagai pastu, frasa ‘makin paham’ lebih condong ke penafsiran kedua, yaitu bahwa narator mengalaminya sendiri. Pertanyaannya, siapa perempuan yang disakiti oleh narator? Meskipun tidak disebutkan dalam cerita, perempuan yang paling mungkin tersakiti adalah perempuan yang paling dibenci narator. Jawabannya mengarah ke janda beranak dua yang menyebabkan sang ayah meninggalkan sang ibu yang berbuntut pada kematian demi kematian dalam hidup narator. Jika demikian, sebagaimana konsep karma, narator akan menggantikan posisi janda beranak dua pada rangkaian kedua. Dengan kata lain, narator tidak lain adalah wanita yang menyebabkan Pasek berpaling dan berbuntut pada bunuh diri Cok Ratih.

Sikap playing the victim dari narator ini juga terlihat dari alur cerita. Narator tidak mengawali kisahnya dengan memperkenalkan diri, tetapi mendeskripsikan penderitaan yang dialaminya, tentang hidup yang begitu menyiksanya: “Hidup hanya bisa menguliti, menyamak, juga menuangkan beragam racun ke seluruh napasku.” Adapun perkenalan diri dilakukan narrator di tengah cerita, setelah pembaca memahami apa yang dialaminya. Kemalangan hidup yang dialami narator mendahului identitasnya. Narator seakan ingin pembaca mengenalinya dari sudut gelap hidupnya, sebagai korban atas keadaan lingkungan yang membesarkannya.

Narator mengawali ceritanya dengan mengajukan pertanyaan yang dialamatkan langsung kepada pembaca. “Percayakah kau bahwa di dunia ini tidak ada kebahagiaan?” Dengan kalimat pertama ini, narator seakan menggelar panggung antara dirinya dengan pembaca. Narator membangun keintiman dengan pembacanya sehingga cerita terkesan berjalan seperti sebuah curhatan seseorang kepada sahabatnya dalam kamar tertutup. Tindakan ini menunjukkan upaya narator untuk meraih simpati dari pembacanya.

Ada satu lagi yang menarik terkait dengan playing the victim yang dilakukan narator, yaitu sikap narsistiknya. Di sini, pengarang (real author) seakan memberikan petunjuk lain bahwa narator memang melakukan playing the victim. Menurut Phelan, unreliable narrator pada akhirnya merupakan keinginan atau konstruksi dari penulis fiksi itu sendiri. Penulis memberikan semacam petunjuk yang membantu pembaca mempertanyakan reliabilitas narator.

Dibandingkan dengan individu-individu yang kurang narsistik, individu narsistik lebih sering melihat diri mereka sebagai korban ketika terjadi masalah dalam hubungan sosial.[5]Dalam cerpen “Pastu”, narator menunjukkan sikap narsistik. Sikap narsistik itu terlihat dari kegemaran narator memenuhi ruangan-ruangan rumahnya dengan cermin sehingga dia bisa melihat dirinya setiap saat. Hal itu terlihat jelas dalam kutipan berikut:

Belakangan ini aku hobi sekali berdiri di depan cermin. Rumah kecilku pun kusulap penuh kaca. Aku hobi sekali memandang diriku melakukan beragam aktivitas.

Di ruang tamu kupasang kaca besar. Aku bisa menyaksikan tubuhku, tampangku yang bermalas-malasan di sofa sambil minum teh atau kopi, lengkap dengan camilan.

Di ruang makan, kupasang juga kaca besar. Aku bisa menonton diriku menghirup jus buah setelah senam atau yoga.

Di ruang tidur justru lebih parah! Sekeliling dinding kamar tidur kupasangi kaca. Jadi aku suka melihat diriku tertidur santai, kadang sampai terkantuk-kantuk.

Dinding kamar mandi pun kupasangi kaca semua. Aku bisa melihat seluruh tubuhku yang telanjang. Ternyata masih indah untuk usia menjelang 40 tahun.

Narator secara tidak langsungmenegaskan bahwa apa yang dialaminya merupakan pastu atas dosanya di masa lalu. Narator ingin menyampaikan bahwa dia dengan segala kemalangannya adalah korban pastu. Sikap ini diambil narator untuk menutupi kenyataan lain bahwa dialah sebenarnya orang ketiga yang menyebabkan Pasek berpaling dan berujung pada bunuh diri sahabatnya, Cok Ratih. Narator memilih sikap playing the victim daripada mengambil tanggung jawab penuh atas apa yang dialaminya. Dengan kata lain, narator mengambinghitamkan pastu untuk menutupi kesalahannya sendiri.***


[1] Nunning, Ansgar F. 2005. Reconceptualizing Unreliable Narration: Synthesizing Cognitive and Rhetorical Approaches dalam A Companion to Narrative Theory edited by James Phelan and Peter J. Rabinowitz. USA, UK, Australia: Blackwell Publising.

[2] Bal, Mieke. 2017. Narratology: Introduction to the Theory of Narrative. Fourth Edition. Toronto, Buffalo, London: University of Toronto Press.

[3] Schacter, Daniel L. 2001. The Seven Sins of Memory: How the Mind Forgets and Remembers. Boston, New York: Houghton Mifflin Company.

[4] Zur, O. 2008. Rethinking ‘Don’t Blame the Victim’. Journal of Couples Therapy.

[5] Fatfouta, R. & Rogoza, R. 2024. Playing the Victim? Facets of Narcissism, SelfPerceived Victimhood, and the Mediating Role of Negative Affect. Advances in Cognitive Psychology, 20(2), 92-97