Pastu korban atau korban pastu.
Pastu korban atau korban pastu.

Menyimak Narator Mencla-Mencle di “Rumah Amangboru”

Gamblangnya, narator (eksternal) adalah pencerita yang berada di luar kerangka cerita. Kendali narator atas cerita umumnya berfungsi sebagai pengarah, kemudi alur, atau yang menggerakkan tokoh. Pendapat ini bisa disangkal ketika seorang narator memang iseng dan meniatkan diri terlibat di dalam cerita. Pada koridor ini, dalam cerpen “Rumah Amangboru” karya Hasan Al Banna, narator seperti tak sadar dan tetiba muncul meski sekilas. Apakah ini merupakan kejengkelan narator terhadap tokoh, pandangan dunia si tokoh, atau justru interupsi yang direncanakannya guna menorehkan efek terasing pada pembaca?

“Amangboru sudah uzur, Pa. Dan semua orang bakal mati. Kini kita harus memikirkan yang ada di depan. Masa depan keluarga kita, anak-anak kita.” Ingin rasanya Haji Sudung menempeleng Risda, juga menendang Marsan yang cuma bisa diam. Ia tahu, diam bukan karakter Marsan yang sesungguhnya. Paling tidak, sebelum ia menikah. Tapi bagaimana Haji Sudung hendak menempeleng atau menendang. Bukankah ia sedang berada di lalu-lalang mimpi!? Entahlah![1]

Paragraf itu seakan tak punya keanehan dan penceritaan orang ketiga sudah dijalankan sekonsisten mungkin. Timbulnya kata “Entahlah!” sebagai jawaban menegaskan bahwa Haji Sudung tengah berpusar di antara dunia sadar dan mimpi. Alih-alih meyakinkan posisi tokoh, ‘gugahan’ itu tak ubahnya mengacak-ngacak muka kolam sebab kian memperkeruh tafsiran pembaca untuk menyimpulkan penglihatan Haji Sudung.

Narator membocorkan lokasi keberadaannya sebagai pencerita. Pembaca dikelokkan hingga terseret pada kegamangan, dalam artian narator seakan tak ingin pembaca memiliki jawaban tunggal. Sebagai pembaca, saya terkaget lalu menerka, “Siapa yang bersuara?” Sebab, Haji Sudung sendiri dalam kondisi tidur ayam. Apakah itu isi hati Haji Sudung atau rekaan psikologisnya sewaktu menerawang celotehan Risda!? Entahlah!

Dugaan saya ini bercabang. Sebab, narator memiliki kebebasan untuk menggambarkan suasana batin si tokoh. Di satu sisi, saya berdiri bersama sudut pandang penceritaan yang telah saya dapatkan dari paragraf-paragraf sebelumnya bahwa si narator tak menunjukkan gejala akan meninggalkan pertapaannya sebagai ‘pencerita’.

Apa sebab Haji Sudung terkaku di rangka kasur sehingga menggoda narator untuk mewakili batin perasaan si tokoh? Atau barangkali kelemasan mental yang mendera Haji Sudung memungkinkan terbukanya ruang noise dan bebas dibajak suara antah-berantah? Satu-satunya cara yang kiranya dapat menerangkan anomali ini ialah dengan menginterogasi narator atas suara dan sikap malu-malu kucingnya.

Pertama, suara narator tidak hanya membayangi Haji Sudung, tetapi juga mengatribusikan dirinya pada fokal populis. Fokal nol (narator>tokoh) telah menggantikan perspective (sudut pandang) yang mana narator lebih banyak membayangi dan menelungkup dari belakang (vision from behind) serta maha tahu.[2] Namun, kemahatahuan narator tidak serta-merta dimanfaatkan secara sempurna. Narator membatasi kesaktiannya dengan membubuhkan ‘tanda tanya’ pada setiap kemunculannya.

Kedua, narator meletakkan tokoh-tokohnya pada posisi pasif-aktif. Ada tokoh yang dominan bersuara dan sebaliknya. Narator mengamputasi suara tokoh-tokoh yang seharusnya mampu bersuara lebih karena diuntungkan oleh struktur sosialnya. Tokoh Marsan—anak laki-laki Haji Sudung dan suaminya Risda—hanya dua kali bersuara:

“Ayah mana, ya?” dan “Makan dulu, ayah. Biar makan obat”.

