Menu

Novel Telembuk Karya Kedung Darma Romansha

Judul: Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis: Kedung Darma Romansha
Penerbit: Indie Book Corner
Tebal: xiv + 414 hlm
Tahun terbit: 2017
ISBN: 978-602-3092-65-9

Orang – orang sedang di sibukkan dengan kebenaran, semua orang sibuk mencari kebenaran nya masing-masing. Tanpa sadar ruang salah di anggap tabu, belajar bermanfaat untuk semua orang, ihwal kehidupannya sendiri merasa paling benar, dengan menghilangkan ruang salah pada diri sendiri. Intropeksi Diri.

Setelah Buku berjudul Kelir Slindet Banyak diminati para pembaca, Kini Kedung Darma Romansha Sastrawan muda kelahiran INDRAMAYU, 25 februari 1984. hadir kembali dengan buku baru nya yang menghiasi ranah Nusantara. Dengan menulis buku Novel berjudul ” TELEMBUK “, Novel ini menceritakan tentang ruang kehidupan dangdut dan kisah cinta yang keparat.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/resensi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Resensi Suku Sastra[/button]

Berikut beberapa ulasan Komentar seniman dan Sastrawan ihwal buku “TELEMBUK” :

1). Energi bercerita yang luar biasa. Kejujuran cara bertuturnya membuat saya merasa berada diantara para karakter-karakternya. Bentuk novel yang jarang kita temukan diantara kepungan novel-novel populer sekarang ini. Salut!
—Ifa Isfansyah, sutradara film

2). Roman ini menunjukkan keseriusan menjelajahi secara kritis pengalaman penulisnya di tanah tumpah darahnya sendiri. Memeriksa timbunan pengetahuan lokal dan mengartikulasikan dengan bahasa etnografis pengalaman keagamaan dan godaan seksualitas sebuah hiburan. Yang suci dan profan, yang sakral dan banal bercampur membentuk cerita yang memikat.
—Muhidin M. Dahlan, direktur Indonesia Boekoe dan pendiri warungarsip.co Yogyakarta

3). Novel ini memberikan tempat baru untuk mereka di tengah tatanan masyarakat yg berbudaya ini. Mereka lebih manusia dariku, bahkan penulisnya sekalipun… Pikirku.
—Alex Abad, aktor film

4). Novel Kedung Darma Romansha ini bercerita tentang dunia prostitusi, panggung dangdut, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi. Adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan. Namun uniknya, novel ini tidak terkesan vulgar. Mengapa demikian? Saya rasa hal itu terkait dengan nada penulisan dan posisi narator. Narator berada pada posisi netral: dia tidak memberi penilaian moral apapun, baik dalam arti menghakimi perilaku tertentu, maupun sebaliknya, yaitu merayakan atau membela prilaku yang berada di luar standar moralitas yang menjadi pegangan mayoritas orang Indonesia. Di samping itu, penulis menaruh perhatian pada detail-detail penggambaran suasana, juga bahasa dan gaya pergaulan lokal, yang terkesan cukup realistis dan berbasis pada riset lapangan. Dengan demikian, lingkungan dan prilaku manusia yang diceritakan sekadar hadir sebagai sesuatu yang memang eksis, dan menarik sekali-sekali dilirik, serta dimasuki lewat dunia khayal sebuah novel. Mau dihakimi, dinikmati, atau sekadar diamati, itu terserah pembacanya.
—Katrin Bandel, kritikus sastra

5). Membaca novel Kedung awalnya saya berpikir kalau penulisnya adalah pemain organ tunggal. Karena Kedung menuliskannya benar-benar nyata seperti yg pernah saya lihat pada tahun-tahun tersebut. Saya seolah diajak ke masa lalu, dan saya membacanya benar-benar terbius oleh ceritanya. Hebat.
—Nunung Alvi, penyanyi dangdut pantura Cirebon-Indramayu

Tuliskan komentar