Menu

Merusak Ruang dan Waktu Bersama Sastra Alam Bawah Sadar | Fitrilya Anjarsari

Qadhafi adalah teman satu angkatan ketika masih bersama-sama berjuang mendapatkan gelar M.A. di Ilmu Sastra UGM. Lama tak bertemu, di satu kesempatan ternyata dia sedang mengerjakan sebuah proyek, begitu bersemangat dia bercerita ingin serius dalam menulis mimpi-mimpinya. Awalnya aku berpikir apa yang menarik dari itu, sampai dia menceritakan detail pola-pola mimpinya. Mimpi-mimpi yang sedang dia dalami ini secara konseptual benar-benar membolak-balik Freudian teori. Apabila dalam Freud dikatakan bahwa mimpi merupakan sebuah perwujudan dari apa yang terlalu direpressi di kehidupan nyata. Mimpi-mimpi Qadhafi ini bukan perwujudan dari kisah-kisah tragis hidupnya yang mungkin dipendam, diredam dan ditutupi dengan senyuman. Mimpi-mimpinya justru banyak sekali bermuatan hal-hal yang sangat filosofis.

Sempat terpikir apa jangan-jangan temanku ini merupakan titisan dari Socrates, bahkan di mimpi saja dia bisa begitu kritis.

Mendengar cerita Qadhafi akan proyeknya sudah mengumpulkan cukup stimulus bagi pikiranku untuk melakukan interaktualitas, mencari-cari padanan proyek yang sama seperti yang dilakukan Qadhafi di era-era kesusastraan lainnya. Saya berpikir (kembali), mungkin ini akan menjadi bentuk baru dari surrealism. Kalau iya, mungkin saya perlu menyarankan Qadhafi untuk segera memikirkan nama yang cocok untuk alirannya nanti, mengantisipasi banyaknya “pengikut” dari penulis Kasta Gila ini.

Di lain sisi saya teringat dengan kemunculan generasi Beats di Amerika, yang merupakan sebuah perkumpulan sekelompok penulis yang luar biasa “gila” di era Post-war. Walaupun banyak perang terjadi di Amerika, tapi kata post-war lebih banyak digunakan untuk menunjukkan masa paska Perang Dunia II. Beberapa dari kelompok itu berfokus terhadap penolakan materialism, yang membuat mereka seringkali disangka memiliki paham komunis. Di lain sisi, ada juga yang bereksperimen dengan form.

Hal yang menarik adalah ketika menelusuri persahabatan dua anggota Beats, yaitu William S. Burrough dan Allen Ginsberg. Berbeda dengan yang lainnya, keduanya ini suka sekali melakukan ‘perjalanan’ batin. Keduanya mendalami meditasi, bahkan Burrough pernah terlihat menatap cermin dalam waktu lama, ternyata jiwanya tidak sedang di situ. Keduanya ini pernah masuk rumah sakit jiwa. Ginsberg kemudian mengenal Carl Solomon selama di rumah sakit jiwa. Solomon nantinya akan menjadi inspirasi bagi dirinya dan Burrough dalam melakukan perjalanan batin. Solomon merupakan orang yang eksentrik tapi disangka psikotik untuk itu dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Sedangkan Burrough dan Ginsberg adalah dua orang nyleneh yang melakukan tindakan criminal hingga untuk menghindari penjara mereka memilih mengaku gila.

Dari Solomon, Burrough dan Ginsberg belajar melakukan meditasi untuk kemudian ‘menghilang’ dari dunia ini. Kemudian mereka akan kembali membawa sesuatu yang kemudian dituliskannya. Walaupun kemudian karya-karya mereka banyak dikatakan sebagai cerminan perlawanan dan kebebasan, bagiku itu hanya tangkapan kita orang-orang ‘normal’ entah apa yang terjadi dari perjalanan Burrough dan Ginsberg, mungkin sesuatu yang kalau tidak ‘diterjemahkan’ merupakan sesuatu yang tidak bisa kita mengerti sama sekali.

Saya jadi berpikir (lagi), ketika temanku menceritakan proyeknya ini mungkin dia sudah melakukan terjemahan ke dalam bahasa realitas yang bisa aku pahami.

Sesungguhnya bukan hanya masalah interaktualitas ini saja yang membuatku berpikiran sungguh keren sekali apa yang sedang dilakukan temanku ini, akan tetapi juga dia merusak kepercayaan Proust akan waktu dan Kafka akan ruang.

Proust mengatakan bahwa kinerja waktu itu tidak linear dengan menunjukkan, adanya hal-hal di masa sekarang yang dapat dengan begitu saja membawa kita menapaki masa lalu tanpa perlu masa lalu itu diundang. Di sisi lain, penggiat sastra alam bawah sadar, melalui meditasi mereka yang dimunculkan bukan lagi masa lalu. Bisa jadi merupakan sebuah ramalan akan masa depan, bisa jadi juga sesuatu yang terputus sama sekali dengan tiga jalinan waktu. Sebutan penjelajah waktu (time traveller) juga rasanya terlalu sederhana untuk disematkan pada sastrawan bawah sadar. Luar biasa sekali bukan! padahal bahasan mengenai time traveller saja belum selesai perdebatannya, yang baru-baru terjadi ada di tahun 60-an pada cabang filsafat metafisika analitis antara guru dan muridnya, Donald C. Williams dan David Lewis.

Sedangkan Kafka berpendapat bahwa space layaknya ruang-ruang yang selalu terhubung dengan ruang-ruang lainnya dengan kemungkinan konektivitas yang tak terbatas. Model jalinan ruang-ruang rumit a la labirin buatan si Jenius Daedalus. Di sisi lain, sastrawan bawah sadar bisa menciptakan ruang yang terlepas dan tidak ada konektivitasnya sama sekali.

Kemudian saya berpikir (ini terakhir) : jangan-jangan apa yang Rick Riordan tuliskan dalam seri Percy Jacksonnya itu benar adanya, bahwa Daedalus sedang mengakali kematian dengan membuat automaton. Jadi ketika kematian menjemputnya, yang tertangkap hanya raganya saja. Sedangkan jiwanya itu lari dari automaton ke automaton lainnya. Mungkin sastrawan bawah sadar seperti Burrough, Ginsberg, dan selanjutnya Qadhafi adalah automaton dari si jenius Daedalus yang sekarang sedang membangun ruang-ruang labirin lebih rumit lagi melalui eksperimen mimpi.

 

 

Fitrilya Anjarsari adalah International Associate di American Philosophical Association. Tulisan ini terinspirasi dari obrolan ringan dengan sastrawan muda berbakat: Muhammad Qadhafi.

Ilustrasi oleh Mathorian Enka

No Responses

Tuliskan komentar