Pemorsian suara bukanlah tanpa sebab, kiranya. Itu merupakan teknik narator mensituasikan ironi ceritanya. Narator tak mau terlihat membela siapa. Ia lebih suka menyusup, melempar batu lalu sembunyi tangan.

Narator tidak tegas. Itulah keunggulan serta kelemahannya. Mencla-mencle. Gelagatnya mengindikasikan suatu keraguan. Apakah ia meyakini cerita atau tokoh-tokohnya? Hubungan narator dengan tokoh Haji Sudung, misalnya, merupakan hubungan obsesi-platonik. Narator terikat secara kejiwaan dengan tokoh tersebut. Tragisnya Haji Sudung adalah tragisnya narator. Ketragisan ini kian mengental ketika Haji Sudung terputus dengan lingkungan dan kediriannya: kampung halaman, anak laki-laki, dan kuasa diri. Begitu pula Marsan, suami manut istri. Perubahannya menjadi kesangsian tersendiri bagi Haji Sudung:

Ia tahu, diam bukan karakter Marsan yang sesungguhnya. Paling tidak, sebelum ia menikah.

Jika pembaca tak cukup akrab dengan latar cerita, tentu mereka akan kesulitan mengartikan tabiat narator. Meski demikian, narator mengakalinya dengan cermat. Narator menunmtun sekaligus mengelimpungkan pembaca melalui pandangan bersama, common sense, meskipun pandangan bersama itu tak selamanya seiras dengan pembaca. Narator terlalu asyik memainkan kerangka ironi hingga melupakan peran utamanya sebagai pencerita. Ironi ibarat pendulum yang mengayunkan keseluruhan cerita ini baik secara verbal, situasional, atau pun dramatis.[3]

Ada dua pandangan bersama. Pertama, pandangan soal akar, diri yang sejati, dan nilai tradisional yang dihidupi Haji Sudung. Ia terikat dengan kenangan akan gemah ripah kampung halaman dan masa jaya semasa istrinya hidup. Narator memainkan nuansa melankolia sewaktu menubuh dalam diri Haji Sudung. Kedua, semangat progresif dari Risda. Narator lebih kalem dan membiarkan Risda menyulut tegangan cerita. Di sini, narator merasuk dalam konflik batin tokoh-tokoh yang tidak diuntungkan. Pasrah menanggung amarah.

Narator berpihak kepada Haji Sudung dan Marsan dengan cara menguatkan tokoh Risda. Ini begitu jelas. Narator mencak-mencak dengan latar cerita yang minim dialog. Sebab, naratifnya narator lebih sering mengikuti Haji Sudung dan Marsan, namun secara verbal (dialog) dilimpahkan dominan kepada Risda. Jika diamati sewaktu dialog Risda muncul, narator sering menjelma penonton, mati kutu sebagaimana Haji Sudung atau Marsan.

Haji Sudung bermarga Batak dan beragama Islam. Orang tua dalam masyarakat Batak mempunyai nilai dan posisi khusus yang bersandar pada sistem patrilineal. Umumnya, anak bungsu laki-laki mewarisi rumah orang tuanya dan tinggal bersama. Terlihat tabu ketika si anak mengirim orang tuanya ke panti jompo—konteks Batak—karena secara tidak langsung mengatakan ‘si anak’ menjauhi ‘sumber berkat’.

Fenomena Haji Sudung merepresentasikan kegoyahan keluarga Batak pada lanskap sosialnya. Nilai-nilai tradisional dibenturkan dengan realitas masa yang berlari. Hitungan rasional dan sikap durhaka sang menantu tak lagi mampu dibendung Haji sudung yang makin terasing. Bersama deritanya, Haji Sudung akan melawan kengerian bernama ‘panti jompo’:

“Di panti, makan dan obat Amangboru terjaga, Pa. Ibadahnya pun lebih khusyuk. Orang setua Amangboru tinggal beribadah banyak-banyak. Mau apalagi, coba?” Marsan menjawab dengan diam.

