Menu

OTT | Cerpen Rita Nuryanti

OTT | Cerpen Rita Nuryanti | Sumber: https://www.merdeka.com/

 

Gempar. Warga padukuhan Manggisan  mendadak heboh dengan  berita,   Marni, anak Mak Wiji, terjaring OTT ketika mencoba menyuap pejabat penting di  kabupaten.

“Sudah baca Sorot Kota belum?” Bu Sri membuka kran pembicaraan ketika belanja di warung Mak Surip.

“Masalah OTT?”  sahut Dini. “Semalam di pos ronda menjadi topik hangat layaknya issu di televisi.”

“OTT, apa sih?” Mak Surip memotong.

“OTT itu, Operasi Tangkap Tangan. Artinya,  tertangkap basah ketika sedang menyuap!”  kata Bu Sri.

“Kok gitu ya? Untung saya tidak terkena OTT ketika menyuap Menik. Aneh  ya,  anak kecil tidak boleh disuap?”

“Mak Surip…, Mak Surip! Bukan itu!” Bu Sri melempar pandangan pada Dini. “Menyuap itu memberi pelicin atau sogokan  agar keinginannya terwujud dengan mudah walaupun melanggar hukum!”

Mak Surip mengangguk.

“Sudah, Mak! Belanjaan saya, semua berapa? Pagi-pagi sudah ngrumpi!” Bu Sri dan Dini undur diri.

Mak Surip sendirian. Pikirannya melayang pada Mak Wiji, teman senasib  dalam kehidupan. Bedanya, Mak Surip menggantungkan hidup dengan berjualan sayuran, sedangkan Mak Wiji  sebagai buruh nyuci.

Mak Surip menghempaskan napas panjang. Sesama janda Mak Surip dapat merasakan kepiluan yang menghantam Mak Wiji. Dari ketiga anaknya, hanya Marnilah harapan  bergantung di hari tua. Nyatanya? Marni terancam masuk bui.

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

Mak Surip  segera menutup pintu. Dengan langkah terburu kakinya  menuju rumah Mak Wiji. Jantung Mak Surip berdetak semakin kencang tatkala melihat kerumunan pemuda seakan membentengi rumah Mak Wiji.

“Ada apa ini? Ayo  minggir! Semoga kamu tidak apa-apa, Wiji!” Mak Surip berteriak sekuat tenaga menyibak jalan dan menyeruak  ke dalam. “Wiji…!!!” Mak Wiji yang tengah mengurai air mata didekap erat. Keduanya berpelukan, suara tangis keras mengguncang.

“Sudahlah, Mak! Jangan berkepanjangan. Kita cari solusi untuk menolong Marni!” Bu RT yang sejak awal  mendampingi Mak Wiji berusaha mendinginkan.

“Bagaimana Marni  bisa…, OTT ya?” bisik Mak Surip.

“Kamu tahu, Marni jadi pembantu wong mblegedhu, orang kaya raya,” dengan terbata Mak Wiji bercerita. “Lumayan, aku sering dapat kiriman uang. Tapi kok…, huaaa…!!!” Mak Wiji kembali meluapkan tangis.  “Katanya, Marni akan bebas  jika dalam dua hari dapat mengembalikan uang limapuluh juta.”

“Mak…,” dengan lembut Bu RT membelai Mak Wiji. “Warga Manggisan itu satu tubuh! Satu sakit, lainnya ikut merasakan. Para pemuda dan pengurus dusun siap mencari donatur untuk meringankan beban Marni. Mak berdoa ya?”

“Aku ikut!” Mendengar kata mencari sumbangan, Mak Surip bangkit. “Akan kudatangi para juragan dan pedagang di pasar!”  Tanpa menunggu jawaban, Mak Surip segera beranjak.  Langkah Mak Surip diikuti para pemuda. Mereka segera mengatur strategi agar target tidak sekedar mimpi.

Petang datang menjelang. Warga  berkumpul di balai dusun. Uang Rp.44.655.000 telah di tangan. Semua berdecak.

“Izinkan saya menggenapkan jadi 50 juta!” kata Pak Maksum, pengusaha penggilingan padi.

Sepakat. Pak Dukuh, Pak RT dan Soni  sebagai wakil menjenguk Marni.

“Aku ikut!” teriak Mak Surip.

Semua setuju. Duapuluh menit perjalanan,   sampailah pada tempat Marni ditahan. Tegang.  Petugas bersikukuh Marni tidak boleh ditemui. Nego,  berbelit. Akhirnya, hanya lima menit waktu untuk bertemu Marni.

“Mar..,” Pak RT  berbisik. “Kami telah membawa uang limapuluh juta!”

“Sudahlah!” Senyum Marni merekah. “Untuk kas dusun saja! Emak  akan lebih bersanding harta jika saya telah masuk penjara.”

“Marni?!!!” Semua tertegun.

“Parno?!” terbayang di benak Mak Surip, anaknya yang lontang-lantung jadi panji klantung. “Mungkinkah terjaring OTT saja agar keluarga bahagia?”***

 

 

(Tulisan ini telah dimuat di kolom Budaya Kedaulatan Rakyat)

Tuliskan komentar