“Eksperimental adalah sebuah usaha. Soal hasil, kita serahkan kepada pembaca.”
Sore itu banyak terdengar ucapan syukur untuk Tuhan. Pasalnya langit secerah senyum anak-anak kecil yang menemukan buku kesukaannya. Itu menyebabkan suasana menjadi semenyenangkan diskon buku utamanya bagi mahasiswa rantau seperti kalian-kalian itu.
Sore itu juga menjadi titimangsa diskusi buku. Tanggal 13 November 2024 itu, Pesta Buku Jogja menyelenggarakan acara diskusi karya hasil dari lokakarya Komunitas Sukusastra. Sekitar dua bulan sebelumnya, komunitas sastra itu membuka dua kelas menulis: (i) kritik sastra dan (ii) prosa eksperimental.
Kelas itu total menerima 20 pendaftar, sehingga menghasilkan 20 tulisan. Dibimbing oleh sederet orang-orang berpengalaman, dari Prof. Faruk hingga Ramayda Akmal, lokakarya tersebut menghasilkan dua buku. Masing-masingnya memuat 10 karya. Dan, sore itu, Pesta Buku Jogja menyediakan tempat untuk mendiskusikan karya tersebut.
Terlepas dari tajuk diskusi: “Dua Langkah Berlawanan Arah, tapi Satu Jua: Kritik ke Eksoteris, Cerpen ke Esoteris” yang begitu panjang, diskusi itu berjalan lancar-lancar saja. Moderator membuka acara dengan jokes yang begitu mudah ditebak, sehingga kemudahditebakan itu mengundang tawa yang mencairkan kebekuan tajuk, barangkali. Dan prosa eksperimental dibahas sebagai permulaan.
Adalah Cut Nissa An-Namira yang menjadi pembicara mewakili 9 kawan lainnya di kelas prosa. Dia menulis cerpen berjudul “Konferensi Rumah Labu” dengan nuansa tuturan yang akan kita jumpai saat membaca cerita anak. Meski demikian, cerpen tersebut mengandung kritik sosial yang serius—kita tahu keseriusan diidentikkan hanya milik orang dewasa. Lebih lanjut, silakan membacanya di laman sukusastra.com.
Saat ditanya soal bagaimana para pendamping memimpin kelas, Cut Nissa menjawab bahwa mulanya peserta menyerahkan draf kasar terlebih dahulu. Bersama Raudal Tanjung Banua, para peserta kelas akan dibantu menemukan keinginannya sendiri serta kemungkinan-kemungkinan aspek yang bisa dieksperimenkan. Proses tersebut akan menghasilkan draf satu. Untuk penyempurnaan, Ramayda Akmal membantu dengan mengoreksi naskah peserta setelah memiliki bentuk yang terlihat. Begitu terus-menerus hingga melahirkan cerpen-cerpen yang bisa kita baca.
Soal eksperimental, Cut Nissa menyoroti poin penting. Katanya, “Eksperimental adalah sebuah usaha. Soal hasil, kita serahkan kepada pembaca.” Ucapan tersebut membantu hadirin dalam memahami eksperimental yang dikehendaki Komunitas Sukusastra selaku penyelenggara kelas itu.
Beralih ke kritik sastra. Adalah Ruli Andriansah yang menjadi pembicara mewakili 9 kawan lainnya di kelas kritik. Dia menulis kritik terhadap cerpen Hasan Al-Banna yang berjudul “Rumah Amangboru”. Berangkat dari kata ‘Entahlah’, Ruli menjalin jalan pikir yang rumit sehingga menghasilkan tulisan yang mudah dibaca. Ialah berjudul “Menyimak Narator Mencla-Mencle di “Rumah Amangboru””. Lebih lanjut, silakan membacanya di laman sukusastra.com.
Sama seperti prosa, Ruli juga menceritakan bagaimana para pendamping memimpin kelas. Dia bagikan bagaimana rasanya berinteraksi dengan Prof. Faruk yang sederhana di tampak luarnya, tetapi rumit ketika membahas tulisan. Keruwetan berpikir menunjang kedalaman tulisan, ungkap Prof. Faruk dalam kelas. Kemudian bagaimana karakter Prof. Yoseph Yapi Taum yang detail. Sekali itu Prof. Yapi menyampaikan bahwa jangan sekali-kali kita menulis kritik terhadap karya yang tidak menggetarkan hati kita. Dia mengambil contoh ucapan HB Jassin, yang kira-kira adalah ekstraksi dari ucapan Rilke. Ajaran-ajaran Prof. Faruk dan Prof. Yapi itulah yang menjadi pegangan Ruli hingga kini.
Kemudian, saat ditanya bagaimana pendapatnya soal prosa eksperimental, Ruli menyampaikan bahwa dirinya sendiri lebih menyukai cerpen realis. “Kan, selera tidak bisa diperdebatkan,” katanya mengutip terjemahan pepatah latin terkenal itu. Tetapi moderator membalas, “Selera justru harus diperdebatkan.” Menyadari situasi seakan lebih hening dari sebelumnya, moderator melanjutkan, “Tentu kalau kita mau di sini sampai subuh.”
Sementara Cut Nissa menganggap adanya kelas kritik adalah sambutan terhadap kenyataan. Kata-katanya, di skena sastra indon ini kekurangan kritikus. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan. Menanggapi hal tersebut, Ruli menyampaikan dua kemungkinan: (i) memang tidak ada yang menjadi kritikus dan (ii) belum ada karya yang benar-benar baru. Sejauh ini, kita berkutat di antara dua itu, tambahnya.
Ada lagi, kata moderator. Krisis kritikus adalah wujud nyata ketidakbecusan jurusan Sastra Indonesia, katanya. Semua tertawa. Termasuk si moderator dan Cut Nissa, yang sama-sama jurusan Sastra Indonesia. Hingga azan magrib berkumandang.***