”Sudahlah, Pa. Kirim saja Amangboru ke panti. Ini demi kebaikan kita dan Amangboru juga,” desak Risda.

Marsan membawa ayahnya tinggal bersama di kota. Ia kalah berunding dengan kedua kakak perempuannya, Lisna dan Suti. Hal itu berulang menimpa Marsan sewaktu dikepung usulan istrinya. Tiga kali Marsan mematuhi usul dari tiga perempuan: (1) hasil perundingan Lisna dan Suti; (2) idenya Risda soal mengelola harta Amangboru (Haji Sudung); dan (3) menitipkan Haji Sudung ke panti jompo. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerita ini mengambil peranan digdaya atas tokoh laki-laki. Begitu pun Haji Sudung setelah ditinggal istrinya, hartanya sedikit banyak dialihkan ke keluarga pihak istrinya:

Sepeninggal istrinya, boru Risda, sebidang sawah miliknya raib dijual keluarga sang istri. Konon, Maisa ikut andil.

Bahkan tokoh seperti Andika dan Veri, yaitu anaknya Marsan dan Risda, tak luput dari tipu muslihat ibunya. Kedua bocah itu dikelabui Risda untuk membujuk opungnya agar lekas berkemas meninggalkan kota padahal kenyataannya jauh terbalik:

”Andika, Veri, suruh Opung berkemas-kemas. Bilang, besok kita jalan-jalan ke kampung!”

“Kita pulang kampung, Ma?” Risda mengangguk. ”Hore, hore,” Andika dan Veri melonjak kegirangan. Haji Sudung menyaksikan cucu-cucunya berlari ke arah kamarnya.

Baik Marsan maupun Haji Sudung tercerabut dari konsepsi ideal ‘keluarga Batak’ yang mestinya menempati rumah Amangboru. Keterpisahan ini menjadi titik kemenangan Risda, kemenangan ide progresifnya. Tak mengacuhkan pakem-pakem (adat) lama, Risda berhasil mengukuhkan suaranya sendiri. Walau begitu, narator justru menyiapkan alternatif dengan mencitrakan kedewasaan Haji Sudung. Dengan kata lain, nilai tradisional juga mempunyai resistensinya sendiri. Pengarang menyelipkannya dengan tepat (seandainya) melalui gosip:

Ia tak betah di rumah Marsan. Ia merasa sebagai beban, atau karena tak cocok dengan lingkungan kompleks? Tetapi, di sisi lain, ia tak enak hati pula kepada Marsan dan menantunya. Ia harus menimbang harga diri mereka. Apa nanti cemoohan orang-orang di kampung. ”Tak pandai si Marsan dan si Risda itu menyenangkan orang tua, ya?”

Dalam refleksinya itu, Haji Sudung merasa bertanggung jawab. Kepasrahannya adalah bentuk rasa maaf selumrahnya individu saat merasa inferior atau ‘menjadi korban keadaan’[4]. Kendati demikian, pengalaman ini akan terus menghantui si penderita (Haji Sudung) dan bisa muncul kapan saja.

Narator mengasumsikan pertanyaan yang akan dilontarkan oleh orang-orang seandainya Haji Sudung kembali ke kampung. Jelas tidak ada komentar selain dari narator yang menangguhkan gerak hati Haji Sudung dan entitas lain bernama ‘orang-orang’. Anggap saja ‘orang-orang’ itu masyarakat; jamak dan populis. Namun, masyarakat yang mana? Kealpaan ‘orang-orang’ (yang bukan tokoh) memberi tiket bebas keluar-masuk kepada narator untuk menempeli tokoh-tokoh yang sudah ada, bahkan menginisiasi suara baru. Termasuk pada penggalan terakhir bertanda kutip yang lumrahnya menandakan dialog. Keunikan narator ini umpama gejala simtomatik (penyakit) dalam teks yang terus direpetisi dan tidak disadari narator[5].

Alih-alih sebagai kalimat yang bertuan, lontaran tersebut cenderung macam peluru nyasar. Pun jika kita mengira itu adalah pikiran Haji Sudung, pandangannya mengenai masyarakat agaknya meragukan. Narator memang memunculkan dirinya, tetapi dalam bentuk yang tidak lengkap. Tindakan narator yang berulang-ulang ini mencederai sebagian teks. Efeknya, cerita makin kokoh dan menubuh dengan tokoh, tetapi membatasi ruang ekspresi mereka untuk menyatakan diri. Semua suara tokoh ditunggangi sekaligus dibungkam oleh narator.

Kutipan, ”Tak pandai si Marsan dan si Risda itu menyenangkan orang tua, ya?” memang kesannya mewakili suara sosial yang  common sense. Sisi lainnya, kita bisa melihat bukan lagi narator yang nyelonong, tetapi sudah pandangan pribadi pengarang. Sebab, tak ada kemunculan satu tokoh pun yang mewakili masyarakat, selain Haji Sudung yang memang lekat sematannya sebagai Batak-Muslim. Namun. itu bukan pula Haji Sudung. Ia sudah ada porsi pada kalimat sebelumnya meskipun sangat berintonasi narator. Satu yang jelas, baik pengarang maupun narator berdiri pada pandangan mayoritas sebagaimana yang diamini masyarakat Batak, aib kiranya jika tak merawat orang tua.

Selain tegangan antartokoh, perlu juga melihat posisi antara simbol-simbol yang membunyikan latar cerita, Rumah Amangboru dan Panti Jompo. Keduanya mewakili institusi dan semangat yang berbeda, tradisional dan modern. Narasi soal Rumah Amangboru, meskipun muncul sedari awal,  semakin lama bentuknya semakin samar, sebagaimana terproyeksi dalam mimpi Haji Sudung. Sebaliknya, narasi mengenai Panti Jompo terus diungkapkan hingga akhir cerita, mendekati kepastian yang kini dan akan. Sekuat apa pun masa lalu dipancing, mustahil bisa direngkuh kembali, seturut Rumah Amangboru, bagai artefak yang membatu dalam memori Haji Sudung.

Saya rasa ada benarnya jika keseluruhan suasana cerita diwakilkan kata ‘Entahlah!’. Segalanya terasa berdiri di persimpangan. Hal ini memengaruhi pergerakan narator dan tokoh-tokoh dalam cerita. Meski menggunakan sudut pandang orang ketiga, narator terlalu ikut campur. Suasana Entahlah ini disemainya merata, misalnya pada penutup cerita:

Malam itu, sambil mendekap buntalan tasnya, Haji Sudung tak sabar untuk segera tertidur. Ia ingin berlari memburu pagi. Atau, mana tahu wangi tanah kelahiran lebih dulu hinggap ke dahan mimpi. Bukan mimpi buruk tentunya. Namun, siapa yang bisa mengetahui isi mimpinya? Sebab, dalam kegelisahan tidur, mulut Haji Sudung hanya lumat oleh igau yang berantakan.

”Ini bukan kampungku! Ini bukan rumahku!”

Nyatanya Haji Sudung belum tentu kembali ke kampung halaman. Akhir cerita menggantung. Pembaca dibiarkan menafsir sendiri, sama persis lagaknya ketika kata “Entahlah!” itu muncul kali pertama. Setiap Haji Sudung akan tertidur, ia selalu berhadapan dengan kecemasannya. Kecemasan itu adalah perasaan tercerabut dari akar!***


[1] Banna, H. (2011). Rumah Amangboru. Depok: Penerbit Koekoesan.

[2] Didipu, H. (2020). Teori Naratologi Gérard Genette (Tinjauan Konseptual).

Telaga Bahasa, 7(2), 163—172. https://doi.org/10.36843/tb.v7i2.58

[3] Landy, Joseph A. (1972). “A Study Of  The Short Story”. Manila: Jesuit Adecational Association.

[4] Neckel, S. (1996). Inferiority: From collective status to deficient individuality.

The Sociological Review, 44(1), 17-34.

[5] Suryajaya, M. (2024). Kesusastraan, Kehancuran. Jakarta: Velodrom.